Penderitaan para pengungsi yang hampir kehilangan jari
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
“Di posko ini kami hanya mendapat nasi dari dapur umum.”
PIDIE JAYA, Indonesia – Seminggu telah berlalu sejak gempa, namun awan masih menyelimuti wajah Sumiyati Abubakar. Wanita berusia 50 tahun itu sedang duduk termenung di bawah tenda pengungsi saat Rappler menghampirinya pada Rabu, 14 Desember 2016.
“Saat gempa terjadi, saya sedang tidur, kurang nyenyak,” kata Sumiyati menceritakan pengalamannya saat gempa berkekuatan 6,5 SR mengguncang Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, pada Rabu, 7 Desember.
Gempa tersebut, kata Sumiyati, terjadi pada pukul 05.00 WIB. Guncangan dahsyat tersebut berlangsung sekitar 10 detik dan kemudian rumah tersebut roboh. Sebagian tembok yang terbuat dari batu bata jatuh menimpa jari tengahnya. Punggungnya juga tertimpa puing-puing.
Untungnya, dia tidak terkubur di reruntuhan. Sumiyati berhasil menyelamatkan dirinya dan tujuh anggota keluarganya. Namun jari tengahnya terluka, hampir putus. “Aku menarik tangan kananku keluar dari reruntuhan. “Saya tidak tahu tangan saya terluka saat itu karena listrik padam, suasana menjadi gelap,” kata Sumiyati.
Kini jari tengahnya diikat dengan kain putih. Kondisi itu, kata Sumiyati, membuat dirinya kesulitan dalam membuat kue. Sebelum gempa, Sumiyati mencari nafkah dengan membuat kue. Dia meninggalkan kuenya di warung setempat. Siang harinya dia mulai berkebun.
Kini, seminggu setelah gempa, Sumiyati masih belum bisa beraktivitas seperti biasa. Ia lebih banyak duduk di tenda pengungsian dan berdiri di halaman Masjid Jami’ Nur Abdullah, Desa Baro, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.
Di tenda pengungsian ini terdapat 200 kepala keluarga yang tinggal bersamanya. Tenda ini hanya satu dari 14 titik pengungsian yang tersebar di Kabupaten Pidie Jaya. Sebanyak 83.838 orang saat ini masih tinggal di pengungsian.
Mereka bertahan di tenda, bukan hanya karena rumahnya hancur, tapi juga karena masih trauma. Gempa susulan terus terjadi secara rutin, membuat warga pengungsi semakin takut untuk kembali ke rumahnya.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa sebelumnya mengatakan akan segera membangun shelter sementara dan membagikan jatah hidup kepada korban gempa. Namun bantuan baru bisa diberikan setelah masa darurat berlalu. “Setelah masa darurat baru terungkap korban sebenarnya dari gempa tersebut,” kata Khofifah.
Sementara itu, pasien di RSUD Tgk Chik Ditiro Sigli saat ini berjumlah 86 orang untuk korban yang dirawat di RS tersebut. Jumlah ini menurun signifikan dibandingkan sebelumnya 400 pasien. Sebanyak 59 dari 86 pasien yang dirawat memerlukan operasi patah tulang setelah tertimpa puing-puing konstruksi.
“Para korban ditangani langsung oleh dokter ahli dari berbagai rumah sakit. “Obat-obatan masih mencukupi untuk saat ini,” kata Direktur RSUD Tgk Chik Ditiro Sigli, dr Mohm Riza Faisal.
Sumiyati sepertinya belum memeriksakan jari tengahnya ke rumah sakit. Jari tengahnya terlihat sedikit bengkak meski dibalut dengan kain putih.
Setelah enam hari tinggal di tenda, ia merindukan tempat tidur, selimut, dan kelambu. “Tetapi sampai saat ini saya belum menerima bantuan apa pun. “Di posko ini kami hanya mendapatkan beras dari dapur umum,” ujarnya.
Sumiyati lalu berangkat ketika waktu makan malam tiba. Dia pergi ke dapur umum bersama pengungsi lainnya untuk mendapatkan makanan. Raut kesedihan masih terlihat jelas di wajahnya. —Rappler.com