• November 23, 2024

Pasalnya, 90 persen masyarakat Indonesia tidak suka membaca

Penulis, dosen, dan aktivis membicarakan alasan pembaca di Indonesia tidak menyukai buku

JAKARTA, Indonesia—Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mencatat 90 persen penduduk usia di atas 10 tahun suka menonton televisi namun tidak suka membaca buku.

Dibandingkan negara maju, minat membaca penduduk Indonesia tergolong rendah. Di negara maju, setiap warga negara membaca 20 hingga 30 buku setiap tahunnya. Sebaliknya di Indonesia, penduduknya hanya membaca maksimal tiga judul buku dan diperuntukkan bagi masyarakat usia 0-10 tahun.

Sudah dikatakan Kepala Kantor Perpustakaan Nasional RI, Sri Sularsih dalam acara Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca di Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjadi negara maju, kunci terpenting adalah kualitas sumber daya manusia gemar membaca.

Editor kami terkejut dengan temuan ini. Karena kami biasa bertanya satu sama lain buku apa yang terakhir kami baca. Reporter Sakinah Ummu Haniy Terakhir saya membaca buku Critical Eleven karya Ika Natasha, produser media sosial Famega Syafira Putri terakhir membaca buku Istanbul karya Orhan Pamuk, dan editor pedang Bastian baca Kecantikan Itu Luka karya Eka Kurniawan. Penulisnya sendiri baru-baru ini membaca Colorless Tsukuru karya Haruki Murakami dan novel One Day karya David Nicholls.

Lalu apa penyebab rendahnya minat membaca di Indonesia? Penulis, dosen, dan aktivis membicarakan alasan pembaca di Indonesia tidak menyukai buku.

Okky Madasari, penulis

“Saya kira itu bukan sesuatu yang mengejutkan. Membaca buku belum menjadi bagian dari gaya hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Tapi menurut saya alasannya bukan hanya karena orang Indonesia tidak suka membaca buku,” ujarnya kepada Rappler.

Kebanyakan masyarakat Indonesia biasanya tidak membaca buku karena tidak mempunyai akses yang mudah terhadap buku. Perpustakaan umum jarang didirikan di beberapa daerah. “Bahkan perpustakaan hanyalah sebuah bangunan,” ujarnya.

Apalagi isinya sangat tidak pantas. Begitu pula dengan perpustakaan sekolah.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Magetan, kota kecil di Jawa Timur, Okky sangat mengetahui kondisi tersebut.

“Sampai saat ini situasinya masih sama. Apalagi kalau saya pergi ke daerah luar Pulau Jawa. Toko buku juga hanya ada di kota-kota besar. “Dan berbicara tentang toko buku tentu erat kaitannya dengan kemampuan membeli,” kata penulis buku tersebut Enterok Dan Taruhan Jiwa.

Faktor lainnya, kata Okky, masyarakat belum dididik untuk gemar membaca.

“Sistem pendidikan kita tidak membentuk masyarakat untuk menyukai buku, apalagi sastra seperti sastra. “Kami hanya terbiasa menghafal dan mengikuti apa yang disampaikan guru,” ujarnya.

Pada saat yang sama, televisi memasuki setiap rumah dan menarik perhatian semua orang, tanpa kendali atau filter. Buku menjadi semakin tidak menarik dan kewalahan bersaing memperebutkan perhatian dengan glamornya hiburan layar.

Sarasdewi, dosen

Menurut Saraswati Putri alias Sarasdewi, dosen Filsafat Universitas Indonesia, rendahnya minat membaca di Indonesia disebabkan beberapa hal.

“Budaya membaca menyangkut banyak hal, mulai dari kurikulum, kualitas buku yang dibaca, yang artinya juga mempengaruhi jumlah penulis dan kualitas karyanya, hingga permasalahan akses terhadap buku dan pendidikan, yang masih ada. banyak yang buta huruf di berbagai daerah,” ujarnya.

Permasalahan rendahnya budaya membaca di Indonesia saling berkaitan. “Tapi jika dideradikalisasi“Saya melihat sekolah sebagai institusi yang paling berperan dalam merangsang bahkan mematikan minat membaca,” ujarnya.

Sekolah hendaknya menjadi tempat membangkitkan minat membaca, di luar keluarga. Sistem pendidikan nasional harus membina siswanya untuk banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. “Jadi, landasan ilmunya dari kekayaan wawasan dan argumentasinya bukan sekedar hafalan,” ujarnya.

Dari sisi keluarga, budaya membaca dimulai sejak masa kanak-kanak, dikenalkan melalui cerita sastra anak, dongeng hingga buku-buku terkini.

Namun pergi ke perpustakaan, melakukan penelitian atau membaca buku, kegiatan tersebut membutuhkan waktu. Jadi meskipun nilai UN siswa suatu daerah tinggi, belum tentu hal tersebut berbanding lurus dengan budaya membaca.

Karena ujiannya sangat mekanis dan menjadikan siswa seperti produk yang harus diselesaikan dengan cepat. Sedangkan membaca hanya dapat dikembangkan jika terdapat kecintaan terhadap membaca.

Hendaknya kita mengetahui betapa pentingnya dan nikmatnya membaca, bukan membaca untuk dihafal lalu dilupakan,” ujarnya.

Aquino Hayunta, aktivis

AQUINO HAYUNTA.  Keterlibatan publik dengan Koalisi Seni Indonesia Aquino Hayunta.

Keterlibatan masyarakat dengan Koalisi Seni Indonesia Aquino Hayunta mengatakan, alasan utamanya adalah kurikulum yang mengutamakan hafalan, bukan membaca. Selain itu, bacaannya menarik. Kemudian siswa diminta menceritakan kembali apa yang telah dibacanya.

Alasan selanjutnya, kata Aquino, adalah mahalnya harga buku. “Pada zaman kolonial banyak orang yang suka membaca Kho Pin Ho, banyak buku yang disewakan, namun angka buta huruf masih tinggi. “Saat ini angka buta huruf membaik, namun harga dan akses terhadap buku sulit,” ujarnya.

“Bahkan sebagian besar dari kami baru dipaksa membacanya ketika sudah duduk di bangku sekolah pascasarjana,” ujarnya.

Aquino mengatakan, kini anak-anak lebih tahu Gawai sebelum buku. “Yah, sudah lama sekali terus “Saya mulai kehilangan minat membaca,” katanya. —Rappler.com

BACA JUGA

Data Sydney