• November 24, 2024
Karena kita berbeda maka kita harus bersatu

Karena kita berbeda maka kita harus bersatu

Saat ini umat Kristiani di seluruh dunia merayakan Minggu Paskah. Meski kurang terkenal dibandingkan Natal, perayaan Paskah yang dimulai dari Kamis hingga Minggu merupakan festival iman terbesar dan terpenting dalam tradisi iman Kristen.

Di Paroki Santo Petrus dan Paulus Denge, Satarmese Barat, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, perayaan Paskah selalu diiringi dengan pertandingan sepak bola dan bola voli. Paroki Denge, sekitar tiga jam perjalanan mobil ke arah selatan Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, membawahi 6 desa yang terdiri dari puluhan desa. Setiap desa dapat membentuk satu atau dua tim atau enam tim. Kota-kota dengan jumlah penduduk sedikit dapat bergabung dengan kota-kota lain.

‘Turnamen Paskah’ dimulai pada hari Kamis, sehari sebelum peringatan kematian Yesus Kristus. Karena jumlah tim yang mendaftar selalu banyak, maka sistem gugur diterapkan sejak awal.

Entah siapa yang memprakarsainya, umat Islam yang tinggal di Mules, sebuah pulau kecil sekitar 30 menit dengan perahu motor dari Dintor, daratan Flores, mulai mengikuti turnamen ini sejak akhir tahun 1970-an. Umat ​​Katolik di Paroki Denge tidak pernah mempersoalkan hal itu. Sebaliknya, mereka menyambut kelompok Muslim tersebut dengan tangan terbuka.

Sebagai peserta, tim dan kelompok Muslim juga membayar biaya pendaftaran dan menghadiri rapat persiapan turnamen, termasuk rapat penentuan peraturan dan sistem pertandingan.

Pada tahun 1970-an, perjalanan dari Dintor, pelabuhan terdekat Pulau Mules, menuju Desa Wongka tempat diadakannya pertandingan harus dilakukan dengan berjalan kaki. Usai berlabuh di Dintor, rombongan awak kapal dan enam warga Muslim harus berjalan kaki selama dua jam.

Itu kalau cepat. Kondisi ini tentu menjadi permasalahan bagi anggota tim yang umumnya adalah nelayan yang belum terbiasa berjalan kaki saat melakukan perjalanan.

Segala sarana transportasi belum ada di Satarmes Barat (sebelumnya Satarmes) pada tahun 1970-an, termasuk di kawasan Paroki Denge. Tidak ada kendaraan roda dua maupun empat yang melintas.

Belum ada jalan. Masyarakat harus berjalan kaki ketika bepergian ke kebun, sawah, pasar, gereja, sekolah, puskesmas atau kemana pun. Tidak ada pilihan.

Saya ingat, anak-anak sekolah di Kampung Bandang dan Lenggos harus berangkat dari rumah pada pukul 05.00 agar tidak terlambat ke sekolah pada pukul 07.30 di SD Katolik Denge. Pastor paroki saat itu, Stanis Ograbek SVD dari Polandia, selalu datang dengan menunggang kuda saat berpatroli.

Untuk menghindari kekalahan (kelelahan) sebelum pertandingan, anggota tim Muslim dan kelas enam ditawari untuk bermalam di rumah Katolik di tiga desa Wongka. Saat itu, tawaran selalu diterima. Ngomong-ngomong, jauh sebelum itu, beberapa perempuan dari tiga kota tersebut menikah dengan pemuda dari Pulau Mules dan menjadi Muslim.

Hampir bisa dipastikan, ayam merupakan menu sayur utama selama umat Islam hidup bersama umat Katolik. Timbul permasalahan: Bagaimana cara menyembelih ayam yang halal. Beberapa umat Katolik meminta tamu Muslim untuk mengajari mereka cara menyembelih ayam, namun sebagian besar lebih memilih untuk memberikan ayam hidup kepada tamu mereka untuk disembelih.

“Kita tidak tahu bagaimana caranya, dari pada kita salah dan ayamnya tidak halal, lebih baik kita serahkan kepada mereka untuk disembelih,” begitulah kata-kata yang sering terlontar dari keluarga Katolik yang mendukung tim Muslim menampung.

Sementara umat Katolik menghadiri misa di gereja pada sore dan malam hari, umat Islam tinggal di rumah dan membersihkan rumah serta memasak nasi dan sayuran untuk makan malam. Mereka bersikeras menunggu tuan rumah untuk makan malam, meskipun mereka pulang jam 10 atau 11 malam.

Pada hari Jumat Agung, hari peringatan kematian Yesus Kristus, pertandingan sepak bola dan bola voli dibatalkan. Kebaktian memperingati penderitaan dan kematian Yesus Kristus dimulai pukul 14.00 dan jemaah berbondong-bondong mendatangi gereja sekitar pukul 12.00 siang. Pada hari itu, sebagian umat Islam pergi ke pantai. Dan ketika mereka pulang pada sore hari, mereka membawa ikan untuk dimakan bersama di keluarga Katolik.

Saya meninggalkan Paroki Denge pada pertengahan tahun 1985. Namun saya mendengar dari saudara-saudara saya dan anggota keluarga besar saya bahwa umat Islam masih mengikuti Turnamen Paskah setiap tahun hingga sekarang.

Kalah namun tetap menang

Sejak mulai mengikuti turnamen tersebut, tim-tim muslim baik sepak bola maupun voli belum pernah meraih kemenangan. Mereka bermain paling banyak dua kali. Namun mereka tidak pernah absen sejak mulai bergabung.

Kemenangan tidak pernah menjadi tujuan mereka. Bagi mereka, berbagi kegembiraan saat umat Katolik merayakan kemenangan iman jauh lebih penting daripada memenangkan pertandingan. Bagi mereka, terjalinnya hubungan persaudaraan tanpa rasa curiga dengan umat Katolik jauh lebih berarti dibandingkan meraih hadiah kejuaraan yang juga nilainya kecil.

Bukan suatu kebetulan juga jika umat Islam di Mules selalu mengundang umat Katolik untuk merayakan Idul Fitri bersama mereka di Pulau Laut Sawu sejak akhir tahun 1970-an. Usai salat Idul Fitri, beberapa perahu motor sudah menunggu di Dintor untuk mengantarkan umat Katolik ke Mules. Dan masih banyak lagi yang tersisa. Mereka tinggal selama dua hari, makan, minum dan bergembira bersama saudara-saudara Muslim mereka merayakan kemenangan iman.

Situasinya memang sudah berubah. Jalan menuju desa-desa di enam desa tersebut sudah beraspal. Mobil sewaan juga sering datang.

Beberapa keluarga juga telah melakukan intervensi bersiap dan banyak juga truk yang menjadi mobil penumpang. Terlebih lagi, sepeda motor lewat setiap menitnya.

Jarak yang tadinya ditempuh dengan berjalan kaki selama dua jam, kini ditempuh dengan waktu 30 menit dengan sepeda motor. Umat ​​Islam yang mengikuti pertandingan jarang yang menginap. Namun persaudaraan tetap hidup dan kuat. Pada hari tim Muslim bertanding misalnya, pihak Katolik selalu menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka tanpa diminta.

Sejak tim Muslim mengikuti turnamen tersebut, tidak ada cerita ‘salah paham’ di antara mereka. Tak ada juga cerita mereka yang saling mempertanyakan ajaran agama, apalagi membujuk mereka pindah agama.

Bagi umat Islam dan Katolik di Paroki Denge, perbedaan agama tidak pernah menjadi masalah. Sebaliknya, mereka menerima dan merayakan perbedaan tersebut. Perbedaan agama bahkan menjadi modal sosial yang sangat kuat bagi pembangunan Indonesia. Slogan Bhinneka lajang ika sepertinya punya arti baru bagi mereka: Karena berbeda, kita harus bersatu.

Di rumah umat Katolik di Paroki Denge, umat Islam makan dan minum bersama sekeluarga. Mereka tidak hanya makan dan minum bersama, tetapi makan nasi dan sayur dari panci yang sama dan minum air dari cangkir yang sama.

Tidak ada lagi umat Islam, tidak ada lagi umat Katolik. Mereka menjadi satu: manusia dan hamba Tuhan. Selamat Hari Paskah!