Momen ketika Gesamtkunstwerk melompat lebih tinggi
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Dalam delapan tahun terakhir, Liverpool belum pernah sedekat ini untuk meraih gelar juara. Saat kompetisi baru memasuki pertengahan musim, mereka sudah berada di posisi kedua klasemen Liga Inggris.
Delapan tahun lalu, tepatnya musim 2008-2009, mereka juga mencatatkan situasi yang hampir sama. Bahkan berada di puncak papan peringkat saat ini Hari Tinju—meskipun dia berakhir di posisinya penerus di akhir musim dan menyaksikan rival abadi Manchester United menang.
Waktu berubah. Roda takdir berputar. United tidak lagi menghalangi pandangan mereka terhadap gelar. Rintangan Orang Komunis sekarang hanya ada satu: Chelsea. Mereka harus terus mengejar rekor impresif yang terus diraih pasukan Antonio Conte garis dalam 12 pertandingan.
Salah satunya melalui Manchester City, Minggu 1 Januari, pukul 00.30 WIB di Anfield.
Pertemuan kedua tim ini sangat krusial karena hanya selisih 1 poin saja. Jika Liverpool menang, posisi mereka di peringkat kedua akan semakin kuat dan City semakin tertinggal.
Tidak mengherankan, manajer City Pep Guardiola melihat pertandingan ini sebagai pertandingan penentu gelar. “Liverpool sekarang menjadi tim yang mengejar gelar,” kata Pep dikutip oleh BBC.
“Pertandingan ini seperti final,” kata manajer Liverpool, Juergen Klopp.
Tim paling agresif di Liga Premier
#LIVMCI pic.twitter.com/WWU7E17ryG
— Liverpool FC (@LFC) 31 Desember 2016
Performa impresif Liverpool tak lepas dari kerja keras manajer Juergen Klopp. Setelah melakukan penyesuaian yang cukup keras pada musim pertamanya di Liga Inggris, Klopp kini mampu menghasilkan performa terbaik Kepala.
Mereka adalah klub paling produktif di Liga Inggris dengan 45 gol. Bahkan tertinggal cukup jauh dari Manchester City di peringkat kedua produktivitas gol (39 gol).
Tak hanya itu, Jordan Henderson dan kawan-kawan merupakan tim yang punya tembakan tepat sasaran terbanyak, 115 tembakan. Tingkat konversi antara tembakan dan gol juga merupakan yang tertinggi di Premier League: 54,2 persen! Artinya, satu dari dua tembakan ke gawang Liverpool selalu membuahkan gol.
Kiprah Klopp dalam membangun Liverpool inilah yang mendapat pujian. Dari tim yang hanya terbuai dengan kejayaan masa lalu hingga menjadi monster di kotak penalti lawan. Banyak yang menyebut karya nyata Klopp sebagai karya seni komprehensif. Yang disebut dalam bahasa Jerman Karya seni lengkap. Kombinasi banyak elemen team building menjadi satu hantu menakutkan di depan gawang.
Namun agresivitas ini tidak datang “gratis”. Ada harga yang harus dibayar. Yakni pada ketahanan gol mereka terhadap gol. Rekor kebobolan Liverpool termasuk yang terburuk dari lima tim teratas Liga Premier.
Sepanjang 18 pekan mereka kebobolan 21 gol. Jumlah kebobolan tersebut bahkan lebih buruk dibandingkan Southampton yang berada di peringkat kedelapan atau bahkan Middlesbrough yang berada di peringkat ke-15 dengan 20 gol.
Memang, gaya permainannya melawan tekanan membuat para pemainnya lebih menekan area lawan. Membuat mereka kewalahan saat menghadapi serangan balik. Atau ketika lawan berhasil lepas dari tekanan.
Manchester City bisa memanfaatkan kelemahan ini. Apalagi mereka punya kemampuan mempertahankan bola yang jauh lebih baik dibandingkan Liverpool. Kota memiliki jumlah totalnya penguasaan bola terbaik di Inggris, 63 persen. Keunggulan tersebut bisa mereka manfaatkan untuk lepas dari cengkraman tekanan Liverpool.
Apalagi lini depan City akan semakin tajam dengan hadirnya Sergio Aguero. Bomber asal Argentina itu akan kembali bersama rekan satu timnya setelah menjalani skorsing menyusul insiden dengan bek Chelsea David Luiz.
Guardiola tidak menemukan stabilitas
#RabuHikmah dari @ThierryHenry! #mcfc pic.twitter.com/osLPCAgel5
– Manchester City (@ManCity) 28 Desember 2016
Masalahnya City sedang tidak dalam kondisi ideal untuk melayani tuan rumah. Pep Guardiola masih belum final untuk menemukan performa terbaik tim.
Dengan pemain yang memiliki bakat teknis dan keahlian dengan talenta seperti David Silva dan Raheem Sterling, City jelas akan mengalahkan Liverpool dengan mudah.
Sejak awal musim, Pep setidaknya sudah mencoba 4 formasi. Mulai dari 4-4-2, 4-1-4-1, 4-2-3-1, hingga sistem tiga bek 3-4-2-1 saat meladeni Chelsea, Everton, dan Southampton.
Nyatanya, beradaptasi dengan formasi berbeda bukanlah hal yang mudah. Apalagi dengan manajer yang sangat mengutamakan permainan ketimbang sekadar mencetak gol seperti Pep. Alhasil, City kerap terpeleset di beberapa laga penting.
Mereka bermain imbang di kandang sendiri oleh Everton dan Southampton dan kalah dari Chelsea, Tottenham Hotspur dan bahkan Leicester City.
Belum lagi tekanan dari media Inggris. Eksperimen Pep di lapangan menuai kritik. Mereka menilai dia terlalu arogan untuk beradaptasi dengan ketatnya persaingan di Liga Inggris.
Dalam hal membangun permainan misalnya. Pep menegaskan serangan tidak dibangun dari pemain bertahan. Namun justru dari kiper. Penjaga gawang merupakan orang pertama yang membangun serangan. Ia juga perlu menjadi umpan alternatif bagi pemain bertahan di depannya.
Paradigma ini memaksa Joe Hart yang cenderung lebih “tradisional” untuk merantau ke Italia. Untuk memberi jalan bagi Claudio Bravo.
Faktanya, Bravo tidak lebih baik dari Hart. Ia bahkan beberapa kali melakukan blunder yang membuat City kebobolan. Ide untuk membuang Bravo menjadi abu penyapu penjaga alias kiper dan bek jelas tidak layak digunakan di liga sepak bola terberat di Eropa.
Tapi Pep tidak peduli.
“Permisi. Tapi bahkan sampai hari terakhir saya sebagai pelatih, saya akan memulai serangan dari penjaga gawang,” kata Pep usai pertandingan melawan Everton.
Seiring dengan hasil buruk di Liga Inggris, hubungannya dengan media memang memburuk. Pernyataan Pep beberapa kali cukup emosional. Dia tidak ingin terlihat tidak beradaptasi di Inggris. Selain itu, ia disalahkan atas “keyakinannya” terhadap filosofi yang telah ia ikuti selama bertahun-tahun.
“Saya memenangkan 21 gelar dalam 7 tahun. Rata-rata 3 derajat setiap tahun. Dan saya mencapai segalanya dengan cara ini. Bagaimana mungkin saya bisa berubah,” ujarnya seperti dikutip New York Times.
Padahal, membandingkan Inggris dengan Spanyol dan Jerman jelas sangat berbeda. Laga ketat hanya berlangsung melawan rival abadi seperti Real Madrid dan Borussia Dortmund.
Tidak mengherankan, legenda Manchester United Peter Schmeichel mengecam Pep. Menurutnya, Liga Inggris adalah “makhluk” yang berbeda. “Dia selalu berpikir sepak bolanya adalah yang terbaik. Sombong sekali,” dia berkata.
Schmeichel mungkin harus menunggu hingga akhir musim untuk menarik kesimpulan seperti itu. Atau setidaknya setelah City bermain melawan Liverpool.—Rappler.com