Ketika daur ulang bukan hanya menjadi masalah Jakarta
- keren989
- 0
SERANG, Indonesia – Isu daur ulang menjadi perbincangan masyarakat ibu kota dalam beberapa pekan terakhir. Apalagi setelah terungkap adanya suap senilai miliaran rupiah dan tumpang tindih izin yang merobohkan banyak pihak.
Gaung penolakan terhadap upaya pembentukan 17 pulau di perairan Teluk Jakarta semakin nyaring. Nelayan yang terkena dampak langsung reklamasi menjadi semakin vokal, begitu pula organisasi masyarakat yang sejak awal menolak proyek ini.
Menurut mereka, masyarakat kecil tidak akan mendapat manfaat dari pembuangan sampah dan pasir dalam jumlah besar ini. Bahkan, mereka semakin miskin dan terancam kehilangan mata pencaharian.
Namun, apakah dampak daur ulang hanya dirasakan oleh masyarakat Jakarta?
Tambang pasir yang menyesakkan
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pekan lalu memutuskan untuk menerapkan moratorium reklamasi Teluk Jakarta yang digagas Pemprov DKI.
Namun, bagi Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan Banten, Kholid Mghdar, pernyataan pemerintah untuk menghentikan sementara proyek daur ulang tersebut hanyalah omong kosong belaka. Hampir seminggu berlalu setelah moratorium diumumkan, namun ia masih melihat kapal Ratu Belanda beroperasi di Teluk Lontar, Serang, Banten.
“Masih ada, menyedot pasir terus,” kata Kholid kepada Rappler, Rabu, 28 April. Hampir setengah kilometer dari tempat Rappler berdiri, kapal tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang.
Rappler berkesempatan melihat aktivitas pertambangan di Pulau Tunda, Banten. Pasir yang diangkut tersebut menjadi bahan baku pembuatan pulau buatan di Teluk Jakarta.
Kapal tersebut memiliki kapasitas 33.423 tonase kotor (GT) diduga melakukan penambangan pasir dengan izin palsu. Salah satunya dengan memalsukan tanda tangan warga sekitar area pertambangan.
“Saat itu kami diajak ‘ngobrol’ di Balai Desa. “Tapi daftar hadirnya tiba-tiba ada di Amdal,” kata Kholid merujuk pada dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Ia mengamati, rekayasa perizinan sedang dilakukan pemerintah daerah agar proses penambangan bisa lebih lancar.
Hal serupa juga terjadi pada koperasi masyarakat yaitu koperasi Pantura Niaga yang namanya terdaftar sebagai pengguna jasa pelayaran Ratu Belanda.
Kholid menegaskan, hal tersebut tidak benar dan nama anggota koperasi tersebut digunakan oleh penyewa sebenarnya yakni PT Jetstar. Kasus pemalsuan ini ia daftarkan ke kepolisian setempat namun ditangguhkan sejak 3 tahun lalu.
“Karena persetujuannya apa? Apa dasarnya? Bodoh!” kata pria berusia 76 tahun ini. Karena Amdalnya palsu menurut Kholid, ia kemudian menyimpulkan izin-izin lainnya otomatis tidak sah.
Selain itu, menurut Kholid, peraturan zonasi wilayah pada kawasan tersebut juga belum ada. Tidak ada batasan jelas di area mana pasir dapat disedot; dan yang tidak boleh disentuh karena merupakan wilayah kegiatan nelayan.
Oleh karena itu Kholid menyatakan aktivitas kapal tersebut ilegal.
Kapal Ratu Belanda sendiri kebetulan berada sekitar 500 meter dari tempat berdirinya di Teluk Lontar. Kapal raksasa berwarna hitam itu, menurut para nelayan, kerap terlihat menyedot pasir sejak siang hari.
“Malam harinya kami hanya membawa pasir ke Pulau Seribu,” kata Kholid.
Kapal itu berpindah posisi beberapa kali, namun tidak pernah terlalu jauh. Usai maghrib, Ratu Belanda berangkat dari perairan Banten.
Berdasarkan pantauan Situs Lalu Lintas Laut, kapal ini beberapa kali mudik ke Teluk Jakarta. Menurut penuturan nelayan, pasir ini digunakan untuk pengerjaan di Pulau G yang berada di bawah naungan PT Muara Wisesa Samudera, anak usaha Agung Podomoro Land.
Terpisah, Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah mengatakan, pihaknya memang telah memberikan izin untuk menyedot pasir tengah laut ke kapal tersebut. Namun, hal itu berakhir pada tahun ini.
Untuk mengurus perpanjangan izin, pemilik kapal harus melakukan pendekatan ke pemerintah provinsi. “Kalau belum minta izin ke provinsi, itu ilegal,” kata Ratu Tatu kepada media.
Sementara itu Rano Karno, Gubernur Banten, mengaku tidak tahu dan belum pernah mengeluarkan izin pertambangan.
Tanya saja ke Pemkab (Serang), kata Rano.
Trauma tembakan
Sayangnya, meski sudah berjuang sejak 4 tahun lalu, suara para nelayan ini belum terdengar oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten, apalagi pemerintah daerah.
Bahkan, mereka menghadapi penindasan. Pada tahun 2012, ketika para nelayan menolak memulai penambangan, tiga orang tertembak peluru panas. Raudi yang saat itu belum genap berusia 20 tahun merasakan panasnya peluru di pantatnya.
“Saya tidak tahu siapa yang menembak karena saat itu sudah malam. Gelap,” kata Raudi, pemuda Desa Lontar. Selain dia, ada tiga orang lainnya yang terkena pukulan di bagian pelipis, dahi, dan paha.
Hingga saat ini belum ada kejelasan siapa pelaku penembakan nelayan tersebut. Raudi dan korban lainnya hanya mendapat perawatan minim di kapal nelayan lain yang ikut aksi.
Peristiwa tersebut rupanya masih meninggalkan kesan mendalam bagi para nelayan. Saat Rappler hendak menaiki perahu kayu mendekati Ratu Belanda yang sedang menyedot pasir, beberapa nelayan memperingatkannya agar tidak terlalu dekat.
“Nanti akan ditembak,” kata mereka.
Beberapa orang mengaku terkena peluru saat berada di dekat kapal berbendera Siprus tersebut. Tak jarang, saat beroperasi, ada penjaga yang memakai topeng hitam yang dipakai kapal Ratu Belanda perahu cepat
Memang dalam perjalanan, melalui lensa panjang kamera DSLR, terlihat awak kapal memandangi kapal kayu tersebut. Namun, saat Rappler berkunjung, tidak ada seorang pun di sana perahu cepat penjaga berkeliaran di sekitar kapal raksasa itu.
Pemiskinan
Apa dampak dugaan penambangan pasir ilegal ini terhadap masyarakat sekitar Teluk Lontar? Mirip dengan nelayan di Teluk Jakarta, mereka semakin dirugikan.
Setidaknya begitulah yang diungkapkan Tibyani, seorang nelayan asal Desa Lontar yang merupakan tempat penambangan pasir. Sebelum menambang, ia bekerja sebagai petani rumput laut.
“Dulu bisa dapat Rp 4-5 juta per bulan,” ujarnya.
Setelah penambangan dimulai sejak tahun 2012, pendapatan berangsur-angsur menurun. Tahun ini, ia mengaku kesulitan mendapatkan penghasilan meski hanya Rp 1 juta sehari. Bahkan, ia harus menghidupi istri dan anaknya yang baru berusia 9 bulan.
“Untuk memenuhi kebutuhan hidup ya, sekarang saya kerja serabutan. “Kadang-kadang saya ikut teman memancing atau demonstrasi,” kata Tibyani.
Menurut dia, menurunnya pendapatan yang diterimanya disebabkan menurunnya kualitas rumput laut tersebut. Salah satu faktor penyebabnya adalah air laut yang sangat keruh karena bercampur lumpur dan pasir.
Rumput laut di kolamnya tidak lagi bisa mencapai 15 sentimeter per potong sehingga sulit memenuhi standar pembeli. “Sebenarnya panen sering gagal,” katanya.
Tak hanya itu, para petani tambak juga kehilangan lahannya akibat penambangan. Penyedotan pasir diyakini akan mempercepat proses gerusan di perairan Lontar sehingga menyebabkan hilangnya tambak milik masyarakat. Kholid mengklaim 500 hektare tambak masyarakat hilang akibat erosi terus menerus.
Akibatnya, banyak yang menjual bendungannya dengan harga semurah mungkin. “Ada yang menjual hanya Rp2 ribu atau Rp8 ribu per meter,” kata Kholid.
Normalnya harga jualnya berkisar Rp30.000 hingga Rp75.000 per meter.
Kondisi tersebut membuat para nelayan melayangkan surat protes ke Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pertama, mereka akan menyinggung soal perizinan yang masih tertunda. Kedua, permasalahan hukum terkesan dibiarkan begitu saja.
“Semuanya harus diusut tuntas,” kata Kholid.
Sejarawan JJ Rizal mengatakan daur ulang di Teluk Jakarta tidak hanya berdampak ekologis tetapi juga mematikan ruang hidup manusia.
“Hal yang tidak pernah kita sangka sebagai kejahatan seperti ini ternyata ada,” kata Rizal yang juga mendampingi nelayan dan petani Banten.
Ia mempertanyakan mengapa pemerintah diam saja ketika ada pengerjaan proyek yang masih tidak sesuai aturan atau izin.
Proyek daur ulang nasional
Teluk Jakarta dan Banten hanyalah sebagian kecil dari reklamasi pantai yang juga terjadi di seluruh Indonesia. Misalnya saja daur ulang di Teluk Benoa, Bali; Pantai Boulevard dan Teluk Palu, Sulawesi.
Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), lokasi-lokasi tersebut masih memiliki sejumlah permasalahan, terutama dari dampak lingkungan dan perizinan.
Banyak nelayan yang mengalami kerugian, ini bertentangan dengan pernyataan Pak (Presiden) Joko Widodo tentang wilayah laut, kata Sekjen Kiara Abdul Halim saat ditemui Rappler di kantornya, Senin, 25 April.
Ia berharap pemerintah bisa segera mengkaji ulang proyek-proyek tersebut sebelum dampak kerugiannya meluas ke pihak lain.Rappler.com
Baca juga laporan Rappler lainnya tentang daur ulang: