Merevisi KUHP, mengaburkan batas antara hukum dan moralitas
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Rencana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk merevisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sudah berjalan sejak lama. Namun hingga saat ini fraksi-fraksi partai masih belum satu suara, khususnya pada bab XIV tentang kesusilaan.
Beruntung tidak tercapai kesepakatan karena Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang beranggotakan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang hukum menilai ada permasalahan yang perlu mendapat perhatian.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan, salah satu permasalahannya adalah meluasnya perzinahan.
“Eyebreach tetap seperti sekarang, karena fokusnya melindungi institusi perkawinan. Kalau diperluas, tidak jelas tujuannya, kata Anggara dalam forum diskusi di Jakarta, Kamis, 15 Desember.
Dalam revisi yang dibahas, terdapat perluasan makna pasal 484 dan 488. Dalam teks revisi tersebut, pasal ini tidak hanya berlaku bagi orang yang sudah menikah, tetapi juga bagi mereka yang masih lajang dan belum menikah.
Tak hanya itu, perbuatan zina ini juga bisa dilaporkan oleh pihak ketiga sehingga rentan dikriminalisasi. “Saya melihatnya sebagai akomodasi kepentingan agama tertentu,” kata Anggara.
Kontrasepsi
Satu pasal lain yang dianggap aneh berkaitan dengan kontrasepsi terdapat pada Pasal 481-483. “Sudah 20 tahun lebih tidak dipakai, kenapa masih ada?” kata Anggara.
Menurutnya, keberadaan pasal tersebut sudah tidak penting lagi, apalagi pemerintah sedang gencar mengkampanyekan program Keluarga Berencana (KB). Anggara mengatakan, keberadaan Pasal 481 KUHP Revisi kontraproduktif terhadap program tersebut.
Dalam pasal tersebut tertulis: “Barangsiapa tanpa hak memperlihatkan secara terang-terangan, dengan terang-terangan atau tanpa diminta untuk menunjukkan atau menyiarkan secara terbuka secara tertulis tanpa diminta, suatu alat untuk mencegah kehamilan menunjukkan bahwa ia dapat memperoleh alat untuk mencegah kehamilan, maka wajib dipidana dengan pidana denda paling banyak menurut kategori I”.
Ketentuan ancaman pidana kategori I masuk dalam rancangan KUHP untuk tindak pidana ringan, berupa denda Rp10 juta.
“Saat ini banyak masyarakat dan LSM yang gencar mengkampanyekan kontrasepsi. Mereka tidak berlisensi. “Itu adalah sesuatu yang cenderung dilaporkan dan dikriminalisasi,” kata Anggara.
Prostitusi anak
Sementara itu, Koordinator Pengakhiran Prostitusi Anak, Pornografi Anak dan Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual (ECPAT) Indonesia Rio Hendra mempertanyakan mengapa prostitusi anak tidak masuk dalam RKHUP. Faktanya, kondisi saat ini menunjukkan pentingnya melindungi anak-anak dan mengambil tindakan terhadap klien bisnis kulit hitam.
“Ini berbeda dengan perdagangan anak. “Memang sudah diatur,” kata Rio. Prostitusi anak, lanjutnya, merupakan hubungan seksual dengan anak di bawah umur yang melibatkan kompensasi.
Ia pun mendesak pemerintah segera membuat instrumen kebijakan untuk menjerat pembeli prostitusi anak. Undang-undang yang ada hanya menjerat penjual.
Padahal, sanksi terhadap pembeli termasuk dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Namun ketika diratifikasi, kata “tembaga” menghilang.
“Nanti kami akan audiensi dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian PPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) juga,” kata Rio. Menurutnya, pemerintah dan DPR akan bersikap acuh jika hal ini tidak segera ditangani atau bahkan praktik ini terus berlanjut.
Pembengkakan biaya
Selain persoalan kaburnya batasan antara kesusilaan dan tujuan pembuatan pasal pidana, ada persoalan teknis lain yakni pembengkakan anggaran.
“Kalau ditambah pasal pidana, kami tidak akan mempertimbangkan bagaimana memanfaatkan rutan, lapas, dan sebagainya. untuk menambahkan,” kata Anggara.
Ia juga mengkritik pemerintah yang jarang memberikan rincian dan perhitungan yang jelas mengenai biaya yang diperlukan untuk narapidana. Bahkan pada saat pengajuan, angka-angka yang diberikan masih bersifat makro, tanpa menyentuh secara spesifik.
Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting memaparkan permasalahan dari sisi kewenangan negara. Menurut dia, melalui revisi KUHP, terjadi perluasan kewenangan lebih jauh ke ranah pribadi warga negara.
“Kita bisa melihat bagaimana negara memperluas kekuasaan dan kewenangannya untuk menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu kejahatan,” kata Miko.
Upaya negara memasuki berbagai ranah justru bertentangan dengan semangat reformasi. Alih-alih mengubah dan membebaskan, negara justru semakin membatasi perilaku warganya dengan menambahkan pasal pidana.
Total sejak era Reformasi tercatat ada 1.601 tindak pidana. Bahkan ada yang penafsirannya tidak jelas, subjektif, dan cenderung “karet”.
“Pembuatan pasal tindak pidana baru tidak jelas kata-katanya. Terlalu luas dengan interpretasi luas atau pasal karet. dan kita semua terancam,” kata Miko.
Menurut dia, pemerintah dan DPR harus berhati-hati dalam mendefinisikan suatu tindakan sebagai kejahatan. Setidaknya ada indikator yang patut diperhatikan, yaitu:
- Apakah hal tersebut benar-benar dianggap memalukan oleh masyarakat kolektif, bukan hanya kalangan tertentu?
- Apakah pelanggaran tersebut dapat dicegah atau diatasi dengan menjadikannya sebagai tindak pidana?
- Jika hal tersebut menjadi sebuah kejahatan, apakah hal tersebut dapat diterapkan secara efektif?
“Tidak semua perbuatan memalukan merupakan tindak pidana,” kata Miko. Dia mengatakan pemerintah bisa mencoba pendekatan lain seperti pendidikan. Tindakan kriminal adalah langkah terakhir ketika tidak ada lagi yang berhasil.
Masalah perzinahan
Sebelumnya, pada Rabu, 14 Desember, terjadi perdebatan mengenai revisi pasal perzinahan. Perolehan suara anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP terbagi antara apakah pasal ini harus dihapus, atau dipertahankan.
Anggota Panitia Kerja Rancangan KUHP Fraksi Golkar Adies Kadir mengatakan, poin tersebut menyinggung frasa “perkawinan sah”.
“Ada yang sah menurut agama dan adat. Kami akan mengkhawatirkannya nanti lebih kriminalisasi perkawinan adat dan lain-lain. “Kalau dari Golkar, (artikel itu) dihapus,” kata Adies dalam forum diskusi yang sama.
Sementara itu, permintaan agar pasal tersebut tetap berlaku salah satunya datang dari Arsul Sani, anggota Panja Fraksi PPP. Menurutnya, perumus pasal ini mempertimbangkan kepentingan umat Islam.
Perbedaan pendapat ini menyebabkan Panja menunda pembahasan kasus perzinahan tersebut. “Nanti akan kami laporkan ke komisi. Poin ini ditunda karena ada tiga fraksi yang ingin dicopot dan tersisa tujuh fraksi. Itu sensitif. “Ini mengkhawatirkan masyarakat,” kata Benny K. Harman, Ketua Panitia Kerja RUU Hukum Pidana.
Pada saat yang sama, uji materi juga sedang dilakukan di Mahkamah Konstitusi dengan tujuan serupa: perluasan perzinahan, pemerkosaan, dan hubungan homoseksual.
Saat ditanya apakah hasil Mahkamah Konstitusi akan mempengaruhi keputusan Panja, Anggara menjawab tidak. “Terlepas dari Mahkamah Konstitusi, meski ditunda, kami yakin (tindak pidana perzinahan) pada akhirnya akan disetujui,” ujarnya.
Anggara pun tak menampik saat ditanya apakah pembahasan RKUHP dan uji materiil merupakan tanda Indonesia bergerak ke arah konservatif. “Kasus ini hanya soal moralitas, tujuannya tidak jelas dan abstrak,” katanya.
Seberapa kabur batas antara hukum dan moralitas, serta agama dan politik di negeri ini?—Rappler.com