Mampukah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalahkan Setya Novanto di praperadilan jilid II?
- keren989
- 0
Setya Novanto mempertanyakan asas ‘ne bis in idem’ dalam proses penyidikan
JAKARTA, Indonesia – Sidang pendahuluan jilid II tersangka kasus korupsi Setya Novanto akan digelar pada Kamis, 30 November. Berbeda dengan pengajuan perkara praperadilan jilid I, Ketua DPR ini mempertanyakan asas “ne bis in idem” dalam proses penyidikan.
Jika mengacu pada pasal 76 ayat (1) KUHP, yang dimaksud dengan ‘ne bis in idem’ adalah seseorang tidak dapat dituntut dua kali atas suatu perbuatan yang telah mendapat putusan dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Tujuannya untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada siapapun yang diadili.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan lembaga antirasuah telah menyiapkan dua tim berbeda untuk menangani kasus korupsi KTP Elektronik. Ada tim firma hukum yang menangani dan menganalisis kasus praperadilan Setya di PN Jaksel, serta tim yang menyiapkan pembahasan kasus tersebut di pengadilan.
“Kami akan tetap berhati-hati dan menjadikan kekuatan bukti sebagai kriteria utama,” kata Febri yang ditemui di Gedung KPK, Senin malam, 27 November.
Dia menegaskan, KPK tidak bekerja dengan memenuhi tenggat waktu tertentu. Kini di ranah publik, opini seolah mulai terbentuk, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah melakukan penyidikan maraton terhadap Setya agar pemberkasan perkaranya bisa cepat selesai. Dengan begitu, mereka bisa menyerahkannya ke pengadilan sebelum palu hakim mengenai putusan praperadilan. Sebab jika itu terjadi, otomatis gugatan praperadilan Setya gugur.
Sejauh ini, sejak dipindahkan ke Rutan KPK pada Minggu, 20 November, baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi untuk tersangka Anang Sugiana. Begitu pula dengan saksi yang diperiksa untuk tersangka Setya, mulai dari istri Setya, Anang Sugiana, politikus Ade Komaruddin, hingga pengusaha Made Oka Masagung.
Febri menilai, bukti yang membuat penyidik menetapkan Setya sebagai tersangka untuk kedua kalinya merupakan bukti baru. Oleh karena itu, dia yakin seluruh prosedur telah dijalankan sebelum menetapkan status tersangka kepada Setya.
Keyakinan serupa juga dianut mantan Pimpinan KPK periode 2011-2015, Abraham Samad. Ia mengaku yakin prosedur penetapan status tersangka Setya sudah benar. Berdasarkan pengalamannya duduk sebagai Ketua KPK, tidak mudah bagi penyidik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Mereka harus memiliki setidaknya dua bukti.
Makanya setiap penyidikan perkara di KPK memakan waktu lama dan itu yang dikritisi KPK, karena terlalu lama. Sebenarnya memakan waktu lama karena KPK sangat ingin kasus ini ditingkatkan dari penyidikan ke penyidikan bukti-bukti yang kuat (kuat), kata Abraham saat ditemui media di Gedung KPK, Senin sore, 27 November.
Namun pada akhirnya semua itu masih bisa dimentahkan oleh hakim tunggal Cepi Hakim pada sidang pendahuluan bagian pertama. Jadi dimana letak kesalahannya? Abraham menyadari ada sesuatu yang terjadi di luar koridor hukum. Karena itu, dia meminta masyarakat dan media memantau perkembangan sidang pemeriksaan pendahuluan antara Setya dan KPK jilid kedua. Tujuannya agar persidangan berlangsung adil.
“Karena kalau tidak diwaspadai, saya yakin kejadian praperadilan pertama bisa terulang kembali,” ujarnya.
Bebaskan empat tersangka koruptor
Dalam sidang pendahuluan Kamis pekan depan, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan Hakim Kusno sebagai hakim tunggal. Namun berdasarkan pantauan lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW), rekam jejak Hakim Kusno kurang baik. Ada empat terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas oleh Kusno saat masih menjadi hakim di Pengadilan Negeri Pontianak.
Mereka adalah Dana Suparta, untuk kasus korupsi Program Pembangunan Prasarana Perdesaan di Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Anggaran 2013, Muksin Syech M Zein, kasus korupsi Program Pembangunan Prasarana Perdesaan di Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Anggaran 2013, Riyu , kasus korupsi Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan di Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Anggaran 2013 dan Suhadi Abdullani, kasus korupsi jual beli tanah untuk pembangunan terminal antarnegara di belakang terminal utama Singkawang.
ICW juga memantau harta kekayaan Hakim Kusno dari situs LHKPN KPK. Terakhir, Kusno mengumumkan harta kekayaannya saat menjadi Ketua PN Pontianak pada Oktober 2016. Saat itu, asetnya mencapai Rp4.249.250.000.
Angka tersebut melonjak drastis dari aset yang dilaporkannya lima tahun sebelumnya, yakni pada Maret 2011. Saat itu, Kusno memiliki total aset sebesar Rp1.544.269.000.
“Tentunya kenaikan ini harus dikaji lebih lanjut. Penting untuk memastikan bahwa aset tersebut diperoleh dengan benar oleh yang bersangkutan, kata Emerson Yuntho, Koordinator Departemen Pengawasan Hukum ICW, dalam keterangan tertulis, Senin.
Meski benar, Kusno tercatat tidak pernah mengabulkan satu pun permohonan praperadilan yang ia tangani. Namun, apakah ini bisa menjadi jaminan? Kita lihat saja di sidang tanggal 30 November. – Rappler.com