Panci nasi tersebut diberi nama Pulau G
- keren989
- 0
Kisah dua orang nelayan yang sudah renta dan renta, meski sudah beranjak dewasa, mereka masih lantang meneriakkan penolakan terhadap reklamasi Teluk Jakarta.
JAKARTA, Indonesia—Ilyas, warga Muara Angke, memperlihatkan dua ekor ikan sebesar lengan sambil berkata, “Kalau dijual dijual Rp 10.000 karena 1 kg harganya Rp 5.000,” ujarnya.
Pria paruh baya ini hanya mampu menangkap 2 kilogram ikan selama beberapa bulan. Jauh dari angka sebelumnya yang bisa mencapai 10 kilogram. Bahkan beberapa rekannya mampu menangkap ikan antara 20-25 kilogram per hari.
Ilyas menatap kedua ikan yang didapatnya tanpa mengeluh.
Selain memancing, Ilyas juga menyewakan perahunya. Mungkin karena dia sudah tua. Tubuhnya tak mampu lagi menopang jaring dan hanyut melawan ombak di ujung utara Pantai Jakarta.
Pendapatan dari menyewa perahu cukup bagus. Ia biasanya menerapkan bagi hasil kepada nelayan yang menyewa perahunya. Misalnya hasil tangkapannya mencapai Rp 250.000, maka ia mendapat bagian sebesar Rp 150.000.
Namun pendapatan tersebut sebenarnya adalah yang terendah dalam beberapa bulan terakhir. Apa penyebabnya? Tumpukan pasir di tengah laut, mirip pulau.
Sejak pulau itu dibuat, Ilyas mengaku sudah tidak bisa lagi menangkap ikan dalam radius 2 kilometer. Dia harus berbalik lebih jauh.
Pulau yang dikenal dengan nama Pulau G ini merupakan salah satu dari 17 pulau reklamasi di kawasan Jakarta Utara seluas 160 hektare.
Pulau ini dikelola dan dikembangkan oleh PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land.
Dikelola oleh PT Muara Wisesa berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama No. 2238 pada tahun 2014.
Berbeda dengan Ilyas, Sali, warga Muara Angke lainnya, tak henti-hentinya mengeluhkan hasil tangkapannya yang semakin hari semakin menipis.
Ia mengaku sempat adu mulut dengan petugas di tengah laut selama beberapa bulan terakhir. Tepatnya di pinggir pulau G.
Sali melanjutkan, saat itu dirinya sedang memancing di sekitar Pulau G, namun ada petugas yang melarangnya. “Jangan memancing di sini!” ucap Sali menirukan petugas tersebut. Orang tua itu juga tidak menerimanya. “Aku bertarung!” dia berkata.
Perlawanannya sebenarnya demi dapur rumahnya yang perlu dikukus. Dia harus memberi makan istrinya yang sudah menunggunya di rumah.
Namun dalam beberapa hari terakhir, ia mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya karena pendapatannya yang semakin menyusut. Tempat pemancingannya menjadi tumpukan pasir yang disebut Pulau G.
Kisah Ilyas dan Sali selengkapnya bisa kamu saksikan dalam film dokumenter tersebut Daya tarik Pulau Palsu diproduksi oleh Dokumenter Watchdoc.
Sutradara yang menggarap film ini, Rudi Purwosaputro mengatakan, pemilihan kedua karakter nelayan tersebut memakan waktu yang cukup lama. Tim Watchdoc harus mengganti karakter utama sebanyak tiga kali, hingga akhirnya terpilih. Belum lagi proses pendekatannya.
Selain prosesnya yang cukup memakan waktu, Rudi mengatakan pemilihan tema dalam film ini juga penuh perdebatan. Awalnya, film ini memuat seluruh elemen permasalahan reklamasi Teluk Jakarta, mulai dari hukum hingga kemanusiaan.
Hingga akhirnya dipilihlah tema kemanusiaan.
Apa yang ingin disampaikan film ini? “Saya ingin para pengambil kebijakan bisa melihat sendiri film ini dan berharap ada perubahan dari pola pikir developer baru,” ujarnya saat ditemui di kantor pusat Watchdoc, Rabu malam, 27 April.
Isu daur ulang ini kian pelik belakangan ini, apalagi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi sebagai tersangka dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Kamis, 31 Maret, sekitar pukul 19.30 WIB.
Saat ditangkap, Ketua Komisi D DPRD DKI menerima suap senilai Rp 1,14 miliar.
Suap tersebut diberikan oleh TTT, pegawai swasta yang bekerja di PT Agung Podomoro Land, sang pengembang. Menurut KPK, suap tersebut diberikan PT Agung Podomoro Land sebagai hadiah terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang berisi rencana zonasi wilayah pesisir dan rencana strategis pesisir Utara Jakarta.
Cacatnya proses hukum reklamasi Teluk Jakarta kemudian dimanfaatkan masyarakat nelayan Muara Angke untuk menggugat. Salah satunya adalah dengan menutup pulau itu pada bulan April.
Kegilaan menyegel pulau juga terlihat di film ini.
Menurut penulis, terkait isu daur ulang, film dokumenter ini masih relevan untuk ditonton, apalagi setelah pemerintah memutuskan untuk melanjutkan pembangunan proyek daur ulang di Teluk Jakarta.
Keputusan itu diambil setelah rapat terbatas terkait daur ulang digelar Presiden Joko Widodo dan dihadiri Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Film ini juga sangat direkomendasikan bagi Anda yang mendalami masalah ekonomi dan sosiologi. Ada potret kehidupan nelayan di Muara Angke yang menarik untuk disimak dan menimbulkan pertanyaan besar seperti, sebenarnya reklamasi Teluk Jakarta untuk siapa? —Rappler.com
BACA JUGA