• October 2, 2024

Pembangunan jalan setapak tanpa izin membuat ‘warga’ Bromo berang

MALANG, Indonesia – Suyon dan Paris mendaki ke kawah Gunung Bromo pada Sabtu malam. Keduanya berjalan kaki dari Cemoro Lawang, Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.

Sabtu sore itu, 12 Desember, mereka membawa sebungkus sesaji untuk dipersembahkan kepada “warga” di sekitar Gunung Bromo.

Seperti banyak warga Suku Tengger lainnya, mereka yakin Gunung Bromo yang saat ini sedang meletus dan mengeluarkan asap sulfat serta abu vulkanik, tidak akan merugikan warga yang ingin berdoa dan meminta keselamatan kali ini agar terhindar dari amukan Bromo.

Di tengah asap dan abu, warga Ngadisari masih rutin berdoa di Pura Lautan Pasir, minimal sebulan sekali.

(BACA: Kawah Gunung Bromo Tertutup Karena Keluarkan Asap Putih)

“Mendaki Bromo tidak masalah. Kita doakan keselamatan, yang terpenting jangan sampai Bromo erupsi. “Itu tidak sopan,” kata Paris kepada Rappler, Kamis, 17 Desember.

Parys dan Suyon merupakan gambaran masyarakat Tengger pada umumnya. Mereka menggantungkan hidup dan penghidupan mereka pada berkah Gunung Bromo.

Meski Bromo terus mengeluarkan asap dan abu sejak ditetapkan status waspada pada 4 Desember, warga sekitar tetap beraktivitas seperti biasa. Lautan Pasir yang tertutup bagi wisatawan juga tidak menghentikan aktivitas warga Tengger.

Mereka tidak ingin menyinggung perasaan Bromo dengan menunjukkan rasa takut akan letusan. Perilaku seperti itu, menurut warga sekitar, dinilai mampu mengundang kemarahan Bromo lebih besar.

“Kami tinggal dari Bromo. Kalau marah (erupsi), kami yakin Bromo juga memberi berkah. Nantinya lahan pertanian kita akan semakin subur, kata Paris.

Mulailah dengan membangun jalan setapak

Namun letusan yang terjadi pada akhir tahun ini tentu berdampak besar pada sektor pariwisata Bromo.

Gunung yang dikelilingi lautan pasir dan sabana ini selalu menjadi daya tarik puluhan ribu pengunjung di libur Natal dan Tahun Baru. Namun tahun ini, letusan tersebut diyakini akan membuat wisatawan enggan berkunjung.

Sebaliknya, bagi warga, erupsi Bromo harus diterima dengan lapang dada.

“Beberapa bulan lalu, petugas membangun jalan setapak baru di kaki Bromo, dekat tangga menuju kawah Bromo. “Mereka membangun jalan tersebut tanpa pamit kepada Bromo dan tanpa meminta pertimbangan dari para sesepuh,” kata Paris.

Jalan setapak tersebut dibangun menggantikan jalan lama yang digunakan sebagai satu-satunya jalan bagi pejalan kaki dan ojek di sekitar Bromo. Rencananya jalan baru tersebut akan dijadikan jalan khusus taksi kuda, sedangkan jalan lama hanya digunakan pejalan kaki.

“Jalan baru berkelok-kelok dan lokasinya tidak senyaman yang lama. “Jalan lama itulah yang membersihkannya (dari makhluk gaib) dan yang menjaganya adalah tukang ojek kuda,” kata Paris.

“Kami tinggal dari Bromo. Kalau marah (erupsi), kami yakin Bromo juga memberi berkah. “Nanti lahan pertanian kita akan semakin subur.”

Selain dituding melukai para tukang ojek yang juga warga sekitar, jalan baru yang dibangun tanpa persetujuan “warga” Bromo itu diyakini dibangun di atas istana gaib yang tinggal di Bromo. Akibatnya, menurut kepercayaan masyarakat setempat, Bromo memuntahkan berbagai material vulkanik untuk membangun kembali istananya yang rusak.

Kepala Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Mujiono mengatakan, sejumlah upaya berupa ritual dilakukan di Bromo pascaerupsi terjadi.

“Ada ritual dan persembahan di tiga tempat, dua di antaranya di jembatan (toilet) dan di kaki tangga di lautan pasir,” kata Mujiono.

Menurutnya, jika Bromo terus meletus, masyarakat Tengger harus menerimanya sebagai anugerah, seperti banyak hal baik lainnya yang diberikan Bromo sepanjang tahun.

“Lima ribu masker sudah siap. Warga kami tidak mau memakai masker karena dianggap akan menimbulkan bahaya. Jadi kalau kondisinya genting, kami siap diterjunkan, kata Mujiono.

‘Kami punya Tuan. Dapatkan Izin Dukun’

Kepercayaan warga terhadap sesuatu yang gaib di sekitar Bromo sangat kuat. Mujiono memberikan beberapa contoh kasus.

Menurutnya, kejadian tersebut terjadi saat seorang mahasiswa asal Yogyakarta sedang berada di Ngadas sedang mengerjakan tugas kuliah. Ia memasang pasak untuk menjemur pakaian di belakang balai desa.

Setelah itu, siswa tersebut mengalami mual dan muntah hingga harus ke dokter sebanyak tiga kali.

“Saya ke dokter di Malang, sembuh. Lalu lagi disini mual dan muntah. Tiga kali akhirnya saya bawa ke orang pintar, ternyata dia memasang tiang jemuran tanpa menyapa. Akhirnya harus berkorban di tempat penjemuran, baru sembuh, kata Mujiono.

Penduduk setempat percaya, jika ingin memindahkan benda seperti batu atau pohon, atau bahkan menambah bangunan, harus “meminta izin” terlebih dahulu. Caranya adalah dengan membuat sesaji berupa jenang atau ketan merah.

“(Kasus mahasiswa) hanya benang cucian. Lagipula ini membangun jalan di istana sakti tanpa pamit, jadi jadinya seperti ini (letusan gunung), ujarnya.

Meski demikian, Kepala Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Ayu Dewi Utari mengatakan, pembangunan jalur tersebut telah melalui proses perizinan yang benar, yakni mendapat izin dari tokoh adat dan mulai melaksanakan upacara adat.

“Pak Dukun (tokoh adat setempat) yang menentukan jalannya dan sudah ada keselamatan. “Ini untuk memisahkan jalur kuda dan wisata, supaya tidak bercampur,” kata Ayu kepada Rappler.

Hanya 100 pengunjung per hari

Meski berdampak pada kunjungan wisatawan, namun warga Tengger tidak kehilangan mata pencaharian utama sebagai petani.

Di Ngadas, dari luas wilayah kota sebesar 395 hektar, sekitar 380 hektar diantaranya merupakan lahan pertanian yang diusahakan oleh seluruh keluarga di Ngadas, yaitu sekitar 497 kepala keluarga.

“Sampai saat ini dampak abu tipis di Ngadas belum berdampak pada pertanian. “Pariwisata menurun, namun mata pencaharian utama kami adalah sebagai petani,” kata Paris.

Terdapat sekitar 56 penginapan di Ngada, dengan 52 penyedia jasa mobil Jeep, 80 ojek, dan sekitar 7 ojek berkuda.

Kepala Pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Wilayah 1 Fariana Prabandari mengatakan, terjadi penurunan wisatawan sebesar 95 persen, terutama dari pintu masuk Cemoro Lawang, Probolinggo.

“Saat ini kunjungan wisatawan baru 5 persen. Namun kami masih bersiap menyambut kunjungan Tahun Baru dan Natal karena saat ini sejumlah hotel di sekitar Cemoro Lawang sudah penuh pelanggan. “Kalau Bromo tetap waspada, harapannya dilarang turun ke Laut Pasir,” kata Fariana.

Menurut Ayu, lima persen pengunjung berarti seharinya hanya sekitar 100 wisatawan.

“Hanya sekitar 100 orang. “PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) 2015 (target) Rp 16 miliar tidak tercapai,” kata Ayu.

Sepanjang tahun 2014, Taman Nasional Bromo mencatat pengunjung domestik sebanyak 564.433 orang dan wisatawan mancanegara sebanyak 23.712 orang dengan PNBP mencapai Rp15,171 miliar. —Rappler.com

BACA JUGA:

Data Sidney