• October 11, 2024

Nenek 96 tahun, aktivis Gerwani, penyintas tragedi 1965

Saya lahir 96 tahun yang lalu di Musuk, sebuah kecamatan di Boyolali yang terletak di kaki Gunung Merapi. Tepatnya tanggal 15 Maret 1920.

Nama saya Suti, putri seorang petani miskin. Namun, sejak kecil saya mempunyai keinginan yang kuat untuk bersekolah walaupun orang tua saya tidak mampu membiayainya. Sampai pada titik di mana saya bersedia mendengarkan (melayani) keluarga kaya agar saya bisa dikirim ke Volkskool (SR).

Seorang anak desa kemudian mengambil saya sebagai pacar putrinya. Kami berdua berangkat ke sekolah. Saya cukup beruntung bisa bersekolah karena saat itu tidak banyak gadis miskin yang bisa mengenyam pendidikan SR.

Namun, sekolah sepertinya tidak mengubah takdirku. Saya hanya menjual sirih di pasar desa ketika saya masih muda. Dahulu, ibu merupakan hal yang lumrah di desa tinggal (mengunyah daun sirih, pinang, jeruk nipis dan tembakau, -red) agar giginya kuat.

Saya seorang penjual sirih yang bisa membaca dan menulis. Ketika para pedagang di pasar hanya berkutat dengan perhitungan jual beli, saya biasa membaca koran dan majalah pada masa kemerdekaan. Saya mengikuti perkembangan saat ini.

Pada tahun 1951, suatu pagi, saya berjalan kaki ke pasar Jatinom, Klaten, untuk berjualan sirih. Di jalan aku melihat kerumunan wanita di sebuah rumah yang menarik perhatianku.

Saya mendekat, mencari untuk mencari tahu. Ternyata itu adalah perkumpulan perempuan yang menamakan dirinya Gerakan Perempuan Bangun Istri (Gerwis). Seseorang mendekati saya dan meminta saya untuk bergabung.

Saya mendengar orang-orang di sana berbicara tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hak waris, perkawinan, pendidikan; kedudukan yang setara antara perempuan dan laki-laki; penolakan poligami dan poliandri – mendukung monogami. Aku kecanduan.

Saya sepenuhnya setuju dengan mereka. Saya istri ketiga, korban poligami dari perjodohan orang tua saya. Pernikahan yang tidak adil dan menyakitkan bagi wanita.

Peran perempuan di Pulau Jawa saat itu tidak lain hanyalah juru masak, kera, manak (memasak, berpakaian, melahirkan). Kegiatannya tidak jauh dari kasur, dapur, yah. Dari kecil saya ditanamkan bahwa perempuan (wanita) menyukai”surga mengikuti, neraka mengikuti” – perempuan hanya mengikuti laki-laki di belakang, mereka tidak bisa berdiri. Saya ingin perempuan menjadi seperti laki-laki dan mampu melakukan pekerjaan laki-laki.

Saya semakin aktif terlibat dalam gerakan berideologi sosialis-feminis yang didirikan oleh SK Trimurti. Ini adalah pengalaman pertama saya berorganisasi. Saya sering berorasi ketika ada kegiatan di Jatinom dan Musuk, untuk mengedukasi perempuan dan menyadarkan mereka akan hak-haknya.

“Siapakah yang mengandung, menyusui dan melahirkan laki-laki dan perempuan? Ibu kami. Seorang gadis Perempuan berjuang untuk hidup tetapi mereka tidak diperlakukan sama dengan laki-laki,” demikianlah kata-kata saya mengajak perempuan untuk bergabung dan memperjuangkan kesetaraan.

Perjuangan saya berlanjut pada tanggal 2 Februari 1952, ketika Gerwis dideklarasikan di Musuk, dan saya terpilih menjadi ketuanya. Ketika Gerwis berubah menjadi Gerakan Perempuan Indonesia (Gerwani) pada kongres tahun 1954 di Jakarta, seluruh cabang organisasi pun ikut berganti nama.

Kemudian saya menjadi ketua organisasi Gerwani Boyolali yang saat itu anggotanya sudah lebih dari 2.000 orang dan terus bertambah hingga 4.000 orang, termasuk dari Kabupaten Semarang.

Kegiatan saya dan teman-teman, selain menyadarkan perempuan akan hak-haknya, juga mendirikan taman kanak-kanak di desa-desa dan sekolah untuk perempuan buta huruf. Semuanya gratis, dan diperuntukkan bagi anak-anak dan perempuan yang tidak mampu. Dana kegiatan Gerwani diperoleh dari iuran anggota.

Saya juga menyaksikan pemilihan umum (pemilu) pertama di negeri ini pada tahun 1955. Seingat saya, ada empat partai besar saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Islam. Komunis Indonesia (PKI).

Gerwani tidak mempunyai hubungan organisasi dengan PKI, namun banyak anggotanya, termasuk saya, memilih PKI dalam pemilu karena kesamaan ideologi mereka yaitu sosialisme. Keputusan Gerwani untuk mendukung PKI atau tidak baru dibicarakan pada Kongres Desember 1965.

Saya pengurus Gerwani sampai tahun 1957. Setelah reorganisasi saya hanya menjadi aktivis biasa meski masih sering mengikuti berbagai kegiatan penting.

Pergolakan politik tahun 1965 mengakhiri semua itu. Gerwani dituduh terlibat dalam pemberontakan dan penyiksaan para jenderal di Jakarta. Seluruh aktivis, pengurus dan anggota diburu dan ditangkap. Organisasinya dinyatakan terlarang.

Boyolali yang dianggap sebagai salah satu basis komunis di Jawa Tengah menjadi tempat perburuan pendukung PKI oleh militer. Saya dikejar oleh “baret merah” dan sekelompok pemuda Marhaen yang mengancam akan membunuh saya dan membakar rumah saya.

Saat itu, rumah-rumah yang bertanda milik Barisan Tani Indonesia (BTI) atau aktivis Gerwani dibakar. Penghuninya ditangkap, dipenjarakan tanpa pengadilan, atau dieksekusi.

Saya berhasil kabur ke sebuah desa dan menyamar sebagai petani di sebuah kebun agar tidak dicurigai sebagai aktivis Gerwani. Kemudian saya bertemu dengan seseorang yang masih berhubungan dengan saya.

Tak disangka, diam-diam dia melaporkan saya ke tentara agar saya ditangkap karena dianggap berbahaya. Lariku sudah berakhir.

Saya ditahan bersama 19 orang muda. Aku satu-satunya gadis.

Suatu pagi yang gelap kami dimuat ke dalam truk dan dibawa ke kota untuk diperiksa.

Para pemuda itu disuruh menggali lubang besar. Lalu kami ditelanjangi, telanjang bulat. Kami dijemur hingga lewat tengah hari.

Saya sedang menjalani hukuman saya topo pepe wudo rambut (cara mengeringkannya telanjang cukup ditutupi rambut saja). Untung saja rambutku panjang sekali jika tidak diikat, dan bisa aku gunakan untuk menutupi alat kelaminku.

Saya pikir kami akan segera dibawa ke penjara. Tapi, dugaanku salah. Senjata menyalak berulang kali, memecah keheningan hari itu. Satu demi satu pemuda yang berdiri tegak itu roboh dan terjatuh tak bernyawa ke tanah. Mereka ditempatkan di lubangnya sendiri. Ini mengerikan.

Rasanya aku akan segera mati, menunggu peluru masuk ke dadaku. Namun, saat dia sendirian, suara senjata berhenti. Saya mendengar dua tentara berbicara.

“Apakah wanita tua itu dibunuh atau tidak? Dia berbahaya,” kata seorang tentara kepada temannya.

“Biarkan saja, besok kamu mati,” sahut yang lain.

Eksekusi selesai. Saya tidak lega bahwa saya lolos dari kematian hari ini. Pikiran saya masih dipenuhi ketakutan bahwa saya akan ditembak besok pagi. Saya masih diteror dengan pembantaian itu.

Sore harinya saya mendapat sepiring nasi, lalu saya makan sampai habis. Biarlah nasi ini menjadi makanan terakhirku besok dan bekal kematianku, kataku dalam hati.

Pagi harinya saya dipindahkan ke dapur umum tentara. Saya menjadi pelayan mereka. Hampir setiap hari saya mengalami intimidasi dan teror.

“Kamu tahu apa itu, itu untuk membunuhmu,” kata seorang tentara sambil menodongkan pistol ke kepalaku dari jarak dekat dan mencoba mengancamku.

Saya tidak dieksekusi atau dijebloskan ke penjara Plantungan seperti aktivis Gerwani lainnya. Saya masih bertahan di dapur umum, sampai suatu hari seorang tentara memanggil saya.

“Apakah kamu ingin bebas?” kata seorang prajurit utama.

“Ya, Tuan,” kataku tanpa berpikir.

“Aku bisa membebaskanmu, tapi ada syaratnya. Anda harus bekerja sama dengan kami dan memata-matai organisasi, asosiasi, atau pertemuan apa pun di kota.”

Mungkin para prajurit mengetahui saya adalah “orang tua” di Gerwani, sehingga mereka mengira mempunyai banyak informasi tentang gerakan ini dan anggota lain masih bersembunyi.

“Anda melapor kepada saya setiap minggu,” kata prajurit itu.

Saya setuju, tapi saya tidak pernah memberikan informasi apa pun saat melapor. Saya bilang tidak ada pertemuan ilegal di kota, semuanya aman.

Sesampainya di rumah, ternyata rumahku masih ada, belum terbakar. Namun, seluruh isi rumah dicuri dan dicuri. Suami saya meninggal karena gantung diri di pohon.

Tak ada yang tersisa selain Basuki, Nak. Saya akhirnya dibebaskan tanpa syarat karena harus mengurus anak saya.

Namun sulit bagi saya untuk kembali ke masyarakat. Banyak orang di kota yang memusuhi saya, mengucilkan saya dan tidak ingin berbicara satu sama lain lagi. Saya diperlakukan seperti penjahat yang baru saja keluar dari penjara.

Seorang pejabat kota kemudian menawarkan sesuatu. Saya masih bisa memilih dalam pemilu, tapi saya harus mengikuti keinginan mereka untuk hidup aman. Saya terpaksa memilih partai berlambang pohon beringin itu.

Pada masa Orde Baru, tidak ada lagi gerakan perempuan yang digantikan oleh Pembangunan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Perempuan dibungkam dan peran utama mereka dikembalikan ke urusan rumah tangga – mengurus keluarga.

Beberapa kali saya bertemu dengan teman-teman mantan narapidana tahun 1965 ketika saya bergabung dengan Persatuan Korban Orde Baru. Namun ada juga yang menghilang tanpa jejak.

Kini ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang membantu kita mengungkap pelanggaran HAM berat tahun 1965-66. Namun, saya tidak tahu apakah penegakan hak asasi manusia akan berhasil. Orang-orang seusiaku yang menjadi saksi sejarah meninggal satu per satu.

Saya hanya berharap ada orang yang terus memperjuangkan perempuan. —Rappler.com

Kisah ini diceritakan Suti (96 tahun), aktivis Gerwis/Gerwani yang selamat dari tragedi kemanusiaan tahun 1965, kepada Ari Susanto dari Rappler.

Ingatan Suti masih cukup kuat dan ucapannya masih jernih dan lancar. Namun trauma masa lalunya masih berlanjut hingga saat ini. Mengingat pembantaian itu, dia mengamuk di malam hari, menangis dan menjerit.

Suti kini tinggal bersama anak-anaknya di sebuah desa di Musuk, Boyolali.

BACA JUGA:

Pengeluaran SDYKeluaran SDYTogel SDY