• November 26, 2024

Siyono masih sehat saat dibawa Densus 88

KLATEN, Indonesia – Suasana rumah Marso Diyono (61 tahun) di Dusun Brenkkungan, Desa Pogung, Cawas, Klaten, Minggu sore, 13 Maret, masih ramai dikunjungi orang. Para pelayat berdatangan silih berganti dan menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Siyono (34 tahun), anak bungsu Marso.

Rumah sederhana yang sehari-hari digunakan untuk Taman Kanak-kanak (K) ini dibagi menjadi dua ruangan, untuk memisahkan tamu laki-laki dan tamu perempuan yang duduk bersila di atas tikar plastik. Mereka biasanya adalah tetangga desa, sanak saudara dari luar desa, dan teman-teman Siyono yang tidak sempat menghadiri pemakamannya pada Sabtu malam.

Wajah Marso masih sedih dan terlihat lelah. Sejak anak bungsunya ditangkap Seksi Khusus 88 Anti Teror, ayah tiga anak ini tak bisa istirahat saat melayani tamu, jurnalis, dan polisi yang datang ke rumahnya.

Sebelumnya, dia pendiam dan berusaha menghindari tim pers karena takut salah bicara. Ia pun menolak banyak tamu tak dikenalnya dengan berteduh sementara di rumah putra sulungnya, Wagiyono.

“Aku idiot, tidak memahami “Tidak apa-apa, anak saya pun ditangkap. Saya tidak tahu apa salahnya. Saya minta maaf jika anak saya berbuat salah,” kata Marso kepada Rappler, Minggu sore.

Lalu dia ingin bercerita. Pada Rabu malam, 9 Maret, ia menunaikan salat Maghrib bersama warga kampungnya di Masjid Muniroh yang lokasinya persis di samping rumahnya. Di sampingnya berdiri Siyono yang juga sedang berdoa.

Ayah dan anak ini jarang melewatkan salat berjamaah di masjid. Namun, Marso tak menyangka ini akan menjadi salat berjamaah terakhir untuk putranya.

Usai salat, Marso seperti biasa meninggalkan masjid terlebih dahulu. Ia melihat tiga orang tak dikenal di belakangnya menunggu Siyono di luar pintu masjid sambil memeluknya lalu membawanya masuk ke dalam mobil. Sebelumnya ada satu orang yang masuk ke dalam masjid namun keluar lagi.

“Saya ingin menegurnya tapi ragu karena saya pikir yang ingin mengajaknya pergi adalah teman Siyono. “Sepertinya cara yang bagus untuk mengundangnya,” kata Marso dengan mata berkaca-kaca mengingat putranya.

Ia baru mengetahui anaknya ditangkap Densus saat pejabat kota dan polisi memberitahukan bahwa rumahnya akan digeledah keesokan harinya, Kamis, 10 Maret. Kakinya lemas sesaat, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Selain fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, sepeda motor Siyono yang berplat DKI Jakarta juga disita polisi dalam penggeledahan tersebut. Polisi tidak memberikan alasan penangkapan Siyono, namun seorang petugas mengatakan dia mengalami masalah ringan, kini berada di tempat aman, dan dalam kondisi baik.

Jantungnya nyaris berhenti berdetak saat mendapat kabar Siyono meninggal dunia saat diperiksa Densus dua hari lalu, Jumat 11 Maret. Ia hampir tak percaya karena putranya dalam kondisi sehat saat ditangkap pada Rabu malam.

Pihak keluarga kemudian membawa jenazah tersebut ke RS Polri Kramat Jati Jakarta dan membawanya pulang pada Sabtu malam dini hari. Jenazah Siyono langsung dimakamkan malam itu juga tanpa ditempatkan di rumah duka.

Namun sebelum dimakamkan, Marso meminta agar jubah putranya dilepas dari polisi dan diganti dengan jubah yang disediakan pihak keluarga. Pasalnya, pakaian tersebut merupakan pakaian terakhir anak yang menghadap Allah, sehingga harus benar-benar suci dan jelas asal usulnya.

Siyono dikenal sebagai anak yang baik, patuh kepada orang tuanya dan baik kepada semua teman dan tetangganya. Ia juga dikenal sebagai orang yang patah hati (selalu tersenyum).

“Dia anak yang baik, sopan, tidak neko-neko (Aneh aneh). “Temannya banyak sekali, saya tidak kenal satupun,” kata Marso.

Di mata Marso, Siyono juga seorang ayah yang baik dan sayang pada anak-anaknya. Kelima anaknya – yang tertua duduk di bangku kelas 1 SMP – sangat dekat dengan ayahnya.

Meski kehilangan anaknya, Marso berusaha menerimanya. Ia berulang kali meminta maaf kepada semua orang jika Siyono melakukan kesalahan dalam hidupnya.

“Saya berdoa semoga anak saya disiksa, jika itu kehendak Tuhan, carilah tempat yang baik di dunia,” kata Marso.

Beberapa teman di kampungnya yang berkumpul di masjid sore itu juga bercerita kepada Rappler bahwa Siyono adalah sosok yang baik dan sahabat yang setia. Dia juga seorang anak-anak keringanan (suka membantu) teman.

Siyono lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian di Klaten ini pernah bekerja sebagai penjual buku dan majalah Islam. Terakhir, dia juga berjualan online on line.

Sedangkan istrinya, Sri Muryani, mengelola TK Terpadu Amanah Ummah Raudlatul Athfal yang memiliki 60 siswa di rumah Marso. Bahkan, sekolah yang berada di bawah Yayasan Al Husna Klaten itu hanya menggunakan rumah Marso sementara hingga gedung baru selesai dibangun.

Entah kebetulan atau tidak dengan meninggalnya Siyono, pihak yayasan memberikan libur kepada anak-anak tersebut hingga tanggal 20 Maret, seperti tertulis di papan yang ditempel di depan rumah. —Rappler.com

BACA JUGA:

HK Hari Ini