• November 24, 2024

SKB Menteri tentang Gafatar bersifat diskriminatif

JAKARTA, Indonesia—(UPDATED) Human Rights Watch Indonesia menyayangkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarkan tiga menteri tentang Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Menurut peneliti HRW Andreas Harsono, pernyataan sesat bersifat diskriminatif dan tidak adil terhadap kelompok minoritas.

“SKB anti Gafatar ini harus dicabut, sama seperti SKB anti Ahmadiyah, karena bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama, serta berbagai kewajiban Indonesia dalam perjanjian internasional, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,” kata Andreas kepada Rappler, Minggu, 27 Maret.

Pada tahun 2015, Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPT) yang menyatakan pada pasal 18 angka 2 bahwa, “Tidak ada warga negara yang boleh mengalami pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk mengamalkan agama atau kepercayaan yang dipilihnya sendiri. untuk mengambil.”

Sedangkan Pasal 27 menyatakan, “Orang-orang yang termasuk kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya, dalam komunitas atau kelompoknya sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan keyakinan agamanya masing-masing.”

Andreas menambahkan, tidak ada kata sesat dalam UUD 1954.

Berbagai pasal dalam UUD 1945 dan UU Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan hak untuk menganut keyakinan antara lain:

SKB tersebut dinilai membuka ruang diskriminasi

Andreas menambahkan, “Format hukum SKB anti Gafatar ini sama dengan SKB anti Ahmadiyah tahun 2008. Melihat pengalaman Ahmadiyah, saya khawatir SKB ini akan membuka pintu diskriminasi terhadap warga Gafatar, intimidasi, dan kemungkinan kekerasan. .” dia berkata.

Pada tanggal 9 Juni 2008, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supanji menandatangani keputusan bersama yang mengatur minoritas Muslim Ahmadiyah untuk mencegah penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok ajaran agama Islam, untuk berhenti, termasuk penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

Pelanggaran terhadap SKB ini dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Namun SKB ini diprotes baik oleh HRW maupun Setara Institute. Pada saat itu, HRW mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membatalkan keputusan kementerian yang mengizinkan penuntutan pidana terhadap komunitas Ahmadiyah di Indonesia karena keyakinan agama mereka. Baca kronologi klaimnya Di Sini.

Bahkan setelah dua tahun diterbitkan, SKB anti Ahmadiyah masih terus menimbulkan tindakan kekerasan yang diskriminatif sehingga Setara Institute mengeluarkan pernyataan keras serupa dengan HRW.

Berdasarkan catatan lembaga ini, pada tahun 2008, dari 367 tindakan pelanggaran kebebasan beragama, 238 di antaranya menyasar anggota Ahmadiyah. Sementara itu, selama tahun 2009, tercatat 33 tindak kekerasan terhadap anggota Ahmadiyah.

Menurut peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, keberadaan SKB ini turut melegitimasi beberapa keputusan pemerintah daerah yang melakukan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah. Selain itu, Ismail menilai kekerasan terhadap Ahmadiyah terjadi karena pemerintah daerah kerap memanfaatkan Ahmadiyah untuk kepentingan politiknya. Baca laporan lengkap mereka Di Sini.

(BACA: Reinkarnasi Gafatar dari Masa ke Masa)

‘Larangan bertentangan dengan prinsip kebebasan’

Pengacara kondang Todung Mulya Lubis mengamini pernyataan Andreas. Dalam komentarnya di media sosial, Sabtu, 26 Maret, Todung menyebut pelarangan aliran atau aliran tertentu jelas melanggar prinsip kebebasan beragama.

“Saya hanya setuju bahwa agama tertentu harus dilarang jika mereka mendorong tindakan kekerasan. Namun, jika suatu agama tertentu hanya sekedar tafsir umum atau gabungan berbagai aliran agama, lalu mengapa dilarang? ujar Todung.

“Jika masyarakatnya hidup damai di desa, maka desa itu akan bermetamorfosis menjadi seperti ini kultus, Selama mereka tidak menyebarkan tindakan kekerasan, saya pikir mereka punya hak sah untuk hidup,” tambahnya.

Menurutnya, pelarangan keberadaan Gafatar dan Ahmadiyah merupakan kezaliman agama. “Di zaman yang sudah berubah, salahkah jika ada penafsiran yang mulai berubah?” tanya Todung.

Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah?

“Oleh karena itu, negara tidak berhak menyebut agama mana pun sebagai sesat. Negara harus menjaga kebebasan beragama, melindungi seluruh warga negara Indonesia, apa pun keyakinannya, kata Andreas.

Rappler mencoba menghubungi juru bicara Gafatar Farah Meifira untuk meminta tanggapan, namun dia tidak menanggapi panggilan atau pesan kami.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengumumkan SKB tentang keberadaan organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kamis 24 Maret 2016. SKB tersebut berisi perintah dan peringatan kepada eks simpatisan Gafatar agar menghentikan aktivitasnya.

Jaksa Muda Intelijen M Adi Togarisma mengatakan ada lima poin yang menjadi pokok keputusan ini. Yang pertama adalah larangan bagi mantan pengikut Gafatar untuk dengan sengaja menceritakan di depan umum ajaran yang dianggap menyesatkan.

Kedua, menghentikan penyebaran dan kegiatan yang menyimpang dari ajaran utama agama Islam. Ketiga, penjatuhan sanksi pidana berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 PnP Tahun 1965. Bagi yang melanggar akan dikenakan hukuman 5 tahun penjara.

Dalam surat tersebut, kejaksaan juga memerintahkan masyarakat untuk menjaga kerukunan beragama. Masyarakat dilarang melakukan perbuatan melawan hukum terhadap mantan anggota Gafatar.

Terakhir, kejaksaan akan memberikan sanksi kepada masyarakat yang tidak mematuhi larangan tersebut.

Prasetyo mengatakan, SKB ini dibuat mengingat fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan Gafatar adalah organisasi sesat. Dikatakan sesat karena Gafatar merupakan metamorfosis dari Al-Qiyadah al-Islamiah yang pernah dicap sebagai aliran sesat.

Keputusan tersebut ditandatangani oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Jaksa Agung HM Prasetyo. —Rappler.com

BACA JUGA

Keluaran Hongkong