Indonesia akan mengundang Australia untuk membantu mengembangkan pusat deradikalisasi di Sentul
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Rencananya BNPT akan memindahkan narapidana terorisme yang dinilai kooperatif ke fasilitas tersebut
JAKARTA, Indonesia – Pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan Australia untuk mengembangkan pusat deradikalisasi milik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Sentul. Tawaran tersebut merupakan salah satu poin kerja sama yang akan disampaikan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam kunjungan kenegaraannya ke Negeri Kanguru akhir pekan ini.
Pusat deradikalisasi ini dibangun BNPT sejak tahun 2013. Di dalamnya terdapat 48 ruang tahanan yang akan digunakan oleh narapidana teroris. Bangunan tersebut telah selesai dibangun namun belum dioperasikan.
“Indonesia mengharapkan dukungan Australia pada pusat deradikalisasi di Sentul. “Australia kemungkinan besar akan memberikan bantuan pelatihan,” kata Direktur Asia Timur dan Pasifik Edi Yusup saat memberikan siaran pers di kantor Kementerian Luar Negeri, Kamis, 3 November.
Edi mengatakan Australia telah menunjukkan minatnya terhadap kerja sama ini. Sekarang tinggal tindak lanjuti saja.
Pemerintah juga menilai pantas jika pemerintah memilih Australia sebagai salah satu mitranya. Sebelumnya Negeri Kanguru juga memberikan bantuan peningkatan kapasitas dan pendanaan dalam pembangunan Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) di Semarang.
“Harus diakui juga bahwa Australia memiliki teknologi yang lebih canggih untuk mengatasi keamanan siber dan memerangi terorisme. Kedepannya kami juga akan mengundang negara lain. “Jadi, kerja sama ini tidak hanya dengan Australia karena isu terorisme menjadi perhatian banyak negara,” kata Edi.
Memberikan pendidikan dan keterampilan
Pengamat terorisme Mohammad Nasir Abbas mengaku mengunjungi fasilitas tersebut sekitar 3 bulan lalu. Pusat deradikalisasi berada di kompleks BNPT di Sentul.
“Di dalam kompleks ada bangunan berpagar tinggi. “Ada ruangan di dalam gedung, tapi masih kosong,” kata Nasir yang dihubungi Rappler melalui telepon, Kamis, 3 November.
Meski bingung tujuan dibangunnya fasilitas tersebut, Nasir hanya menyarankan agar BNPT memindahkan narapidana teroris yang dinilai kooperatif. Hal ini juga terkait dengan faktor keamanan di kawasan Sentul.
“Di sana akan lebih baik bagi narapidana kooperatif untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan agar bisa berbicara di depan umum. “Supaya kedepannya bisa bersuara dan mengajak rekan-rekannya untuk pindah agama,” kata pria yang pernah tergabung dalam kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI) ini.
Hal lain yang menjadi perhatiannya adalah agar para narapidana tidak terlalu lama ditempatkan di fasilitas deradikalisasi di Sentul. Nasir menilai proses pemindahan yang terlalu lama bisa mengganggu rutinitas mereka selama berada di Lapas biasa.
“BNPT juga harus berpikir bahwa mereka mempunyai hak untuk dikunjungi oleh keluarganya. “Jika mereka dibiarkan menjauh, kekhawatiran bisa mempengaruhi psikologi mereka,” ujarnya.
Lantas, apakah Australia dianggap sebagai mitra yang cocok dalam misi pemberantasan terorisme? Nasir mengaku keputusan itu sudah tepat. Apalagi Australia merupakan tetangga terdekat Indonesia.
“Mereka juga punya kepentingan dalam menangani kasus terorisme. “Kenangan bom Bali tahun 2002 dan 2005 belum sepenuhnya hilang dari benak masyarakat Australia,” ujarnya.
Saud Usman yang saat itu masih menjabat Kepala BNPT mengatakan, para narapidana kasus terorisme yang dipindahkan ke sana sengaja dipilih untuk bekerja sama. Hal itu dilakukan untuk mencegah mereka menjadi radikal kembali.
Alasan lainnya adalah kapasitas penjara juga membludak, kata Saud seperti dikutip media.
Namun pemindahan narapidana terorisme yang bekerja sama ke Sentul memerlukan peraturan khusus. Pertama soal legalitas. Kedua, mengenai personel yang akan mengawasi fasilitas tersebut, termasuk urusan administrasi. – Rappler.com
BACA JUGA: