Mencari keadilan bagi para korban tragedi Semanggi I di istana negara yang kosong
- keren989
- 0
Jakarta, Indonesia — Perjuangan Asih Widodo belum berakhir. Pada 13 November 1998, putra semata wayangnya, Sigit Prasetyo, tewas tertembak peluru tajam.
Pria berusia 64 tahun ini masih ingat perkataan dokter forensik usai memeriksa autopsi anaknya.
“Pak, ini peluru Kopassus, khusus yang meledak ketika masuk ke dalam tubuh,” kata Widodo mengenang perkataan dokter saat itu. Ia bersama sekelompok masyarakat lain yang masih mencari keadilan ikut kilas balik tragedi Semanggi I di depan Istana Negara pada Senin, 14 November.
Sepeninggal Sigit, Widodo tak henti-hentinya berjuang mendapatkan keadilan bagi putranya. Sasaran Widodo jelas, mantan presiden ke-3 BJ Habibie dan Panglima ABRI saat itu, Wiranto.
Bahkan, setahun setelah kematian Sigit, Widodo mendatangi Kementerian Pertahanan untuk meminta pertanggungjawaban Wiranto. Ironisnya, ia malah dibawa polisi dan melukai bagian dahi sebelah kanan.
Ia pun bersafari ke Mahkamah Konstitusi (KC) untuk menggugat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Dia tidak meminta Mahkamah Konstitusi mengeluarkan surat panggilan untuk mengadili Wiranto karena itu bukan domainnya.
Negara mempunyai perangkat perundang-undangan peradilan yaitu UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Secara historis, UU Pengadilan Hak Asasi Manusia lahir sebagai hasil amanat Bab IX Pasal 104 Ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, penyelesaian perkara hak asasi manusia yang berat dilakukan di lingkungan Peradilan Umum.
Diundangkannya undang-undang ini setidaknya memberikan peluang untuk membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM di Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM ad hoc dan pasal 46. mengenai tidak dapat diterapkannya batas waktu untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Tapi mereka bisa mengubah undang-undang, mengajukannya ke presiden, agar yang bersangkutan bisa diadili, kata Widodo. Sayangnya, hal itu tidak pernah terjadi.
Bahkan ia mengaku kerap mengendarai motor hasil modifikasinya ke Solo dan Bali. Ada kotak dan stiker bertuliskan “Anakku Mati Tentara”. Foto dirinya dan Sigit dipasang bersebelahan, dengan tulisan “Anakku Meninggal, jika kamu” mabuk
“Saya ingin semua orang melihat dan mencari keadilan. “Kalau di Jakarta tidak ada, mungkin masih ada di Solo, Bali, atau tempat lain,” ujarnya.
Orang yang paling ingin digugat oleh keluarga korban tragedi Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti malah diangkat menjadi menteri 18 tahun kemudian. Tak gentar, Wiranto kini diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) di era Presiden ke-7 RI Joko “Jokowi” Widodo.
Posisinya sangat strategis dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Kalau Pak Jokowi pintar, tidak mungkin Wiranto diangkat menjadi Menko Polhukam. Karena dialah yang harus bertanggung jawab. “Tapi sepertinya Presiden kurang cerdas,” kata Widodo.
Interogasi Wiranto
Maria Catarina Sumarsih tentu bukan nama yang asing lagi, apalagi bagi mereka yang rutin mengikuti Aksi Kamisan. Dia adalah ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan.
Seperti Sigit, pemuda yang semasa hidupnya kerap disapa Wawan ini tertembak di bagian dada saat hendak menolong rekannya yang terluka di parkiran Universitas Atma Jaya.
“Anak saya, menurut petugas koroner, tertembak peluru tajam standar ABRI. Menembus paru-paru,” ujarnya. Setelah itu, kehidupan Sumarsih dipenuhi dengan upaya mencari keadilan.
“Kalau Pak Jokowi pintar, tidak mungkin Wiranto diangkat menjadi Menko Polhukam. Karena dialah yang harus bertanggung jawab. Tapi tampaknya presiden tidak terlalu pintar.”
Setidaknya 18 tahun telah berlalu, dan Indonesia telah memiliki beberapa presiden. Mulai dari Habibie hingga Jokowi berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus HAM, termasuk kasus yang menewaskan putranya.
Gus Dur berjanji akan menyelesaikannya, bersamaan dengan terbitnya hasil penyelidikan Komnas HAM. Habibie sebelumnya berjanji akan bertindak sesuai hukum yang berlaku. SBY juga menyinggung pengadilan hak asasi manusia sampai ini,” kata Sumarsih merinci satu per satu. Namun, semua itu tidak terealisasi.
Kemunculan Jokowi memunculkan harapan, apalagi setelah ia memasukkan penyelesaian kasus HAM dalam janji kampanyenya. Sumarsih mengenang, Jokowi juga mengatakan bahwa menegakkan keadilan HAM membutuhkan keberanian yang luar biasa.
Kini sudah 2 tahun lebih Jokowi menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia. Bukannya memenuhi ekspektasi, ia malah mengecewakan Sumarsih dengan menunjuk Wiranto.
Bahkan kemarin sempat dibicarakan penyelesaian kasus tragedi Semanggi I, II dan Trisakti akan dilakukan secara terpisah. “Ini sesuai keinginan Wiranto,” kata Sumarsih. Karena semuanya dibantah Ketua Umum Partai Hanura karena melanggar HAM suhu Dan tempat pelanggaransemuanya berbeda.
Kelanjutan impunitas
Feri Kusuma, Kepala Badan Pengawasan Kriminal KontraS, menilai Jokowi telah menunjukkan kemunduran dalam penegakan kasus HAM. Pertama melalui penunjukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pertama Tedjo Edhy Purdjiatno.
“Dia tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah hak asasi manusia,” kata Feri. Selanjutnya posisi tersebut diisi oleh Luhut Pandjaitan.
Konsep yang ditawarkan Luhut adalah menempatkan pelaku dan korban dalam satu meja. Bagi Feri, hal itu justru menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi korbannya.
Terakhir, penunjukan Wiranto yang diduga terlibat dan diduga melakukan tindak pidana HAM. “Bagaimana mungkin pihak yang bertanggung jawab mau menyelesaikan ini,” kata Feri.
Posisi Wiranto sebagai Menko Polhukam justru akan menghambat proses penyelesaian permasalahan HAM yang ada. Belum lagi sikap pasif Jaksa Agung HM Prasetyo dalam inisiatif penyelesaian tersebut.
“Dia sudah menjabat dua tahun tiga tahun, apa yang sudah dia lakukan? “Dia bukan aparat penegak hukum, tapi politisi,” kata Feri.
Jokowi, lanjutnya, harus segera memanggil kembali Wiranto dan menyelesaikan setidaknya satu permasalahan 7 pelanggaran HAM yang disebutkan Komnas HAM. Keputusan itu juga diambil oleh pengadilan hak asasi manusia sampai ini.
“Jika tidak, maka dia tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yang mempertahankan impunitas terhadap para penjahat HAM,” kata Feri.
Setidaknya itulah yang dirasakan mahasiswa Atma Jaya yang mengikuti aksi hari ini. Mereka menaburkan bunga di tempat Wawan meninggal, dan melanjutkan perjalanan ke kantor Kemenkopolhukam dan Istana Negara untuk menyampaikan penolakannya terhadap Wiranto.
“Kami tidak mau ketemu Wiranto, singkirkan dia,” kata salah satu pengunjuk rasa. Hal ini ditanggapi dengan tanggapan, “Bawa saja dia ke pengadilan!” dari peserta lain.
Tragedi Semanggi I terjadi pada 13 November 1998. Saat itu, mahasiswa yang tergabung dalam komunitas tersebut melakukan protes besar-besaran.
Sedikitnya 5 mahasiswa meninggal dunia, mereka adalah BR Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya; Engkus Kusnadi, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ); Heru Sudibyo, mahasiswa Universitas Terbuka; Sigit Prasetyo, mahasiswa Universitas Yayasan Administrasi Indonesia (YAI); dan Teddy Wardani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI).
Bagi puluhan mahasiswa berjaket oranye yang melakukan aksi hari ini, ada perjuangan yang belum selesai: Keadilan harus ditegakkan. Meski suara mereka disambut kosongnya kantor Wiranto, serta Istana Merdeka yang akan diberangkatkan Jokowi ke Kendal, Jawa Tengah. —Rappler.com