5 hal yang membuat ‘hapus’ menjadi tidak berarti
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Pekan lalu, media memberitakan pertemuan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dengan pimpinan partai politik. Mereka yang hadir antara lain Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Hanura Wiranto.
Menurut informasi yang beredar, topik pembicaraannya adalah bergerak lagi atau pindahkan kabinet Kerja. Jika itu dilakukan, maka itu akan terjadi bergerak lagi kedua dalam 18 bulan pemerintahan Jokowi. Pekan lalu, Rappler menerbitkan artikel tentang siapa yang bisa dirombak kabinet.
Bergerak lagi kali ini pertaruhan bagi Jokowi (dan Wakil Presiden Jusuf Kalla). Terutama karena pada tanggal 9 Juni 2014 sebelum pemilihan presiden, Jokowi mengatakan: “Kami ingin membangun koalisi yang ramping. Tidak perlu banyak partai politik untuk bergabung. Kami ingin mengutamakan kepentingan rakyat. Bukan memecah belah menteri.”
Padahal, medan politik yang dihadapi Jokowi cukup terjal. Jokowi membentuk kabinet yang tak kalah berani dengan kabinet SBY.
Belum genap setahun, Jokowi melakukannya bergerak lagi kabinet. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan, alasannya ingin membentuk tim solid yang mampu meningkatkan kinerja perekonomian. Faktanya, kabinet Jokowi masih penuh kisruh. Sepanjang tahun 2015 setidaknya terjadi 9 kali kerusuhan di Kabinet Kerja.
Publik bertanya, bagaimana kepemimpinan Jokowi mengatasi kegaduhan tersebut?
Pada awal masa jabatannya, Jokowi yang didukung Koalisi Indonesia Raya dengan kendaraannya PDI-Perjuangan kalah suara di parlemen dibandingkan Koalisi Merah Putih pimpinan Partai Golkar sebagai partai dengan jumlah suara terbanyak kedua. perolehan suara pada pemilu legislatif.
Selama 18 bulan pemerintahannya, Jokowi melakukan konsolidasi politik, termasuk “pelukan” parpol ke dalam KMP. Alasannya? Sebab, Jokowi juga menjadi sasaran kritik PDI-P. Masyarakat menilai Jokowi “bersahabat” dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN, selalu mendukung kebijakan pemerintahan Jokowi.
PAN kemudian diganjar dengan jabatan Ketua Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), sebagai lembaga nonstruktural baru. Ketua Dewan Pertimbangan PAN Sutrisno Bachir duduk di sana. Apakah ini berarti “penugasan” PAN diakomodir pada posisi itu?
Bagaimana dengan Partai Golkar? Jika Ketua Umum Partai Golkar jatuh ke tangan Ade Komarudin yang kini duduk di kursi Ketua DPR, atau ke tangan Airlangga Hartanto, maka kuat dugaan partai berlambang pohon beringin itu juga akan ikut jatuh. bergerak lebih dekat ke istana.
Bahkan di era sekarang, di bawah kepemimpinan Aburizal “Ical” Bakrie, komunikasi dengan pihak istana cukup intensif melalui sosok Luhut yang dikenal dekat dengan Ical dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Golkar.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah menyatakan akan berada di luar kabinet. Didorong masuk? Meski hubungan Jokowi dengan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, cukup baik, namun Prabowo pernah mengatakan bahwa Gerindra tidak meminta kursi di kabinet, dan akan menjadi oposisi.
Kemungkinan masuknya sosok KMP ke kabinet jelas membuat partai politik pengusung KIH seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hanura, dan Partai NasDem ketar-ketir. Masuknya calon dari parpol KMP diperkirakan akan mengurangi perolehan kursi. Apalagi, kinerja anggota kabinet ketiga partai politik tersebut juga mendapat sorotan publik dan dinilai kurang cemerlang.
Bahkan, kinerja para menteri dari kalangan profesional juga menjadi sorotan. Saat saya bertemu diplomat asing di Jakarta, saya mendapat kesan bahwa “kurang dari separuh” kabinet Jokowi berkinerja baik. “Banyak hal yang kita sendiri tidak lihat, apa yang mereka lakukan,” kata seorang diplomat.
Jadi, setelah itu bergerak lagi Pertama, pada 12 Agustus 2015, Jokowi terpaksa membangun komposisi kabinet solid yang mampu bekerja secara tim. Jangan biarkan dia mengocoknya lagi dalam jangka waktu lima tahun.
Ada lima hal yang menurut saya harus diperhatikan dalam prosesnya bergerak lagi kali ini agar tujuan membangun kabinet kokoh dengan kinerja gemilang tercapai. Jika tidak diperhatikan, berapa kali dipindahkan tidak akan mempengaruhi kinerja dan mengancam pelaksanaan program kerja Jokowi.
1. Calon kabinet dari partai politik. Tidak boleh ada dikotomi antara calon dari partai politik dan non-parpol. Namun, partai politik cenderung menawarkan pilihan antara ketua umum, atau kader elit yang dikenal dekat dengan ketua umum atau pendiri partai politik.
Akibatnya, ada potensi Jokowi memilih sosok yang kurang tepat untuk posisi yang diinginkan. Jika Jokowi mengakomodir calon parpol dari KMP dengan mengurangi kuota KIH parpol, maka potensi munculnya orang-orang yang tidak sesuai atau kurang mampu akan kembali terjadi.
2. Secara ekonomi, situasi perekonomian dunia sedang tidak menentu. Pelan – pelan. Sekitar 70 persen perekonomian Indonesia bergantung pada penurunan harga komoditas. Dengan situasi perekonomian yang tidak menentu, penting untuk memastikan seluruh menteri yang tergabung dalam tim ekonomi solid dan bekerja sebagai satu tim. Benturan kepentingan diselesaikan melalui keterbukaan kepada masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat meningkat.
3. Prosedur komunikasi standar harus dibuat secara tertulis. Pernyataan akhir forum pemimpin redaksi pada tahun 2015 menyoroti, antara lain, buruknya metode komunikasi beberapa menteri Jokowi.
Meski berulang kali diingatkan Jokowi bahwa perbedaan pendapat disuarakan dalam rapat kabinet, namun hal tersebut tidak menyurutkan keinginan sejumlah menteri untuk memamerkan perbedaan pendapatnya di depan publik. Kabinet telah menjadi sumber lelucon publik, begitu pula kritik terhadap parlemen selama bertahun-tahun.
4. Kecenderungan terbentuknya lembaga-lembaga baru untuk menangani seluruh sektor yang dianggap penting harus dibarengi dengan kecepatan pemenuhan perangkat kerja, termasuk dukungan finansial untuk melaksanakan program kerja. Parameter kerja juga harus diumumkan secara terbuka sehingga masyarakat dapat berpartisipasi menilai efektivitas lembaga-lembaga tersebut. Misalnya KEIN, Badan Restorasi Ekosistem Rumput dan badan-badan lain yang akan dibentuk.
5. Kalaupun menteri yang masuk kabinet berasal dari non-parpol (apalagi parpol), rekam jejaknya harus diperhatikan. Di era digital, masyarakat akan dengan mudah mengecek catatan tersebut. Karena bergerak lagi Diharapkan menjadi yang terakhir di pemerintahan saat ini, sehingga pengungkapan nama dan jabatan harus disambut positif dan didukung oleh rekam jejak yang baik.
Setelah 18 bulan berkuasa, tidak ada alasan bagi Jokowi untuk merasakan hal yang sama “anak baru di blok ini” di Istana kekuasaan.
Bergerak lagi Jika hal ini terjadi, kali ini merupakan ujian bagi kualitas kepemimpinan Jokowi. Saat rekan redaksi dari negara tetangga bertanya, saya ditanya tentang kepemimpinan Jokowi. Saya menjawab, dari segi pembangunan ekonomi, Jokowi melakukan apa yang dilakukan Presiden Soeharto, yakni gencar membangun infrastruktur dan menangani ketahanan pangan dengan target swasembada dalam tiga tahun.
Faktanya, ini adalah resep kepemimpinan ketika perekonomian sedang melambat atau bahkan terpuruk. Situasi sulit dihadapi Jokowi karena ia memegang kekuasaan di era demokrasi yang kekuasaannya tidak bersifat absolut. Di sisi lain, Jokowi juga tidak memulai dari awal karena beberapa proyek sudah dimulai sejak era pendahulunya.
Karena cukup fokus pada pembangunan fisik, kritik terhadap Jokowi adalah ia memarjinalkan isu HAM, isu intoleransi yang meluas, bahkan isu diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Sebenarnya saya sudah membaca beberapa pernyataan Jokowi mengenai hal ini yang intinya meminta anak buahnya serius menyikapi persoalan sosial politik.
Bagaimana cara penerapannya? Ini masih menjadi tanda tanya besar. Salah satu hal penting yang menjerat pemerintahan Jokowi adalah persoalan tokoh-tokoh seputar kekuasaan yang memiliki konflik kepentingan.
Selain fokus pada pembangunan ekonomi, seperti yang dilakukan Soeharto, saya rasa Jokowi juga membawa suasana segar dan informal ke dalam pemerintahan, seperti halnya Presiden Gus Dur. —Rappler.com
BACA JUGA: