Presidium Alumni 212 Minta MK Mempertimbangkan Baik Perppu PK Ormas
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
“Mengapa HTI dibubarkan? Kenapa bukan OPM? “Bukankah PKI (Partai Komunis Indonesia) yang bangkit kembali (yang dibubarkan)?” kata Ansufri Idrus Sambo
JAKARTA, Indonesia – Massa Presidium Alumni 212 kembali turun ke jalan pada Jumat sore, 28 Juli, memprotes berlakunya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Meski targetnya dihadiri sekitar 5.000 orang, namun yang hadir tidak lebih dari 2.000 orang.
Massa mula-mula berkumpul di Masjid Istiqlal untuk salat Jumat, kemudian melakukan long march menuju Mahkamah Konstitusi (CCC). Sepanjang aksi, para orator dan massa meneriakkan pernyataan bahwa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo adalah rezim yang sewenang-wenang dan anti-Islam.
Mereka mempertanyakan keputusan pemerintah membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan alasan bertentangan dengan ideologi Pancasila. Namun, pada saat yang sama, pemerintah tidak ikut serta dalam pembubaran organisasi lain yang jelas-jelas tidak sejalan dengan ideologi bangsa. Salah satunya adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM).
“Mengapa HTI dibubarkan? Kenapa bukan OPM? Bukankah PKI (Partai Komunis Indonesia) yang bangkit kembali (yang dibubarkan)?”
Dalam demonstrasi Jumat sore lalu, Natalius Pigai, salah satu Komisioner Komnas HAM, terlihat. Meski mengaku mengundurkan diri dalam kapasitas pribadi, namun publik tetap kaget. Ia mendukung protes tersebut karena Perppu Ormas dinilai kurang sah secara hukum.
“Perppu Nomor 2 Tahun 2017 merupakan produk hukum yang cacat prosedur. Mengapa cacat prosedur? Karena bangsa kita tidak dalam keadaan darurat. Kehidupan beragama di negara ini aman. “Tidak ada masjid, vihara, atau gereja yang dibakar,” kata Natalius saat menyampaikan orasi yang disambut massa.
Saat berada di MK, beberapa perwakilan pengunjuk rasa dipersilakan masuk. Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Ma’arif mengatakan Mahkamah Konstitusi merupakan benteng terakhir pengujian undang-undang atau Perppu. Oleh karena itu mereka meminta hakim MK mempertimbangkan dengan baik upaya PK Perppu Nomor 2 Tahun 2017.
“Jauhkan Mahkamah Konstitusi dari kepentingan kekuasaan rezim. Apalagi, keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Mohon dipertimbangkan segala hal baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan terbitnya Perppu tersebut,” kata Slamet dalam keterangan tertulisnya, Jumat malam, 28 Juli.
Meski Perppu ini dianggap perlu oleh pemerintah, namun tidak demikian di mata para pengunjuk rasa. Misalnya, Widadai, salah satu peserta demonstrasi asal Semarang, mengaku ikut demonstrasi kemarin karena terinspirasi untuk membela agamanya. Sementara Haryanto, salah satu peserta Gresik mengaku ingin menuntut keadilan kepada pemerintahan Jokowi.
Minimal bendera merah putih
Sementara itu, berdasarkan pantauan Rappler di lapangan, Jumat pekan lalu, tidak banyak bendera merah putih yang dikibarkan peserta aksi 28 Juli lalu. Berdasarkan perhitungan Rappler, hanya 8 bendera yang dikibarkan di antara ratusan bendera tauhid dalam demonstrasi tersebut. Para pengunjuk rasa terlihat mengibarkan bendera Palestina, padahal isi aksinya tidak ada kaitannya dengan isu negara tersebut.
Tak berkibarnya bendera merah putih saat aksi bertolak belakang dengan pernyataan Koordinator Lapangan Aksi 287 Daud Poli saat ditemui dalam konferensi pers Aksi 287, Rabu pekan lalu. Dalam acara tersebut, Daud menyampaikan bahwa peserta aksi akan mengibarkan 1.000 bendera Merah Putih sebagai tanda bahwa peserta Aksi 287 juga cinta NKRI. – Rappler.com