Saat masyarakat Tionghoa menikmati suasana Ramadhan di Aceh
- keren989
- 0
BANDA ACEH, Indonesia — Pada Minggu pagi, 3 Juni 2018, Akhun sedang duduk dan berbincang dengan dua temannya. Mereka bertiga duduk melingkar di depan sebuah kedai kopi. Pagi harinya, pria berusia 56 tahun itu baru saja sarapan dan minum kopi di kedai kopi di Pasar Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
“Kami sering ngopi di sini, tapi jam 09.00 kedai harus tutup,” kata Akhun.
Di bulan Ramadhan, Pemerintah Kota Banda Aceh mengimbau warga menutup seluruh warung minuman dan makanan.
Mereka tidak boleh buka hingga pukul 16:00 WIB sebelum berbuka puasa. Kemudian ditutup kembali pada saat salat Isya hingga salat Tarawih selesai. Seruan ini juga berlaku bagi non-Muslim.
Provinsi Aceh mempunyai kewenangan menerapkan syariat Islam. Sejak tahun 2014, Aceh telah memiliki qanun atau peraturan daerah tentang hukum jinayah.
Qanun tersebut mengatur bagaimana menjalankan syariat Islam yang melarang perjudian, perzinahan, meminum minuman beralkohol, dan khalwat. Pelanggar qanun akan dihukum cambuk di depan umum.
Ramadhan, Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi syariah akan menindak tegas warga Aceh yang melanggar anjuran pemerintah. Mereka rutin menggerebek kios-kios. Mereka memantau apakah ada warga yang masuk tanpa izin ke kiosnya pada siang hari.
Usai minum kopi, Akhun tak langsung pulang. Pagi itu Ramadhan masih hari ke-18. Minum kopi di warung pada pagi hari saat bulan puasa bukanlah hal yang lumrah di Aceh. Mereka masih khawatir dengan kedatangan polisi syariah yang sedang berpatroli. “Kalau kompor masih panas pada pukul 09.00 akan ditegur,” kata Akhun.
Akhun adalah satu dari puluhan warga etnis Tionghoa yang sarapan di kedai kopi tersebut. Menjelang bulan Ramadhan, Pemerintah Kota Banda Aceh membuat kesepakatan dengan warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Banda Aceh.
Khusus warung milik keturunan Tionghoa diperbolehkan buka dan menjual makanan mulai pukul 05:00 hingga 09:00 WIB. Jika lewat dari waktu tersebut, polisi syariah akan menindak mereka dan menyita barang yang mereka jual.
Akhun berjualan rempah-rempah di Pasar Peunayong setiap hari. Ia tidak setuju dan keberatan dengan aturan yang mengharuskan kios ditutup. “Kalau tidak mau mengikuti aturan, jangan diam di sini,” kata seorang petugas polisi syariah kepada Akhon sambil memprotes.
Akhun kemudian menunjukkan kepada Rappler seorang wanita. Namanya Ayen. Ia merupakan seorang etnis Tionghoa yang membuka usaha restoran. Selama Ramadhan, restorannya terpaksa tutup. “Tinggal di Aceh enak, tapi kalau puasa susah,” kata Ayen.
“Kita di sini saat bulan puasa, seperti tikus yang dikejar kucing,” kata Ayen. Wanita itu mengibaratkan tikus dengan etnis Tionghoa dan kucing dengan polisi syariah.
Sama seperti Akhun, dia juga mendapat jawaban “Kalau tidak ikuti aturan, jangan tinggal di sini”. Ayen tampak geram dengan jawaban itu. “Tidak usah suruh kami pindah, kami pasti pindah,” kata Ayen. “Kami non-Muslim harus diizinkan untuk menjual.”
Patuhi aturan
Pintu kedai kopi hanya terbuka sedikit dan hanya mampu menampung dua orang sekaligus. Di dalam, puluhan warga etnis Tionghoa menikmati mie ayam, nasi, kue, dan kopi. Jika dilihat dari luar, hampir tidak terlihat.
Di sebelah kiri kedai, Amin dengan cekatan tampak menyaring kopi hitam khas Aceh. Keringat menetes di wajah putihnya. Tangannya sibuk mengambil gelas, menuangkan gula ke dalam sendok lalu menyaring kopinya.
Ketika ada yang membayar, Amin berjalan ke kiri tempatnya mengambil uang dan mengembalikan sisanya ke kasir. Pagi itu, kedai kopi miliknya yang sudah buka selama 20 tahun tampak ramai. Sejumlah kursi dan meja dipenuhi pria dan wanita Tionghoa.
“Kami buka mulai pukul 05.00 pagi, hingga pukul 09.00,” kata Amin sambil terus menyaring kopi.
Tepat 43 tahun lalu, Amin lahir di Desa Peunayong, Banda Aceh. Ia merupakan generasi ketiga keturunan Tionghoa yang menetap di sana. Bahasa Acehnya terdengar fasih. Di tokonya, Amin juga mempekerjakan dua orang perempuan Aceh, asal Kabupaten Pidie Jaya dan Aceh Besar.
“Keduanya cepat. “Mereka bekerja mencari uang untuk lebaran, kami juga memberikan THR (Tunjangan Hari Raya),” kata Amin sambil menunjuk dua perempuan yang sedang mencuci kaca kotor.
Sesekali Amin memandangi tembok di belakangnya. Di bagian atas tembok, ada jam yang menunjukkan pukul 08:53 WIB. “Kita memang harus tutup jam 09.00,” kata Amin. Salah satu pekerja segera menarik dan menutup pintu toko. Amin kemudian mematikan api kompor.
“Ini kesepakatan kita dengan Pemkot, jadi harus kita patuhi,” ujarnya. Meski begitu, Amin tetap memantau seluruh pembeli yang masuk ke tokonya. “Kami masih melarang Muslim.”
Bagaimana Anda mengenal Muslim? “Saya sebenarnya tinggal di sini, jadi saya sudah kenal orang-orang di sini dari wajahnya,” kata Amin. Di luar bulan Ramadhan, toko Amin banyak dikunjungi umat Islam. Amin mengaku semua barangnya halal.
“Kalau Ramadhan, umat Islam sangat jarang datang ke sini, sebenarnya tidak ada. “Kami rutin berjualan setiap hari,” kata Amin. “Ramadhan di Aceh sangat bagus. Harmoninya sangat bagus. Kami masih mempunyai kesempatan untuk menjualnya.”
Kedai kopi Amin ada di Pasar Peunayong. Di sepanjang deretan bangunan pertokoan di sana sebagian besar milik etnis Tionghoa. Di deretan lainnya, masyarakat Aceh berjualan sayur mayur, pakaian, dan peralatan elektronik. Bahkan, di warung pinggir jalan milik Tionghoa, masyarakat Aceh berjualan sayur mayur.
Vera baru saja menaruh peralatan penjualannya di toko. Dia membawa kompor, piring, dan barang-barang lainnya. Wanita 42 tahun itu berjualan mie ayam di teras warung Amin. Di jendela depan rak, Vera menulis “Mie Ayam, Halal”.
Vera merupakan generasi keempat etnis Tionghoa yang tinggal di Banda Aceh. “Saya menjual mie ayam halal. “Di sini kita tulis halal atau halal, jadi umat Islam tidak membelinya,” kata Vera.
Tepat di sebelah Vera yang sedang berjualan, tampak ada kios yang tutup. Warungnya menjual mie ayam seperti Vera. Saat buka, toko tersebut tidak menulis halal di raknya. Kalau ada umat Islam yang membeli, mereka juga tidak akan melayaninya. Di bulan Ramadhan, dia sangat memperhatikan setiap orang yang membeli mie ayamnya.
“Yang penting tidak ada umat Islam yang masuk. “Saya masyarakat di sini sudah tahu mana yang Islam dan mana yang bukan,” kata Vera.
Tidak ada konflik
Aminullah Usman baru menginjakkan kaki di Bandara Sutan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar sepulang dari Jakarta. Dari situ Walikota Banda Aceh langsung meluncur menuju Desa Peunayong, Banda Aceh.
Di Kampung Peunayong, pagi itu, Sabtu 26 Mei 2018, tepat di halaman kantor Yayasan Hakka Aceh tampak ramai. Sejumlah pria dan wanita berdiri sambil menggeliat. Mereka mengantri untuk mendapatkan bantuan sembako Ramadhan.
Hakka Aceh bukanlah lembaga sosial milik negara. Yayasan yang diberi tanda warna merah ini merupakan perkumpulan masyarakat etnis Tionghoa di kota Banda Aceh. Meski tak berpuasa, non-Muslim ini tetap memberikan bantuan kepada masyarakat Aceh.
Sesampainya di Peunayong, pria gempal itu langsung bergabung dengan warga yang sudah lama mengantri menunggu kebutuhan pokok. Aminullah mengenakan jaket kulit hitam dan kemeja polo putih di bawahnya. Ia juga menyerahkan bantuan sembako kepada warga.
“Di sini tidak ada konflik yang berlatar belakang agama (Banda Aceh). “Itu harus kita jaga, kita harus menjaga hubungan dengan orang Tionghoa, kita juga harus menjaga hubungan dengan agama lain,” kata Aminullah.
“Kami mengapresiasi kegiatan teman-teman Hakka. Setiap tahunnya mereka konsisten mengadakan kegiatan ini. “Itu sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama,” lanjutnya.
Menurut Aminullah, Yayasan Hakka Aceh yang anggotanya merupakan warga Tionghoa selama ini memiliki hubungan yang sangat baik dengan masyarakat Banda Aceh. Untuk itu, dia memastikan akan menjadi garda terdepan dalam menjaga kerukunan umat beragama.
“Dengan harmoni kita bisa melakukan apa saja. “Orang Tionghoa bisa beribadah dengan nyaman, umat Islam juga nyaman dan agama lain juga nyaman,” ujarnya.
Isi paket sembako yang diserahkan berupa beras, mie instan, kecap, minyak goreng, dan susu. Penyaluran bantuan kepada warga kurang mampu telah dilakukan secara rutin selama enam tahun terakhir dan dilakukan selama bulan Ramadhan.
Kho Khie Siong mengatakan, jumlah paket sembako yang disumbangkan pada tahun ini sebanyak 2000 paket. Nantinya akan diserahkan kepada warga kurang mampu di 14 kota di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Utara.
Kho Khie Siong adalah ketua Yayasan Hakka Aceh. Ia berharap, tahun depan bisa menambah jumlah bantuan. Kho mengajak para donatur yang juga etnis Tionghoa untuk memperbanyak jumlah donasinya.
Saat itu pukul sembilan lewat belasan menit. Amin segera menutup kedai kopinya. Akhun pulang. Ayen sudah tidak bisa melihat batang hidungnya lagi, sepertinya wanita itu sudah pulang. Vera bangkit dan berbincang dengan masyarakat Aceh yang sedang berjualan sayur mayur tak jauh dari tempat asal mereka berjualan.
—Rappler.com