7 Catatan Penting Tim Ekspedisi Biru Indonesia
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia—Sejak 1 Januari 2015, dua orang jurnalis yang menamakan dirinya Tim Ekspedisi Indonesia Biru telah berkeliling Indonesia. Arah perjalanan mereka berlawanan arah jarum jam, dari ibu kota Jakarta ke arah timur menyusuri Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua, Kalimantan, Sumatera, hingga kembali ke Jakarta.
Awal Januari lalu, mereka tiba di Jakarta dan disambut hangat di kantor pusat rumah produksi Watchdoc di Jakarta Timur. Menurut salah satu anggota tim, Dandhy Dwi Laksono, dirinya bersama rekannya Ucok Suparta sudah mengunjungi lebih dari 20 provinsi dengan menggunakan sepeda motor.
Dari perjalanannya hingga ke pelosok Tanah Air, Dandhy dan Ucok bertemu dengan masyarakat sekitar. Cerita demi cerita diceritakan kepada mereka. Kebanyakan ceritanya, kata Dandhy, berkisah tentang konflik sumber daya alam.
“Tidak selalu bersifat fisik, seperti konflik di Rembang (terhadap pabrik semen) dan Teluk Benoa, tapi juga pemikiran dan wacana terkait sumber daya alam,” kata Dandhy kepada Rappler, Senin pagi, 4 Januari 2016.
Dari perjalanannya, Dandhy dan Ucok memperhatikan ada tujuh ‘wabah’ yang ada di masyarakat. Mereka adalah pejabat, akademisi, bahkan jurnalis.
Bagaimana hama mengganggu kehidupan sosial? Berikut penjelasan Dandhy:
1. Pejabat publik dan elite politik terjangkit kepentingan tertentu. “Hibah eksploitasi sumber daya alam banyak yang berasal sebelum Pilkada, misalnya penjualan hutan dan izin pertambangan,” kata Dandhy. Praktik yang dilakukan elite ini serupa dengan kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam perundingan kontrak Freeport yang menyeret nama politikus senior Partai Golkar Setya Novanto.
Contoh kasusnya bisa dilihat di video Kala Benoa. Video tersebut menceritakan, Perpres pelepasan kawasan Tanjung Benoa ditandatangani Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, di saat-saat terakhir sebelum Ketua Umum Partai Demokrat itu mengakhiri masa jabatannya.
“Belum tentu menuding, tapi kebijakan seperti ini tidak bertanggung jawab,” ujarnya.
Selain itu, Dandhy juga mengaku mendapat laporan mengenai hal tersebut dari masyarakat saat berkunjung ke Samarinda, Kalimantan Timur, Mentawai, dan Papua. Materi videonya bisa dilihat disini:
2. Modal atau korporasi yang diperluas. Dandhy mencontohkan kasus Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) yang dimulai pasca krisis pangan tahun 2008. Dalam proyek ini keluarga Bin Laden juga menjadi investor.
Setelah proyek MIRE dimulai, lahirlah perusahaan pengelola sawah. Padahal, kata Dandhy, sebelumnya sawah tersebut dikelola oleh masyarakat. Saat ini, perusahaan seperti grup Medco milik Arifin Panigoro sendiri memiliki lahan sawah seluas 300 hektare di Merauke. Bahkan saat panen raya Mei 2015, mereka mendatangkan Presiden Joko Widodo.
Praktik serupa juga ditemukan di Mentawai. Perusahaan sagu rumahan yang memproduksi 200-300 kilogram per hari kini harus bersaing dengan perusahaan sagu milik negara dan swasta yang memproduksi 10 ton per hari.
Perusahaan sagu rumahan jelas kesulitan bersaing dengan perusahaan skala besar yang berlokasi di Sorong.
Fenomena ini juga membuat daya tawar pohon sagu menjadi rendah karena perusahaan sagu swasta hanya menawarkan Rp 800 per ruas 1,25 meter. Sedangkan perusahaan rumahan biasanya menawarkan Rp 100 per divisi.
Berapa banyak pohon sagu yang harus dipanen per hari? Tidak terpikirkan sampai hari ini.
Dandhy mengatakan, upaya besar-besaran tersebut jelas merugikan perusahaan sagu rumahan. Padahal seharusnya pemerintahlah yang bertugas memberdayakan perusahaan rumahan. “Sedikit tapi banyak oke, asalkan daya tahannya kuat,” kata Dandhy.
3. Pejabat sipil atau bersenjata yang mencari uang sewa. Mereka bertugas mengamankan konflik, namun tidak boleh memihak masyarakat.
Misalnya saja kasus di Papua yang kami temui di lapangan, anggota satuan elit diduga terlibat dalam pencabutan zona adat ketika masyarakat menolak menjual tanahnya ke perusahaan sawit, ujarnya.
Cuplikannya bisa dilihat di video Mahuze.
Tim ekspedisi Indonesia Biru juga menemukan praktik perusahaan yang ingin membuka lahan gambut atau pembukaan lahan yang menyewa perusahaan sebagai pihak kedua untuk membantu mereka. Perusahaan itu dimiliki oleh seorang petugas polisi. Semua catatan kritis ini terekam dalam Mahuze Video.
4. Milisi atau preman bayaran yang berkedok organisasi masyarakat. Mereka adalah bagian dari mesin teror masyarakat. “Milisi ini dibentuk untuk meneror masyarakat untuk membela hak sumber daya alam,” katanya. Latihan tersebut terlihat di video Samin vs Semen dan Kala Benoa.
Dalam kasus Telok Benoa, spanduk Forum Rakyat Bali dirusak oleh oknum tak bertanggung jawab.
5. Para intelektual kampus dan tokoh agama. Termasuk akademisi dan tokoh agama yang bisa dipesan untuk keperluan investasi. Misalnya saja kasus warga Samin yang melakukan perlawanan terhadap pabrik semen. “Kenapa dua dosen UGM tidak turun ke lapangan, tapi memberi bukti membantu pabrik semen,” ujarnya.
Dandhy juga mengatakan, analisis mengenai dampak lingkungan pada Telok Benoa juga dinilai bermasalah.
Saat ini, kata dia, kampus-kampus menghasilkan temuan-temuan ilmiah untuk melegitimasi proyek-proyek tersebut.
Praktik serupa juga terjadi di Merauke terkait proyek sawah satu juta hektar. Saat itu, Universitas Indonesia mendapat proyek studi demografi mengenai respon masyarakat awam pemilik tanah dan pekerja sawah terhadap rencana ambisius pemerintah.
“Mereka bertanya kepada pemilik ulayat apakah ingin menjual tanahnya? “Sebanyak 60-70 persen menjawab tidak,” ujarnya.
Begitu pula dengan pekerja sawah di Pulau Jawa, mereka tidak mau pindah ke Merauke.
“Intinya adalah proyek ini tidak bagus. “Namun pada akhirnya mereka justru merekomendasikan agar proyek ini tetap dilanjutkan dengan berbagai pendekatan,” ujarnya.
Selain akademisi, para intelektual agama juga ditengarai banyak terlibat dalam melegitimasi proyek tertentu. Seperti proyek pabrik semen di Kendeng. Dalam video Samin vs Semen, seorang ibu warga Kendeng yang menentang pembangunan pabrik semen memperingatkan tokoh Nahdlatul Ulama agar tidak menerima uang sepeser pun dari investor.
Sebab jika ulama ‘berkompromi’ dengan menerima sejumlah uang, maka tak ada lagi yang bisa membantu mengutarakan keinginan masyarakat Kendeng terhadap pabrik semen. Tokoh agama yang diduga menerima uang dalam jumlah besar, kata Dandhy, biasanya akan memilih diam dan tidak peduli dengan masyarakat sekitar.
6. Media massa atau jurnalis yang melacurkan profesinya. Mereka memilih diam dan tidak menyuarakan konflik antara warga dan perusahaan. Karena media massa gagal, bungkam, apalagi media lokal di tempat konflik tidak lagi dipercaya masyarakat, ujarnya.
Kasus tenggelamnya 19 anak di bekas tambang di Kalimantan Timur misalnya. “Hanya 1-2 media lokal yang bersuara, selebihnya tidak ada,” ujarnya.
Ada juga praktik perusahaan media yang meminta jurnalisnya mencari iklan, sedangkan sisanya mengandalkan kontrak dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Praktik tersebut, kata Dandhy, dilakukan oleh kelompok surat kabar nasional melalui kontrak halaman. “Fenomena ini merata di seluruh wilayah,” ujarnya.
“Ini adalah bagian dari kebusukan demokrasi. “Sulit membayangkan media-media yang mengandalkan pendapatannya ini bisa kritis terhadap kebijakan pemerintah daerah,” ujarnya.
7. Organisasi non-pemerintah. Dandhy mengatakan, LSM di daerah lebih sibuk mengajukan proposal dibandingkan melakukan advokasi. Bahkan, LSM sudah menjamur hingga tingkat desa.
“Kadang-kadang aktivisnya hanya satu, tapi tugasnya berkeliling dari satu departemen ke departemen lain untuk mengajukan proposal,” ujarnya.
Menurut Dandhy, profil aktivis LSM di daerah saat ini jarang yang mau mendampingi masyarakat dan tinggal bersama mereka. LSM tidak ada bedanya dengan jurnalis yang meminta amplop dan petugas lalu lintas yang memeras pengemudi sepeda motor atau mobil.
Terakhir, LSM-LSM ini membuat pernyataan yang mendukung proyek-proyek tertentu. Dan mereka juga menjadi manajer Tanggung jawab sosial perusahaan perusahaan.
Dengan tujuh tulah tersebut, kata Dandhy, masyarakat kini sendirian, tidak punya ‘teman’. “Hama” ini tidak lagi berpihak pada masyarakat. Jadi siapa lagi yang bisa diharapkan oleh masyarakat? —Rappler.com
BACA JUGA