Alasan polisi membubarkan seminar 1965 di LBH Jakarta
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Kebebasan berekspresi di Indonesia nampaknya masih terbelenggu, meski sudah 19 tahun kita melewati era reformasi. Buktinya, seminar sejarah ke-65 bertema ‘Mengungkap Kebenaran Sejarah’ yang digelar Sabtu, 16 September, justru dibubarkan dengan kekerasan oleh aparat kepolisian.
Padahal, sebelumnya polisi tidak mempermasalahkan acara tersebut, asalkan perwakilannya diperbolehkan ikut dalam pembicaraan tersebut. Kesepakatan itu disampaikan Ketua LBH Jakarta Alghifari Aqsa saat bernegosiasi dengan polisi pada Jumat, 15 September.
Alghifari menjelaskan, ada usulan dari pihak kepolisian agar perwakilannya diperbolehkan ikut dalam pembicaraan tersebut.
“Panitia akhirnya memperbolehkan perwakilan kepolisian untuk ikut serta. Bahkan, kami menyiapkan isi diskusi untuk disiarkan secara live streaming. Jadi, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi, kata Alghifari saat memberikan keterangan pers, Sabtu malam lalu.
Berikut video siaran pers selengkapnya di kantor LBH Jakarta:
Sejak awal, kata dia, polisi enggan membiarkan diskusi berlanjut karena adanya provokasi yang tersebar melalui media sosial bahwa seminar tersebut merupakan bagian dari upaya menghidupkan kembali komunisme di Indonesia. Bahkan, ada beberapa peserta yang merupakan penyintas atau keluarga yang dirugikan karena dicap komunis di masa lalu. Keluarga mereka justru disiksa bahkan dibunuh oleh rezim Orde Baru hanya karena diduga punya hubungan dengan PKI.
Polisi, kata Alghifari, memperdebatkan penyelenggaraan acara tersebut, dengan alasan diskusi tersebut tidak memiliki izin. Alghifari menanggapinya dengan kebingungan. Pasalnya, pembahasan dilakukan di ruang tertutup. Lain halnya, jika mereka mengadakan pawai atau demonstrasi, maka izin wajib diperoleh.
“Namun, semua itu justru dilanggar oleh personel polisi sendiri. Pada Sabtu pagi, sejak pukul 06.00, warga LBH kami tidak diperkenankan masuk kantor oleh aparat kepolisian. “Mereka membentuk barisan orang di depan pintu masuk,” ujarnya.
Situasi semakin memanas ketika peserta percakapan yang berusia lanjut juga tidak diperbolehkan masuk ke kantor LBH. Sehingga, adu mulut antara insan LBH dengan personel kepolisian tidak bisa dihindari.
Lagi-lagi, Alghifari sebelumnya dijanjikan petugas kepolisian agar peserta lansia bisa masuk ke kantor LBH. Namun Kapolsek Menteng Rudolf Purba bersikeras tidak mengizinkan siapa pun masuk ke kantor LBH.
LBH kemudian menyediakan kursi untuk diduduki peserta percakapan lansia. Namun kursi-kursi yang tertata rapi justru kembali dirobohkan oleh petugas polisi. Kursi tersebut akhirnya bisa digunakan setelah Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, turun tangan untuk melakukan bantahan terhadap personel polisi.
Situasi tak berubah meski muncul gerakan massa menuju kantor LBH Jakarta sekitar pukul 10.00 WIB. Massa yang terdiri dari AMPUH (Aliansi Mahasiswa Peduli Hukum), PMII (Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan GP Ansor berteriak agar seminar dibubarkan. Sebaliknya, para lansia penyintas ditahan di belakang barisan polisi di depan gedung LBH Jakarta.
Mereka baru diperbolehkan masuk ke kantor LBH Jakarta sekitar pukul 11.30 WIB. Polisi kemudian meminta panitia membatalkan acara diskusi tersebut. Polisi mengatakan ormas lain akan datang ke kantor LBH Jakarta jika pembahasan tidak dihentikan.
Benar saja, sekitar pukul 12.18 Laskar Merah Putih (LMP) dan Front Pembela Islam mulai berkumpul di depan kantor LBH Jakarta. Kerumunan berjumlah sekitar 80 orang. Bahkan, LMP mulai mencoba masuk ke kantor tersebut. Namun setelah diusir polisi, massa LMP dan FPI bubar sekitar pukul 14.30 WIB.
Tekanan terhadap LBH Jakarta rupanya tak berhenti setelah sejumlah ormas melakukan protes. Kali ini polisi yang menggerebek kantor LBH Jakarta.
Menurut Asfinawati, polisi langsung mendatangi lantai empat LBH Jakarta dan melepas poster serta properti terkait seminar tersebut. Ada laptop yang juga ingin disita polisi. Namun hal itu urung terjadi setelah terjadi adu mulut antara insan LBH dengan polisi.
Bahkan, polisi mengancam akan menangkap semua orang di kantor LBH Jakarta. Namun, Alghifari malah melangkah dengan keras.
“Saya sudah bilang ke polisi, tolong tangkap saya,” ujarnya.
Demokrasi mati
Aksi pembubaran seminar yang ingin mengungkap kebenaran fakta pada tahun 1965 justru semakin menguatkan anggapan adanya kebangkitan Neo Orde Baru di era pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo. Padahal, saat pertama kali dilantik, mantan Gubernur DKI itu berjanji akan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Namun tampaknya hal tersebut akan sulit diwujudkan.
Sementara menurut catatan Asfinawati, apa yang disaksikannya pada Sabtu kemarin merupakan fakta yang mengenaskan. Ia menilai Indonesia bukan lagi negara demokrasi.
Hal itu ia pikirkan karena mendengar langsung ada dua alasan berbeda mengapa seminari tahun 1965 itu harus dibubarkan. Pertama, versi Mabes Polri yang menyebut acara tersebut terpaksa dibubarkan karena tidak ada izin dan tidak ada keraguan substansinya.
Sedangkan alasan kedua yang tidak datang dari Mabes adalah pelarangan seminar tersebut karena isunya sensitif dan dikhawatirkan akan ada serangan dari pihak tertentu.
“Alasan ini sungguh tidak sah dan sesuai dalam suatu aturan hukum. Sebab ketika polisi membubarkan suatu acara karena takut diserang, maka negara diserahkan kepada mobokrasi dan bukan demokrasi. “Arah negara kita tidak berdasarkan undang-undang tertulis tapi tergantung perkataan orang-orang tertentu yang bisa menggerakkan massa dengan uang yang besar,” kata Asfinawati.
Lalu siapa pihak bernama Asfinawati yang menggerakkan massa? Koordinator Forum 65 Boni Setiawan menduga pelakunya adalah Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen dan Mayjen (Purn) Budi Sujana. Pasalnya, mereka adalah orang-orang yang sama yang pada tahun 2016 mencoba menghentikan Simposium 1965 yang diadakan di Hotel Aryaduta.
“Mereka ingin mempertahankan status quo agar peristiwa 1965 tidak bisa diselesaikan. Mengapa? Karena di sanalah Orde Baru didirikan. “Kalau peristiwa 1965 diungkap sedikit saja, akan diredam,” kata Boni di tempat yang sama.
Acara serupa yakni Festival Belok Kiri juga dibubarkan oleh sebuah ormas yang diduga juga dimobilisasi oleh partai yang sama. Meski demikian, Boni mengaku tidak takut dan tidak merasa terintimidasi dengan berbagai upaya untuk membungkamnya.
“Jangan pernah merasa kamu bisa mengintimidasi kami. Justru ini akan membuat kita semakin kuat hingga peristiwa 1965 terselesaikan, ujarnya.
Kapolri membiarkan saja
Di tempat yang sama, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian. Betapa tidak, karena aksi pembubaran seminar di kantor LBH Jakarta itu dilakukan anak buah Tito dengan sepengetahuannya.
Usman mengaku menghubungi Tito melalui telepon usai aksi pendistribusian berlangsung. Melalui telepon, Tito mengaku berada dalam posisi terdesak.
“Katanya ada kelompok anti PKI yang siap membubarkan acara tersebut. Kemudian yang kedua karena ada aturan hukum yang jelas-jelas melarang kebangkitan PKI, dan yang ketiga menerima permintaan dari purnawirawan TNI dan kelompok pemuda anti PKI agar acara kita tidak dilanjutkan, kata Usman blak-blakan. dikatakan.
Ia pun mengaku tak habis pikir kenapa Tito membiarkan hal tersebut. Apalagi, menurutnya, peserta dan peserta seminar tentang kebenaran peristiwa 1965 tidak bisa begitu saja dicap pro-PKI.
“Polisi harus bekerja sesuai aturan hukum yang adil dan menghormati akal sehat. Jika kelompok yang berdemonstrasi di luar dianggap sebagai ancaman, hal tersebut salah. Apalagi melarang akademisi mengadakan seminar sejarah. “Sama salahnya,” kata Usman.
Menurut Usman, tindakan pembubaran seminar tersebut hanya didorong oleh kepentingan politik sehingga tidak boleh dijadikan landasan bagi polisi untuk bertindak.
“Sejujurnya aku menyesalinya. Apalagi Kapolri saat ini sudah bergelar doktor. Namun, kami tidak mengedepankan akal sehat dalam mengambil keputusan, ujarnya.
Seminar pencarian kebenaran pada tahun 1965, kata Usman, merupakan salah satu cara kelompok masyarakat sipil melaksanakan instruksi Jokowi. Mantan Wali Kota Solo ini pernah mengatakan tak ingin generasi muda saat ini terbebani prasangka buruk terhadap bangsa hanya karena kelakuan Orde Baru.
Sementara tindakan Kapolri justru membuat pernyataan Jokowi terkesan munafik. Apalagi Polri tidak menerapkan undang-undang kebebasan berekspresi. Namun apa yang dilakukan Polri saat ini justru bisa merugikan dirinya sendiri, kata Usman.
Bagaimana menurutmu? Apakah demokrasi di Indonesia sudah mati pasca dibubarkannya seminar di kantor LBH Jakarta? Tulis pendapatmu di kolom komentar. – Rappler.com