Sangat buruk jika wajah Charlie Heboh dibelah
- keren989
- 0
Menyikapi publikasi Charlie Heboh dengan lebih dewasa adalah solusi cerdas yang bisa dipertimbangkan umat Islam, ketimbang merobek cermin yang mencerminkan cerminan jujur posisi kita terhadap pernikahan anak.
Kemunculan majalah kartun Charlie Heboh (CH) ternyata tidak seheboh yang saya kira. Media sosial merespons menyalin Charlie Hebdo terbilang biasa-biasa saja, masih kalah bersaing dengan kemeriahan perebutan pantai utara Jakarta yang berhasil mengalahkan Sanusi dan dua elite Podomoro.
Namun Menteri Agama Lukman Hakim dan MUI bereaksi defensif seperti dugaan saya. CH dituding MUI tidak etis.
Malah ini yang agak mengagetkan saya, Mas Lukman mengirimkan sinyal provokatif. Ia mengingatkan pemilik majalah ini tentang pengeboman kantor Hebdo di Paris beberapa tahun lalu. Menag nampaknya sangat khawatir CH akan melampiaskan amarah umat Islam Indonesia – kemarahan yang tentunya akan membuatnya menjadi sorotan jika berujung pada kekerasan.
Kebingungan mengenai konten
Emosi umat islam pasti haru ketika melihat cover kartun HB. Gambar vulgar seorang pria berjanggut ditampilkangaya anjing Ria memaksa perempuan untuk memakai kepang. Pria berjanggut itu berkata ‘Ana sedang menjalankan sunnah Nabi’ – sambil terus menahan erangan anak yang masih ingin bersekolah.
Saya mencoba mencari tahu apa yang membuat banyak orang kesal tentang majalah ini – setidaknya sampulnya. Apakah ada kesalahan konten? Atau lebih karena vulgar dalam penggambaran kontennya? Saya tidak menemukan penjelasan lain selain tuduhan yang berpotensi mengganggu yaitu menghina umat Islam.
Dugaan saya, kemarahan terhadap sampul HB lebih karena aspek vulgarnya, bukan isinya. Dalam Islam, ada beberapa mata pelajaran yang mempunyai status – meminjam istilah Stephen Murray (1997) – “keinginan untuk tidak mengetahuinya‘, misalnya soal seksualitas dan perbudakan.
Sifat ajaran Islam yang permisif mengenai hal ini seringkali membuat banyak umat Islam enggan membahasnya secara terbuka. Sementara itu, mengamputasinya tidak mudah.
Siapapun editornya, dia cukup pandai dalam memilih subjek yang akan dibidiknya. Bukan sembarang hal. Persoalan perkawinan anak merupakan permasalahan pelik yang tidak hanya disebabkan oleh eskalasi permasalahan perkawinan anak yang dipicu oleh permasalahan keterpurukan ekonomi. Pembenaran agama tidak boleh diremehkan.
UNFPA mencatat bahwa banyak negara mayoritas Muslim mempunyai masalah dengan masalah ini. Mereka dinilai permisif terhadap pernikahan anak. Di negara ini tidak kurang dari 6,9 juta anak perempuan berusia 13-19 tahun menikah pada tahun 2012.
Komnas Perempuan menemukan tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan berusia 13-19 tahun. “Mereka belum siap secara mental untuk berumah tangga,” kata Masruchah. Pernikahan muda tersebar luas dari Aceh hingga Papua. Prevalensi tinggi terjadi di Pulau Jawa, Sumatera, NTB, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan.
Komitmen untuk memberikan perlindungan masa depan anak (perempuan) dari gurita pernikahan dini nyaris menemui jalan buntu. Hal ini setelah Mahkamah Konstitusi menolak mengabulkannya Peninjauan kembali sekelompok aktivis dan intelektual mengenai batasan usia minimal menikah – dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Dari pertimbangan putusannya, bagaimana Mahkamah Konstitusi – selain Hakim Maria – menggunakan agama sebagai salah satu landasan dalilnya; “Semua agama yang berlaku di Indonesia mempunyai aturan tersendiri mengenai perkawinan dan hukum agama tersebut mengikat seluruh pemeluknya, sedangkan negara memberikan pelayanan dalam melangsungkan perkawinan sesuai dengan peraturan negara, termasuk pencatatan administratif untuk kepastian hukum bagi pasangan suami istri dan pasangannya. keturunan.
Salah satu contohnya adalah agama Islam tidak mengatur mengenai batas minimal usia untuk menikah, namun yang umum adalah diketahui bahwa Anda sudah baligh, sehat, bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, sehingga Anda bisa memberikan izin.
Pandangan MK sepertinya mencerminkan kenyataan yang ada di mayoritas umat Islam Indonesia. Kita tahu, selain mitos keperawanan, tidak sedikit laki-laki yang melakukan praktik pedofilia terhadap perempuan karena merasa diperbolehkan oleh agama. Kegembiraan Syeh Puji terhadap Ulfa yang masih berbau kencur tak akan hilang dari sejarah Indonesia.
Delapan tahun lalu, pria berjanggut ini bahkan berambisi tambahkan dua lagi sehingga koleksi “kimcil” mencapai tiga. “Ulfa berumur 12 tahun, satu anak perempuan berumur 9 tahun dan satu lagi berumur 7 tahun,” tegasnya.
Kritik demi kritik pun bertubi-tubi menghujani Puji. Namun, dukungan terhadap hal tersebut tidak kalah pentingnya. Pejuang HTI dan poligami serta bos restoran Puspo Wardoyo berada di balik keputusan Puji. Fauzan al-Anshori yang saat itu masih aktif di Majelis Mujahidin Indonesia mengatakan, tindakan memuji tersebut sesuai dengan ajaran rasul. Pelarangannya, kata Fauzan, merupakan upaya untuk menaikkan keimanan seseorang.
Sikap ambigu juga ditunjukkan Asrorun Ni’am, Ketua Komisi Fatwa MUI saat itu. Meski menyayangkan perbuatan Puji, Niam mengatakan praktik tersebut tidak dilarang dalam syariat Islam (fiqh).
Terganggu atau dewasa
CH memang memiliki cara yang unik dan mengintimidasi dalam mengutarakan pikirannya. Memang cara seperti ini cukup mudah untuk menyulut kemarahan umat Islam yang kurang mampu menerima kritik.
Apalagi jika menyentuh hal-hal mendasar, misalnya lembaga kenabian atau ajaran atau praktik ritual. Menurut saya, umat Islam Indonesia cukup sensitif terhadap hal ini.
Jika masih ingat, Arswendo Atmowiloto pernah menghabiskan waktu di Cipinang hanya karena dituduh menghina Nabi Muhammad SAW. Pasalnya, jajak pendapat lewat Tabloid Monitor menempatkan pemimpin muslim ini di posisi ke-11, jauh di bawah Soeharto dan tepat setelah peringkat Arswendo sendiri.
Masyarakat juga tidak lupa. Salman Rushdie masih berstatus paling dicari. Kehidupan penulis Ayat Setan Dibanderol seharga Rp 3,3 miliar oleh Khordad Foundation setelah Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Khomeini mengeluarkan fatwa terhadap Rushdie pada tahun 1989 karena menghina Islam – meski kemudian pemerintah Iran mengklaim dia sudah tidak ada lagi dan tidak ikut campur dalam masalah ini.
Memang benar, tidak sedikit umat Islam yang tampak rapuh dan mudah melontarkan ekspresi destruktif ketika kritikan mengenai ulu hati mereka. Dengan terbitnya majalah ini, mungkin CH bermaksud membuat kegaduhan di Indonesia, sebuah sikap yang patut dipertimbangkan baik-baik oleh semua pihak.
Padahal, menurut saya, menyikapi CH dengan lebih dewasa adalah solusi cerdas yang bisa dipertimbangkan oleh umat Islam, dibandingkan menari mengikuti genderang orang lain sambil membelah cermin yang bisa menjadi cerminan jujur posisi kita dalam merefleksikan pernikahan anak. – Rappler.com
Kepada Anshori, koordinator Jaringan Anti Diskriminasi Islam (JIAD) Jawa Timur. Saya pernah mengantri di Tambakberas Jombang dan Kedungmaling Mojokerto.