• November 23, 2024

Ingat kembali prangko dan tradisi surat yang terlupakan

DENPASAR, Indonesia – Pesatnya perkembangan teknologi informasi di milenium ini rupanya tidak mematikan tradisi berkirim surat. Setidaknya hal itu terlihat dari besarnya antusias pengunjung Pameran Filateli Bali (Baliphex) yang digelar pada 22-26 November di Kantor Pos Renon, Denpasar.

Pada sesi pembukaan yang digelar Selasa pekan lalu, panitia mengadakan workshop khusus untuk mahasiswa. Beberapa peserta mengaku datang karena penasaran di mana letak prangko yang digunakan untuk menandakan surat telah dikirim secara lengkap.

“Saya tahu tentang prangko korespondensi acara ini (Baliphex),” kata Abdul Hamid, siswi SMA 1 Saraswati 1 Denpasar berusia 15 tahun yang ditemui Selasa 22 November.

Siswa lainnya, Riskhi Pratiwi, mengaku tertarik mengetahui tentang anjing laut karena pada masanya ia belum pernah mengalami komunikasi seperti itu.

“Saya hidup dalam komunikasi internet, WhatsApp dan Facebook. “Sepertinya ada prangko untuk suratnya, gambarnya juga bagus,” ujarnya.

Di akhir pameran, panitia mengadakan talkshow bertemakan “Imaji Bali” di Taman Baca Kesiman, Denpasar. Ketua Komunitas Filateli Kreatif Indonesia Bali-Nusa Tenggara Anak Agung Ayu Daninda mengulas kembali sejarah prangko di dunia.

Berdasarkan catatan sejarah yang dimilikinya, prangko pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1840 dan diciptakan oleh Sir Rowland Hill. Perangko itu dikenal dengan nama The Penny Black.

Kemudian pada tahun 2000, prangko perlahan mulai mengalami perubahan, dari nilai guna menjadi komodifikasi.

“Kit mengenali email (surat elektronik) dan pesan SMS singkat, sehingga ongkos kirim tidak lagi penting. “Aksesnya hanya untuk kolektor untuk jual beli,” kata Ayu, Sabtu, 26 November.

Padahal, prangko bukan hanya sekedar tanda bahwa surat telah dikirimkan secara utuh. Namun juga menjadi media pembelajaran bagi generasi muda tentang sejarah suatu bangsa.

Ia mengaku khawatir dengan betapa intensnya generasi sekarang terhadap teknologi, karena perlahan mengikis apresiasi terhadap komunikasi.

“Tulisan tangan seseorang sama khasnya dengan bunyi suaranya. “Sekarang kekhususan itu hilang karena kita bisa memilih font apa saja,” ujarnya.

Selain itu, pola komunikasi digital yang sangat cepat di Internet juga membuat informasi yang diterima kurang berkesan. Oleh karena itu, proses korespondensi justru memberikan respon yang lebih kuat terhadap ingatan.

“Kalau teknologi sudah maju, komunikasikan langsung sekarang dan di sini. “Namun korespondensi memberikan jeda dalam menanggapi pesan tertulis yang dicetak, sehingga menarik untuk dibaca berulang-ulang,” ujarnya lagi.

Anjing laut sebagai alat perjuangan

Pada acara yang sama, seniman Alit Ambara memaparkan makna desain visual pada prangko bertema Bali. Menurut Alit, Bali sudah lama digambarkan dengan konstruksi kolonial.

Citra Bali digambarkan dengan penari, kedamaian, dan eksotisme, kata Alit.

Ia mencontohkan, saat dimulainya gerakan perlawanan terhadap reklamasi Teluk Benoa, rekaman dijadikan alat perjuangan Forum Rakyat Bali Anti Reklamasi (ForBALI).

“Saya membuat poster dengan menggunakan unsur familiar yaitu penari Bali (perempuan), dan cukup berhasil meningkatkan kesadaran terhadap gerakan tersebut,” ujarnya.

Namun, unsur-unsur konvensional dalam pencitraan penari perempuan Bali seringkali menjadi dikotomi yang saling bertentangan dalam diri mereka. Sebab masyarakat memahami gambaran Bali dengan kondisi saat ini.

“Pergerakan yang dilakukan tidak hanya bisa kita rekam dalam bentuk tulisan, namun stempel juga bisa menjadi narasi sejarah,” ujarnya.

Maka ia menciptakan desain prangko dengan desain visual Bali Tolak Reklamasi yang menimbulkan minat baru. Ia berharap prangko tersebut bisa dikeluarkan secara resmi oleh negara. Alasannya untuk merekam dinamika sosial Bali.

Peneliti lontar, Sugi Lanus membahas tentang sewala patra yaitu tradisi korespondensi dalam masyarakat Bali. Dikatakannya, ada tradisi korespondensi yang menarik di Bali pada tahun 1811.

“Pada tanggal 25 Februari 1811, terjadi korespondensi antara Raja Buleleng dengan Sir Thomas Stamford Raffles yang meminta berbagai cenderamata, termasuk kamera,” kata Sugi.

Namun pada zaman itu, belum ada prangko. Maka, raja Buleleng kemudian mengutus dua abdi dalem kerajaan untuk mengantarkan surat tersebut secara langsung.

“Kedua orang tersebut sekaligus menjalani pelatihan bersama Raffles untuk memahami diplomasi. Ini bukti resmi kedua orang itu menempel seperti anjing laut, kata Sugi.

Baginya, perhelatan Baliphex 2016 bisa menjadi momentum mengembalikan kenangan tentang budaya.

“Makna yang paling penting adalah masyarakat Bali dapat melihat bahwa prangko terus menghidupkan diplomasi budaya,” ujarnya. – Rappler.com

Pengeluaran Sydney