Masyarakat sipil mengevaluasi moratorium hutan selama enam tahun
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Pemerintah akan memperpanjang moratorium hutan selama dua tahun sambil meninjau apa yang bisa dilakukan secara permanen.
JAKARTA, Indonesia – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan pemerintah akan memperpanjang moratorium hutan. “Untuk periode sampai dengan 13 Mei 2017 akan kami perpanjang hingga dua tahun ke depan sambil melihat hal-hal permanen yang bisa dilakukan,” kata Siti Nurbaya kepada Rappler, Jumat, 5 Mei 2017.
Siti mengatakan, rancangan peraturan pemerintah tentang daya dukung juga sedang dalam proses. “Setelah kita mendapatkan kerangka konseptual dan peta arahnya, barulah bisa kita permanenkan tanpa menunggu dua tahun,” kata Siti Nurbaya.
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Menyelamatkan Hutan Indonesia dan Iklim Global menerbitkan pernyataan bersama tentang “Evaluasi enam tahun moratorium hutan: jutaan hektar hutan hilang, tidak transparan, perhutanan sosial terancam, hak-hak masyarakat adat tidak dilindungi”.
Dalam keterangan yang diterima Rappler pada 4 Mei 2017, disebutkan data bahwa setidaknya 2,7 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut, atau setara 5 kali luas Pulau Bali, hilang dalam kurun waktu enam tahun. pelaksanaan kebijakan penundaan pemberian izin baru dan perbaikan pengelolaan hutan alam, lahan primer dan gambut. Pada periode yang sama, 28 persen kebakaran menghancurkan kawasan hutan lindung dalam peta Moratorium setiap tahunnya.
(BA: Menteri Siti mengeluarkan kajian moratorium hutan
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memperbaiki pengelolaan hutan dan lahan gambut dengan menerbitkan INPRES Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Perbaikan Pengelolaan Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang berlaku selama 2 tahun. Kebijakan ini diperpanjang dengan diterbitkannya INPRES Nomor 6 Tahun 2013 dan kemudian diperpanjang kembali dengan INPRES Nomor 8 Tahun 2015 tanpa ada penguatan konten perlindungan.
“Pada praktiknya, meski sudah diterapkan selama enam tahun, kebijakan ini belum mampu mengatasi permasalahan terkait pengelolaan hutan alam primer dan lahan gambut. “Kebijakan tersebut diterapkan sebagian dan tidak memberikan dampak signifikan terhadap upaya penyelamatan hutan alam dan gambut yang tersisa,” kata Yustina Murdiningrum dari Epistema Institute.
(BA: Presiden Jokowi: Kerugian Akibat Karhutla 2015 Senilai Rp 220 Triliun)
Zainuri Hasyim dari Kaoem Telapak mengatakan, sepanjang tahun 2015 terdapat 69.044 titik api secara nasional. Sekitar 31 persen atau 21.552 titik api sebenarnya berada di kawasan yang dinyatakan dilindungi dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Sedangkan rata-rata sebaran titik panas di wilayah PIPPIB pada tahun 2011 hingga 2016 adalah sekitar 28,5 persen dari sebaran titik api nasional. Bahkan tren titik api cenderung meningkat.
Sedangkan dari PIPPIB Revisi I hingga Revisi XI, luas hutan di PIPPIB berkurang 831.053 hektar. Artinya, kebijakan tersebut tidak mampu menghentikan deforestasi bahkan di dalam kawasan moratorium (PIPPIB) itu sendiri.
Hal lainnya, masih ada wilayah kelolaan masyarakat dalam skema perhutanan sosial yang masuk dalam wilayah PIPPIB. Hal ini berpotensi mengganggu izin pengelolaan yang masih berlaku dan akan diajukan sehingga menghambat pencapaian target perhutanan sosial.
“Masih terjadi perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan di berbagai daerah untuk memperlancar mega proyek. “Hal ini tidak hanya akan mengancam hutan dan lahan itu sendiri, namun juga hak-hak masyarakat adat dan lokal,” kata Yoseph Watopa dari Yali Papua.
(BA: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kritik Ketidakjelasan Status Kawasan Hutan)
Kebijakan yang ada selama ini gagal mengatasi deforestasi dan berbagai permasalahan pengelolaan hutan alam primer dan lahan gambut. Mengapa? Berikut enam hal yang diidentifikasi oleh koalisi:
- Sebagai dokumen non-legislatif, INPRES tidak mempunyai akibat hukum apabila tidak dilaksanakan;
- Kementerian Pertanian dan Kementerian ESD tidak terlibat dalam INPRES No. 10 Tahun 2011, INPRES No.6 Tahun 2013 dan INPRES No. 8 Tahun 2015. Perluasan perkebunan dan pertambangan yang memakan kawasan hutan harus menjadi alasan untuk memasukkan kedua kementerian ini sebagai pihak yang menerima penugasan tersebut;
- Kebijakan ini masih mengecualikan hutan sekunder lindung yang cakupannya baik sehingga sebagian besar cakupannya merupakan hutan lindung dan konservasi yang sebenarnya dilindungi undang-undang;
- Menciptakan berbagai pengecualian yang melemahkan tujuan penundaan pemberian izin baru. Misalnya, pengecualian terhadap hutan yang telah memperoleh ‘izin prinsip’, tidak termasuk lahan yang diperlukan untuk proyek pembangunan penting, tidak melarang perpanjangan izin pengusahaan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan sepanjang izin usahanya masih berlaku. ;
- Belum adanya transparansi dan keterbukaan informasi publik mengenai pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya, misalnya belum adanya keterbukaan peta hutan dan proses review PIPPIB yang masih belum terbuka;
- Perbedaan interpretasi mengenai kategori lahan gambut antara pemerintah daerah dan unit pelaksana teknis KLHK membuat lahan gambut yang seharusnya masuk dalam PIPPIB justru dikecualikan dalam revisi PIPPIB berikutnya.
Keberadaan hutan sangat penting bagi keberlangsungan perekonomian Indonesia dan merupakan benteng terakhir mitigasi bencana lingkungan dan iklim global. Menyadari hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global memberikan dukungan penuh kepada Presiden Indonesia untuk melanjutkan komitmennya dalam melindungi hutan dan ekosistem gambut dengan landasan hukum yang lebih kuat (Peraturan Presiden).
Untuk itu, Presiden juga diminta berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya untuk mengambil tindakan strategis, berupa:
- Penyusunan Peta Jalan Indonesia Menuju Nol Deforestasi Tahun 2020;
- Menyusun Rencana Aksi Indonesia Bebas Deforestasi pada tahun 2020;
- Memantau pelaksanaan Rencana Aksi Indonesia Bebas Deforestasi Tahun 2020;
- Percepatan penerbitan Kebijakan Satu Kartu;
- Melakukan evaluasi perizinan secara terpadu;
- Melakukan penegakan hukum dan alternatif penyelesaian sengketa.
“Enam langkah strategis ini merupakan indikator positif dan kuat yang dapat menjadi tolok ukur pemerintah Indonesia kepada dunia sebagai wujud komitmen menghentikan laju perusakan hutan hujan tropis seperti yang dijanjikan Presiden Jokowi di Paris tahun 2015,” ujar Teguh Surya dari Yayasan Madani Berkelanjutan. – Rappler.com