• September 23, 2024

Kontroversi Ujaran Kebencian SE, waktunya patut dicurigai

Pada hari Rabu sore, saya menghadiri jamuan makan siang yang diadakan oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Entah sudah berapa kali saya menghadiri acara seperti ini yang diadakan untuk komunitas media, mulai dari pemimpin redaksi hingga jurnalis yang setiap hari meliput kepolisian.

Acara seperti ini biasanya diawali dan diselingi dengan hiburan dari band yang diperankan oleh anggota kepolisian. Pada acara kemarin, awak media dihibur dengan lagu-lagu yang dinyanyikan sejumlah polisi wanita. Penampilan mereka tak kalah dengan para selebritis.

Badrodin yang saya kenal saat menjabat Kapolda Provinsi Palu dan berpengalaman menangani serangkaian aksi teroris di Poso, rupanya punya agenda khusus dalam pertemuan kemarin. Pertama, dia mengapresiasi kritik media terhadap kinerja Polri.

Kritik masih dalam koridor kritik yang membangun, kata Badrodin.

Sebelumnya, rekan saya Timbo Siahaan, Pemimpin Redaksi Jak TV, mengatakan masyarakat melihat kinerja Polri di bidang pelayanan masih perlu ditingkatkan.

“Tetapi kisah Kapolres Cianjur membantu warga miskin patut diapresiasi,” kata Timbo yang juga mewakili Pemimpin Redaksi Forum.

Kedua, Badrodin memanfaatkan pertemuan kemarin untuk menjelaskan Surat Edaran (SE). Kebencian, atau perkataan yang mendorong kebencian. SE tersebut diterbitkan pada 8 Oktober 2015 dan menuai kontroversi terutama di media sosial. Tanda pagar #Kebencian menjadi Topik populer di Twitter.

Menurut surat edaran tersebut, ujaran kebencian adalah tindak pidana yang berupa penghinaan, pencemaran nama baik, pencemaran nama baik, perbuatan keji, provokasi, penghasutan, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan tersebut di atas mempunyai tujuan atau dapat berdampak pada tindakan diskriminasi. . , kekerasan, korban jiwa, dan atau konflik sosial.

Aspek yang dimaksud antara lain suku, agama, aliran agama, keyakinan dan keyakinan, ras, antargolongan, warna kulit, suku, gender, penyandang disabilitas, dan orientasi seksual.

Ujaran kebencian dapat dilakukan melalui media kampanye, spanduk atau spanduk, jaringan media sosial, pidato atau demonstrasi di depan umum, ceramah agama, media massa cetak atau elektronik, dan pamflet.

“Saya mengamati beberapa komentar di media, termasuk televisi. Saya tertawa ketika melihat reaksi yang berlebihan. “Sepertinya saya tidak paham hukumnya,” kata Badrodin.

Dia merujuk pada pihak-pihak yang mempertimbangkan SE Kebencian merupakan produk hukum baru, padahal sudah ada aturan hukum positif yang mengatur tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Badrodin menjelaskan, di lingkungan kepolisian terdapat 14 jenis surat resmi, termasuk Surat Edaran yang ditujukan untuk kalangan internal kepolisian.

“Bagi khalayak luar disebut informasi,” ujarnya. “MENGATAKAN Kebencian Saya membuat ini karena banyak polisi yang tidak bisa membedakan mana yang ujaran kebencian dan mana yang bukan. “Dengan adanya surat ini, saya berharap polisi semakin percaya diri dalam menangani kasus-kasus terkait pelaku ujaran kebencian.”

Badrodin kemudian menjelaskan bahwa penerbitan SE Kebencian Hal ini tak lepas dari rekomendasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang menemukan berdasarkan survei internal yang dilakukan, banyak polisi yang tidak percaya diri ketika menemukan kasus ujaran kebencian. Misalnya saja argumentasi atau ceramah keagamaan yang mengandung unsur mengajak masyarakat untuk membenci orang lain.

Kalau saya bisa contoh, apa yang dilakukan Abu Bakar Baasyir, lalu penghasutan Sekjen Jakmania jelang final turnamen sepak bola Piala Presiden, serta kejadian di Aceh Singkil, kata Badrodin.

Saat diberi kesempatan bertanya dan menjawab, saya bilang begitu waktuatau pada saat diterbitkannya SE Kebencian ini menarik. Hal ini dilakukan ketika maraknya kritik terhadap penguasa di media sosial, dalam hal ini pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Ada sejumlah hashtag yang isinya negatif terhadap kinerja pemerintahan Jokowi Topik populerdan jelas-jelas digagas oleh sejumlah partai anti-Jokowi sejak Pilpres 2014. Namun hashtag sebenarnya juga mudah ditanggapi dengan hashtag, apalagi kubu Jokowi sudah lama ditanggapi. pemberi pengaruh di media sosial.

Bukankah Jokowi memenangkan Pilpres karena dukungan relawan juga di media sosial? Masih ingatkah Anda dengan tagar #FinallyChoosingJokowi yang antara lain didorong oleh Sherina Munaf yang memiliki 12 juta pengikut di Twitter?

Jika polisi memang peduli dengan dampak berbahaya dari maraknya ujaran kebencian, pernahkah polisi menindak para pendakwah di tempat ibadah yang kerap ‘mengizinkan’ darah orang lain yang dianggap bertentangan dengan ideologi dan keyakinannya? dipegang sendiri dan kelompoknya dipelihara?

“Bisakah polisi menunjukkan bahwa selama ini sudah ada tindakan, bahkan melarang, misalnya, mereka yang terbukti sering menyampaikan ujaran kebencian yang dapat membahayakan nyawa orang lain? Mengapa Anda merasa perlu membuat surat edaran sekarang, di tengah kritik terhadap pihak berwenang?”

Kapolri Badrodin menanggapinya dengan mengulangi penjelasannya, bahwa selama ini polisi belum paham, dan sulit membedakan mana yang ujaran kebencian. SE ini ditujukan kepada bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Oke, tapi ini mengkhawatirkan saya. Ujung tombak penegakan hukum Polri ada pada tingkat kepolisian yang biasanya dipimpin oleh lulusan akademi kepolisian (Akpol) kepolisian. Masuk ke Akademi Kepolisian cukup sulit, begitu juga dengan lulus dari sekolah khusus taruna polisi ini.

Ucapan Kapolri Badrodin membuat saya berpikir, mungkinkah selama bersekolah di Akpol para taruna tidak diajarkan bagaimana membedakan ujaran kebencian dan yang tidak? Jadi apa peran pasukan komando di semua tingkatan di kepolisian untuk mendidik prajurit pasca sarjana dan non-komisioner tentang hal ini?

Masyarakat awam pun peka terhadap mana yang merupakan ujaran kebencian dan mana yang bukan. Dan inilah yang kita lihat terjadi di media sosial, ketika sebuah proses berlangsung kebijaksanaan orang banyakmengoreksi sesama pengguna ketika ada yang menyebarkan ujaran kebencian.

Saya memang prihatin dengan kecenderungan menyeret kembali pendulum kebebasan berekspresi yang kita perjuangkan bersama pada masa Reformasi 1998, ke titik sebelum itu. Ini dimulai dengan lambat. Hal ini bisa dimulai dengan SE internal, misalnya peraturan daerah yang membatasi kebebasan berekspresi di masyarakat.

Dalam pertemuan dengan Pemimpin Redaksi, Jokowi mengeluhkan pemberitaan media yang tidak kondusif terhadap kondisi perekonomian. Hal ini berkontribusi terhadap ketidakpercayaan masyarakat.

Jika hal ini dibiarkan sedikit demi sedikit, maka hal ini akan menjadi pintu masuk kembalinya demokrasi terpimpin. Mereka yang tidak setuju dengan saya akan menganggap saya melebih-lebihkan.

Namun saya mengingat kembali diskusi dalam kelompok diskusi tentang demokrasi di ASEAN yang saya ikuti tahun lalu di Bangkok. Peserta dari Thailand mengenang bahwa negara Gajah Putih menikmati 20 tahun periode paling demokratis di kawasan.

Begitu pula dengan media. Kini, 20 tahun setelah era itu, mereka kembali ke era angkatan bersenjata. Junta militer. Tahun ini kita menikmati 17 tahun reformasi.

Bukannya saya setuju dengan ujaran kebencian. Namun di banyak negara demokratis terdapat perdebatan mengenai hal ini. Di era digital, cara terbaik untuk memerangi ujaran kebencian di ranah digital (yang tampaknya menjadi landasan kuat bagi penerbitan SE Kebencian ala Kapolri), malah menyampaikan pidato sebaliknya, positif.

Profesor Heinze dikutip oleh Gavin Philipson dalam tulisannya, Undang-undang ujaran kebencian: Apa yang harus dan tidak boleh mereka lakukanmenyatakan bahwa tidak ada bukti empiris mengenai efektivitas peraturan pelarangan tersebut Kebencian, terutama di negara-negara demokratis, makmur dan stabil. Mungkin kita belum sampai di sana? – Rappler.com

BACA JUGA:

Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.

Sidney hari ini