Perppu ormas menuai berbagai kritik
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan buatan AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteks, selalu merujuk ke artikel lengkap.
Mulai dari tidak terpenuhinya unsur keadaan darurat, ancaman pasal karet, hingga kebebasan berserikat
JAKARTA, Indonesia – Sejumlah kecaman muncul setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengumumkan isi peraturan pemerintah bukan undang-undang (Perppu) untuk Ormas. Mulai dari poin penghapusan tata cara pengadilan pembubaran organisasi kemasyarakatan (Ormas) hingga ketentuan unsur pidana yang menjadi sorotan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting, menilai tidak ada syarat batal demi hukum yang mengharuskan Jokowi menandatangani Perppu tersebut.
“Tidak ada situasi kekosongan hukum terkait tata cara penjatuhan sanksi terhadap ormas. UU Ormas jelas mengatur mekanisme penjatuhan sanksi, termasuk pembubaran ormas yang prinsip dan kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” kata Miko saat dihubungi Rappler, Kamis, 13 Juli.
Regulasi yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Ormas, mengatur secara lengkap mekanisme pembubaran ormas, termasuk penerapan sanksi administratif sebelumnya.
Secara substantif, Perppu Ormas menghilangkan bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat di Indonesia, yaitu proses pembubaran ormas melalui pengadilan. Pasal 61 Perppu Ormas memungkinkan pemerintah mencabut status hukum ormas secara sepihak tanpa didahului proses penyidikan di pengadilan.
“Padahal, proses ini penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang bagi ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan kepada hakim untuk menyampaikan dalil para pihak dalam suatu perkara secara adil di persidangan. Mekanisme ini juga mencegah kesewenang-wenangan pemerintah membubarkan ormas,” kata Miko.
Perppu ini mereposisi posisi negara terhadap organisasi masyarakat sipil, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Terakhir kali pembubaran ormas tanpa melalui pengadilan terjadi ketika pemerintahan Orde Baru – melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 – Organisasi Pemuda Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) pada tahun 1987 dibubarkan secara sepihak.
Apalagi ketentuan dalam Perppu Ormas mengatur tentang pengenaan sanksi pidana terhadap siapa saja yang menjadi pengurus atau anggota ormas jika ormas tersebut melakukan pelanggaran. Hal ini memungkinkan negara untuk menghukum orang bukan karena tindak pidana yang dilakukannya, tetapi karena status keanggotaannya dalam organisasi massa.
“Situasi ini tentu berpotensi melanggar kebebasan berserikat warga negara yang dijamin konstitusi,” kata Miko.
PSHK mendorong DPR mengesahkan Perppu No. 2 Tahun 2017 pada sidang berikutnya ditolak. Selain itu, tanpa perlu menunggu proses pembahasan Ormas Perppu di DPR, upaya masyarakat sipil untuk mengajukan permohonan revisi Ormas Perppu ke Mahkamah Konstitusi juga harus digalakkan.
Sementara itu, Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia (HRWG) melihat Perppu ini justru memperkuat penodaan agama sebagai bentuk kejahatan. Bahkan, pasal tersebut diperdebatkan karena dianggap sepele dan rawan kriminalisasi.
“Dalam catatan HRWG, pasal ini sering digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi yang terkandung dalam undang-undang,” kata Muhammad Hafiz, direktur HRWG.
Selain itu, pembatasan dalam Perppu seperti pemahaman yang bertentangan dengan Pancasila, seperti penggunaan simbol atau ciri-ciri yang menyerupai organisasi terlarang, juga ambigu. Hafiz melihat potensi penyalahgunaan pasal ini untuk kriminalisasi, seperti yang sering terjadi pada UU ITE dan penodaan agama.
Keduanya mengapresiasi upaya pemerintah meredam intoleransi. Namun, bukan berarti memotong prosedur pengadilan dan memberikan kewenangan mutlak kepada pemerintah.
“Kami berharap DPR menolak Perppu ini,” ujarnya.
Sebelumnya, Perppu Presiden Joko “Jokowi” Widodo No. 2 Tahun 2017 ditandatangani terkait dengan Ormas. Aturan ini disebut terkait dengan sulitnya pemerintah menyelesaikan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang disebut bertentangan dengan Pancasila. – Rappler.com