MEA 2015 Dimulai, Siapkah UMKM Indonesia?
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Permasalahan yang ada mulai dari dampak melemahnya nilai tukar rupiah, biaya logistik, upah buruh hingga kualitas sumber daya manusia
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dimulai bersamaan dengan tahun baru 2016. Bagi Indonesia, kesatuan pasar di kawasan Asia Tenggara ini tidak hanya berdampak pada kesiapan lapangan kerja, namun sektor riil juga terkena dampaknya.
Kita masih ingat pada awal September 2015, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 14 ribu per dolar. Situasi ini sangat menyulitkan importir, dan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) pada industri yang mengandung impor, seperti barang elektronik dan teknologi informasi (IT). Belum ada kepastian harga jual ke konsumen.
PHK disebabkan oleh tuntutan efisiensi dan kebangkrutan. Padahal, pemerintah memberlakukan kewajiban pembayaran barang dalam mata uang rupiah di wilayah Indonesia.
Permasalahan lain yang dialami pengusaha adalah penerapan aturan pengadaan barang dan jasa barang elektronik, alat tulis kantor, dan teknologi informasi harus menggunakan e-katalog dan e-procurement.
Sosialisasi pemerintah terhadap pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih minim sehingga mereka tidak mendapatkan “kue” proyek pengadaan barang dan jasa yang pada tahun-tahun sebelumnya bisa diperoleh melalui perekrutan langsung atau lelang.
Terkait MEA, meski pemerintah terus menerus melakukan penerbitan, namun dampaknya terhadap pekerja dan pengusaha UMKM akan sangat merepotkan pada semester I tahun 2016.
Penyebabnya, belum adanya kesiapan dan kepedulian terhadap (calon) pekerja dan pengusaha. Persaingan pencari kerja yang sangat ketat dan ancaman PHK bagi pekerja yang kurang terampil akan muncul ketika tenaga kerja asing leluasa masuk ke Indonesia.
Degradasi (calon) tenaga kerja lokal akan terjadi karena tingkat persaingan dengan tenaga kerja migran dari luar negeri.
MEA tidak hanya merupakan pasar terpadu, hubungan bilateral yang semakin bersahabat dengan Tiongkok telah memungkinkan mereka mendominasi pasar domestik. Kita tidak ingin dunia usaha khususnya kelas UMKM mati karena kalah bersaing dengan masuknya produk dari sembilan negara lain.
Perlunya peningkatan daya saing
Banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan produk dalam negeri, namun yang terpenting adalah meningkatkan daya saing Indonesia.
Berdasarkan Indeks Daya Saing Global (Indeks Daya Saing Global/GCI), Indonesia naik lagi ke peringkat 34 dari 144 negara, seperti diberitakan Forum Ekonomi Dunia di dalam Laporan Daya Saing Global 2014-2015.
Di tingkat ASEAN, peringkat Indonesia masih kalah dengan tiga negara tetangga, yakni Singapura yang berada di peringkat ke-2, Malaysia di peringkat ke-20, dan Thailand di peringkat ke-31.
Namun posisi Indonesia masih unggul dari Filipina yang berada di peringkat 52, Vietnam di peringkat 68, Laos di peringkat 93, Kamboja di peringkat 95, dan Myanmar di peringkat 134.
Ada beberapa hal yang menjadi faktor lemahnya daya saing Indonesia. Menurut studi Kementerian Perindustrian, faktor-faktor tersebut meliputi kinerja logistik, tarif pajak, suku bunga bank, dan produktivitas tenaga kerja.
Masih belum ada solusi yang jelas terhadap buruknya pengawasan terhadap produk impor, penyelundupan, masalah keamanan yang mengganggu investasi dan tingginya tarif. biaya penanganan terminal. Kami menunggu janji pengurangan waktu tinggalapakah hal tersebut dilakukan secara konsisten.
Ada beberapa sektor industri yang perlu ditingkatkan daya saingnya untuk mengamankan pasar dalam negeri, yaitu sektor otomotif, elektronik, pakaian, alas kaki, furnitur, makanan dan minuman. Dan salah satu yang berpeluang memiliki daya saing tinggi adalah Indonesia merupakan salah satu produsen kopi Arabika terbaik dunia.
Dan mungkin beberapa cabang industri lain di Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara tetangga, namun pada sektor industri jasa, Indonesia dinilai sama sekali tidak memiliki keunggulan.
Persoalan lainnya adalah upah minimum, kepastian hukum, biaya angkutan barang yang masih terlalu mahal, kualitas sumber daya manusia yang tercermin dalam indeks pembangunan manusia, serta kualitas pendidikan dan kesehatan.
Yang terpenting adalah perbaikan infrastruktur dan biaya logistik. Saat ini di Indonesia biayanya mencapai 16 persen dari total biaya produksi, meski biasanya hanya sekitar 9-10 persen. Kami berharap Indonesia National Single Window dapat efektif menekan biaya logistik.
Para pengusaha UMKM kini harus bekerja ekstra keras untuk memasuki MEA karena sebelumnya kita kurang khawatir dan kurang siap. —Rappler.com
BACA JUGA:
Nursamsi merupakan asesor pada lembaga sertifikasi profesi komputer dan anggota Dewan Pengurus Ikatan Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo)