• September 24, 2024

Di puncak Gunung Ijen kita memperingati jasa para pahlawan

Dua kali saya merasakan aura berbeda saat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya Tahun ini. Yang pertama, saat saya bersama 28 teman sekelas saya di tahun pertama Institut Pertanian Bogor (IPB), pada tanggal 5 September 2015, secara spontan menyanyikan lagu karya Wage Rudolf Supratman di Gua Pindul, Gunung Kidul.

Saat kami mengikuti aliran air di bawah gua dan melihat bendera Merah Putih tergantung di salah satu lubang yang menganga, kami spontan menyanyikan lagu tersebut. Suasana magis. Gemetar. Beberapa dari kita menitikkan air mata.

Sebelumnya kami menyanyikan Hymne IPB dengan penuh haru. Beberapa dari kita baru bertemu kembali setelah berpisah selama 30 tahun.

Pengalaman kedua terjadi pada akhir pekan lalu pada Minggu, 8 November, ketika kami – sepuluh perempuan dari berbagai profesi – menyanyikan lagu Indonesia Raya di puncak Gunung Ijen, di kawasan banyuwangi, jawa timur. Ada rasa tidak percaya bahwa kami yang sebagian besar berusia di atas 45 tahun masih bisa mencapai puncak gunung yang memiliki kawah indah itu.

Inilah komentar Mbak Wardhani Soedjono saat saya memasang foto kami di dinding Facebook saya:

“Merdeka!!! Dengan izin Tuhan, kami berhasil mendaki Gunung Ijen, melihat kawahnya yang indah tak terlukiskan, dengan kebaya di puncak gunung, dan mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsa. Dan inilah kami, tiga orang wanita berbaju merah dari 10 perempuan yang semangatnya tak lekang oleh waktu melewati terjal dan terjalnya Gunung Ijen. Sekali bebas, selalu bebas! #Pahlawan-dag #Banyuwangi #2015Ijen.”

Mbak Dhani adalah orang paling senior di antara kami yang berani mendaki Gunung Ijen pada hari Minggu itu. Dia berusia 65 tahun. Melihatnya menguatkan hatiku untuk menginjakkan kaki di puncak gunung, penuh semangat mengenakan kebaya merah dan kain batik, mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan. Maju Tanpa Gentar, Garuda Pancasila, ke Indonesia Raya, sungguh mengasyikkan. mengharukan.

Perjalanan ke Ijen sebenarnya direncanakan untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus mendatang. Namun keadaan tak memungkinkan karena abu letusan Gunung Raung mengganggu penerbangan menuju Banyuwangi. Bandara Blimbingsari sering ditutup. Makanya kami tunda dulu sampai awal November, menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November yang jatuh hari ini.

“Hanya perempuan kuat yang datang jauh-jauh khusus ke Ijen, mengenakan kebaya, dan mengibarkan bendera Merah Putih,” kata mantan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Wow, kami jauh dari kata kuat. Kisah dibalik layar pendakian sungguh membuat kita menangis, tertawa jika mengingatnya. Mulai dari sakit perut, mulas, lutut dan tangan gemetar, kedinginan dan lemas, hingga godaan untuk pulang ke rumah tempat penampungan.

“Oh, sepertinya aku tidak bisa,” bisikku berkali-kali kepada pemandu yang menemani kami. “Hentikan, Nyonya. Kamu bisa. Pelan pelan Saja. Mari kita istirahat. Bernapas. Bayangkan kalau sudah sampai di puncak,” kata Adri, sang pemandu. Saat turun, debu dan jalan licin menyebabkan beberapa kali tersandung hingga hampir terjatuh. Fiuh.

Tapi, kita malu untuk mengeluh, ketika kita melihat lalu lalang para penambang belerang yang setiap hari harus menempuh jarak 3 kilometer naik turun gunung, turun ke kawah terjal, yang 70-80 kilogram padatnya membawa belerang. untuk mendapatkan Rp 40-50 ribu. .

Kehidupan yang sulit. Berat. Luar biasa. Mereka, para penambang belerang, adalah pahlawan bagi keluarga mereka.

Azwar Anas datang ke hotel tempat kami menginap di Banyuwangi pada Minggu sore. Ia melihat tweet saya yang menggambarkan keindahan sejumlah destinasi wisata alam di Banyuwangi sejak Sabtu sore. Selama lima tahun memimpin Banyuwangi, Azwar Anas merupakan sosok yang mampu mengajak masyarakat Banyuwangi untuk menjadikan kabupaten tersebut menjadi kabupaten penuh prestasi.

Kami pergi ke Pantai Pulau Merah dan menikmati sabana di Taman Nasional Baluran. Nikmati kota yang rapi, bersih dan hijau. Namun puncaknya adalah kunjungan ke kota berjuluk itu Matahari terbit di Pulau Jawa ini gunung Ijen. Beliau mengibarkan bendera Merah Putih di puncaknya, mengucapkan syukur atas nikmat dan nikmat Tuhan Yang Maha Esa, serta mengenang jasa-jasa mereka yang penting dalam kehidupan kita, sebagai individu maupun sebagai bangsa.

Media lokal melaporkan aktivitas kami di sini.

Kata “menaklukkan” gunung sebenarnya kurang tepat. Tidak ada manusia yang mampu menaklukkan alam dan kehendak-Nya. Faktanya, kami berhasil mengatasi rasa kurang percaya diri, rasa takut kami, hingga mampu mencapai puncak setinggi 2.443 meter.

Bagi kalian yang masih muda termasuk anggota termuda kami, Natasha GutierrezKepala Biro Rappler Indonesia, mendaki gunung setinggi itu bukanlah masalah besar.

Untuk saya, itu masalah besar. Mengatasi keraguan, menguatkan keberanian, dengan satu tujuan: Mengibarkan dan mengibarkan bendera Merah Putih di sana Indonesia Raya.

Ini merupakan ucapan syukur dan terima kasih kepada para pahlawan yang telah merdeka, dan masih berdiri kokoh hingga saat ini. Inilah cara kami mencintai Indonesia.

Selamat Hari Pahlawan 2015! Hidup Indonesia Raya! —Rappler.com

BACA JUGA:

Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.


SDY Prize