Catatan Hitam Demokrasi Era Jokowi
- keren989
- 0
Penegakan hak asasi manusia yang juga termasuk dalam program Nawacita masih jauh dari kata efektif.
JAKARTA, Indonesia – Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara pada Minggu, 21 Mei. Mereka merefleksikan tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan buruknya catatan demokrasi yang menyertainya.
“Kami melawan militerisme, kebangkitan Orde Baru (Orba) dan mengevaluasi 19 tahun reformasi dan hampir 3 tahun pemerintahan Jokowi,” kata Asep Komarudin, Ketua LBH Press, kepada Rappler, Minggu lalu.
Aktivis HAM lain lintas lembaga yang tergabung dalam Gemademocracy juga ikut serta dalam aksi ini. Kritik mereka meliputi bidang hak asasi manusia, hingga konflik agraria yang meningkat tajam pada masa kepemimpinan Jokowi. Bahkan, ia menjadi harapan para aktivis demokrasi karena memiliki masa lalu yang bersih dibandingkan rivalnya di Pilpres 2014, Prabowo Subianto.
Menantu mendiang Soeharto ini terlibat kasus pelanggaran HAM berat, antara lain penculikan 9 aktivis dan 13 orang lainnya yang hingga saat ini belum ditemukan. Prabowo yang saat itu menjabat Panglima (Danjen) Kopassus diyakini mengerahkan pasukannya secara sepihak saat kerusuhan Mei 1998.
Saran yang disampaikan Jokowi yang tidak punya latar belakang militer orang kecil selama kampanye hal itu menjadi lebih menonjol. Sayangnya penegakan HAM yang juga tercakup dalam program Nawacita masih jauh dari harapan. Permasalahan merebak di berbagai isu, mulai dari perempuan hingga masyarakat Papua.
““Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan aparat pemerintah, termasuk pelarangan besar-besaran, terjadi di Papua,” kata Asep.
Mereka juga menghalangi jurnalis asing yang ingin meliput situasi di Cendrawasih, meski pemerintah mengklaim sudah membuka akses. Perempuan juga menghadapi tantangan yang semakin kompleks, karena budaya politik tidak berpihak pada mereka. Perempuan masih rentan terhadap kekerasan, diskriminasi, bahkan kriminalisasi.
Tercatat masih ada 421 peraturan daerah (Perda) diskriminatif yang mengancam perempuan. Aturan tersebut meliputi cara berpakaian dan batasan waktu beraktivitas.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah hukuman cambuk di Aceh atau Qanun Jinayat yang dilaksanakan hanya dalam waktu satu tahun cambuk 180 orang. Termasuk wanita, hanya karena sedang berkencan, atau terlalu dekat dengan lawan jenis. Pernikahan anak juga belum berakhir dan bahkan belum menjadi prioritas penghapusan.
“Hal ini tentu saja menghilangkan hak anak perempuan lainnya, termasuk hak atas pendidikan,” ujarnya lagi.
Echo of Democracy menilai segala hype tentang penegakan HAM pada masa kampanye hanya menjadi jargon ketika Jokowi terpilih. Pada akhirnya, melihat catatan hitam demokrasi ini, mereka menilai ada bahayanya tindakan represif bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk mereka yang mengaku mewakili rakyat.
“Siapapun bisa mewarisi kekejaman, kekejaman dan barbarisme Orde Baru. Artinya, pekerjaan rumah kita bagi para pembela hak asasi manusia dan pejuang prodemokrasi masih jauh dari selesai, ujarnya.
Ia dan kawan-kawannya kemudian melihat bagaimana jalannya pemerintahan ini, merasa perjuangan mereka tampak semakin berat dan suram.
Tidak hanya fokus pada infrastruktur
Johan Budi, Juru Bicara Kepresidenan, membantah telah mengabaikan isu penegakan HAM selama tiga tahun menjabat sebagai Jokowi. Apalagi disebut-sebut hanya fokus pada persoalan ekonomi dan infrastruktur. Menurutnya, setelah hampir dua tahun berada di Istana, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga fokus pada pengembangan sumber daya manusia, reformasi pertanian, dan penegakan hukum.
“Reformasi hukum sudah dimulai, salah satunya dengan membentuk Satgas Saber Pungli. Kemudian pemerintah pusat sejak dipimpin presiden berusaha membenahi peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan di atas, dalam hal ini undang-undang, misalnya tentang penanaman modal, kata Johan yang dihubungi Rappler melalui telepon, Senin. , 22 Mei.
Sementara terkait sosok Wiranto yang kerap dianggap sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur, Johan menjelaskan, pemilihan mantan jenderal TNI itu melalui beberapa tahapan dan proses. Setelah semua itu dilakukan, Jokowi menilai Wiranto layak memimpin Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Terkait adanya peraturan daerah yang diskriminatif, Johan mengatakan, menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah bersama DPRD.
“Pemerintah pusat tidak berhak ikut campur,” kata pria yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama satu dekade ini.
Soeharto mungkin telah mengakhiri pemerintahannya 19 tahun lalu. Namun, jiwa Orde Baru masih bergejolak melalui medium yang berbeda. – dengan pelaporan oleh Santi Dewi/Rappler.com