Mengapa kita harus bersikap skeptis dan sinis di Hari Pahlawan?
- keren989
- 0
Saat nama Soeharto kembali dibicarakan sebagai pahlawan nasional, saya seperti kebanyakan netizen di Indonesia pun mulai heboh berkomentar. Bagi saya, Soeharto tidak layak menjadi pahlawan. Terlalu banyak masalah yang belum terselesaikan yang terhenti ketika dia meninggal.
Bahkan ketika Gus Dur diputuskan menjadi pahlawan, saya ragu, seandainya dia masih hidup, apakah dia akan mendapat gelar itu? Gelar yang terlalu duniawi dan terkesan seremonial belaka?
Kepahlawanan bagi saya adalah tentang banyak hal. Ini bukan lagi persoalan siapa melakukan apa, namun sering kali merupakan persoalan otoritas. Tentang narasi dan klaim sejarah yang seringkali mengalami kendala dalam penyusunannya.
Misalnya saja, apakah Diponegoro merupakan pahlawan bagi masyarakat Papua? Apakah Hasanudin pahlawan bagi masyarakat Bali? Dan apakah Tan Malaka kalah pahlawan dibandingkan Hatta dan Sukarno?
Gelar pahlawan lebih dekat dengan peristiwa politik dibandingkan peristiwa sejarah.
Namun bagaimana menafsirkan kepahlawanan saat ini? Apakah ini masih dimaknai sebagai upaya melawan penjajah? Atau masih dibatasi oleh mereka yang menduduki jenjang karir militer?
Belakangan saya jadi yakin bahwa kepahlawanan bukan lagi sekedar memperjuangkan kemerdekaan bangsa, mengharumkan nama bangsa, atau memperjuangkan kedaulatan negara. Heroisme bagi saya lebih dekat dengan bagaimana kita bertindak adil ketika negara menindas rakyatnya sendiri.
Di sekolah saya diajarkan bahwa Hari Pahlawan adalah momen penting dalam sejarah Indonesia. Perang Surabaya yang menjadi latar sejarah Hari Pahlawan Nasional setiap tanggal 10 November, menyaksikan martirnya pemuda dan pemudi Surabaya yang ikut serta dalam pertempuran tersebut. Kita kemudian diminta untuk mengingat bahwa pengorbanan para pejuang harus dimaknai sebagai pengorbanan untuk negara.
Tanpa mengurangi peran para patriot yang gugur dan turut serta dalam peristiwa bersejarah ini, bisakah kita saat ini memaknai kembali apa itu pahlawan dan kepahlawanan?
Bertahun-tahun setelah Indonesia merdeka, kita masih mengenang para patriot ini. Tentu saja, para pejuang yang gugur mengharapkan negara yang sempurna. Negara yang berdaulat dan menghormati rakyatnya. Tapi apakah itu benar?
Ketika negara, dalam hal ini pemerintah, mengabaikan penderitaan rakyatnya, apakah negara harus dihormati? Para pejuang ini tentu tidak memperjuangkan negara yang tidak berpihak pada rakyat dan tunduk pada kemauan investor. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa kita benar-benar bebas dan berdaulat saat ini?
Saat ini saya terpaksa bersikap skeptis dan sinis terhadap kata pahlawan dan nasionalisme. Bukan, bukan karena saya sudah tidak percaya lagi dengan negara ini, tapi karena saya sudah sering kecewa dengan cara pemerintah kita memihak dalam perselisihan dengan rakyatnya.
Kasus yang terjadi di Urutsewu, Paniai, Rembang, Batang, Kulon Progo, dan Tanjung Benoa sebenarnya menunjukkan betapa berpihaknya pemerintah ini. Nasionalisme yang merupakan semangat kepahlawanan telah mengalami penghinaan yang begitu kritis.
Bagi saya, pahlawan bukan lagi mereka yang punya nama besar. Pahlawan di Indonesia saat ini adalah mereka yang terus melawan penindasan namun tetap percaya pada negara.
Pahlawan bagi saya bukanlah mereka yang menjadi jenderal perang dengan banyak pangkat dan bintang, melainkan para ibu yang gigih memperjuangkan hak negaranya sendiri. Seperti halnya perempuan Rembang, meski berkali-kali dikecewakan pemerintah, mereka tetap percaya pada negeri ini.
“Hari ini saya terpaksa bersikap skeptis dan sinis terhadap kata pahlawan dan nasionalisme, karena saya sering kecewa dengan cara pemerintah kita memihak dalam perselisihan dengan rakyatnya.”
Bagi saya, ibu-ibu yang masih tinggal di tenda-tenda di Rembang adalah pahlawan. Mereka adalah sekelompok orang-orang hebat yang menolak dikalahkan. Mereka melawan apa yang mereka anggap sebagai tiran, korporasi yang mengancam keberadaan lingkungan tempat mereka tinggal.
Apakah ibu-ibu ini membenci negaranya? TIDAK. Dalam beberapa kesempatan mereka masih percaya pada negara, mereka tetap mengaku sebagai warga negara Indonesia, padahal kita tahu mereka seolah dilupakan oleh negara.
Di tingkat lain, kita bisa melihat kepahlawanan lain dari ibu-ibu Kamisan. Mereka yang menolak impunitas dan bersikeras agar negara ini menjadi negara besar. Negara yang mengakui kesalahannya, menjunjung tinggi keadilan hak asasi manusia dan mengusut tuntas kasus kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hanya Tuhan yang tahu sampai kapan ibu-ibu ini akan terus eksis dan menuntut keadilan bagi anggota keluarganya. Namun pantaskah negara berdiam diri dan membiarkan masyarakat bicara soal kepahlawanan padahal negara sendiri mengabaikan rakyatnya?
Kepahlawanan juga hadir di kalangan relawan pemadam kebakaran yang membakar hutan Indonesia. Hutan dibakar karena kepentingan sawit, saat negara hanya bisa diam dan takut, para relawan ini bekerja jauh dari sorotan atas nama solidaritas dan kemanusiaan.
Para relawan ini bekerja tanpa memperhitungkan untung dan rugi. Sementara kita tahu, negara pun takut menyebut nama perusahaan yang membakar hutan demi kelapa sawit.
Kepahlawanan juga dijadikan mitos untuk membungkam nalar kritis. Seperti yang dilakukan terhadap guru, mereka disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Apakah kita akan memperlakukan pahlawan kita dengan kehormatan yang tidak selayaknya diperoleh?
Misalnya kepada guru honorer yang gajinya sering terlambat dan gajinya sangat kecil? Mitos kepahlawanan membuat guru menjadi penurut, tidak mau memberontak, dan pada akhirnya hanya sabar menunggu nasib.
Bagaimana kepahlawanan bisa begitu buruk jika tidak memiliki akal sehat? Demikian disampaikan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Jenderal menyebut anggota Kopassus sebagai membunuh Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay sebagai pahlawan.
Pernyataan tersebut seolah mengingkari pentingnya kehidupan manusia, bahwa atas nama negara yang berperang melawan pemberontak, seseorang bisa dibunuh dan pembunuhnya bisa disebut pahlawan, padahal yang dibunuh adalah warga sipil tak bersenjata.
Kepahlawanan seperti ini, yang berpihak pada kemanusiaan dan akal sehat, tidak akan diajarkan dalam program pertahanan negara atau revolusi spiritual. Kepahlawanan seperti ini hanya akan dimiliki dan dicapai oleh mereka yang meyakini bahwa kemanusiaan lebih penting dari sekedar kepentingan politik. —Rappler.com
BACA JUGA:
Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.