• September 23, 2024
Jangan takut masyarakat mengkritik pejabat dengan pasal ‘ujaran kebencian’

Jangan takut masyarakat mengkritik pejabat dengan pasal ‘ujaran kebencian’

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Penafsiran fitnah dan perbuatan tidak menyenangkan dianggap kabur. Jika tidak dipahami, hal ini berpotensi menjadi alat untuk menghukum masyarakat

JAKARTA, Indonesia—Aliansi Jurnalis Independen angkat bicara pada 8 Oktober lalu terkait terbitnya surat edaran nomor SE/6/X/2015 tentang ujaran kebencian atau penanganan ujaran kebencian yang dilakukan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. . AJI meminta Polri memastikan kritik terhadap pejabat dan lembaga publik tidak berujung pada ujaran kebencian.

Membawa kritik yang mengandung unsur pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan menjadi ujaran kebencian berpotensi menghambat kebebasan berekspresi, kata Suwarjono, Ketua Umum AJI, dalam rilis yang diperoleh Rappler, Kamis, 5 November.

Penafsiran fitnah dan perbuatan tidak menyenangkan dianggap kabur. Jika hal ini tidak dipahami, polisi berpotensi menjadi pintu masuk untuk mengkriminalisasi kelompok masyarakat yang kritis.

“Termasuk kriminalisasi terhadap jurnalis atau media. Itu berbahaya. “Kalau kebebasan berpendapat dibelenggu, itu ancaman serius terhadap kebebasan pers,” ujarnya.

Dalam surat edaran tersebut tercantum tujuh bentuk ujaran kebencian, yaitu penghinaan, pencemaran nama baik, pencemaran nama baik, perbuatan tercela, provokasi, penghasutan, dan penyebaran berita bohong yang bertujuan untuk menimbulkan kebencian di kalangan individu atau kelompok masyarakat.

AJI menilai surat edaran penanganan ujaran kebencian telah mengaburkan batasan universal terkait ujaran kebencian.

Penindakan hukum terhadap pihak yang menyebarkan ujaran kebencian harus dilakukan tanpa melanggar hak warga negara untuk berekspresi, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi oleh Republik. dari Indonesia.

Suwarjono menegaskan, hasutan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan karena perbedaan agama atau ras (hate ujaran) harus dilarang undang-undang.

“Jangan diputarbalikkan atau dicampur dengan perbedaan pendapat, sikap kritis masyarakat,” kata Suwarjono.

Pengaturan ujaran kebencian harus dilakukan tanpa melanggar hak warga negara untuk berekspresi, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia.

“Kami menunggu konsistensi Polri dalam membendung penyebaran ujaran kebencian yang marak di kalangan kelompok intoleran. “Kami menyayangkan Polri mengabaikan berbagai ujaran kebencian bahkan ancaman kekerasan yang dilakukan kelompok radikal,” ujarnya.

“Kami khawatir surat edaran kapolri lebih didasarkan pada kepentingan politik, untuk membungkam kritik terhadap penyelenggara negara dan lembaga negara,” ujarnya.

Jaminan kebebasan berekspresi

Ketua Departemen Advokasi AJI Indonesia Iman D Nugroho meminta Polri menerapkan definisi ujaran kebencian yang bersifat universal, untuk memastikan tidak terjadi kritik terhadap penyelenggara kekuasaan dan lembaga negara.

“Definisi yang paling obyektif adalah pelaksanaan hak berekspresi yang diatur dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik. Ujaran kebencian adalah ujaran yang menghina atau merendahkan martabat seseorang karena latar belakang agama, suku, atau rasnya. Ancaman dan dugaan kekerasan berbasis agama, suku, dan ras juga harus ditindak tegas, karena kebebasan berekspresi tidak boleh disalahgunakan untuk menghancurkan kebebasan hak asasi orang lain.

“Kami menuntut Polri hanya menggunakan ukuran standar Konvensi Hak Sipil dan Politik sebagai ukuran ujaran kebencian, karena ukuran sempit membahayakan kebebasan berekspresi,” kata Iman Nugroho.

Iman juga merujuk pada pernyataan bersama PBB, Organisasi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) dan Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) pada tahun 2001, yang merumuskan batasan tindakan melawan ujaran kebencian.

“Ungkapan kritik terhadap penyelenggara negara dan lembaga negara tidak boleh dikriminalisasi sebagai ujaran kebencian,” kata Iman. —Rappler.com

BACA JUGA

Keluaran Sydney