Di Indonesia, ulama perempuan membahas poligami, hijab, dan kesetaraan gender
- keren989
- 0
Kongres ulama atau ulama perempuan pertama di Indonesia diadakan di Cirebon, Jawa Barat, dengan peserta membahas beberapa topik kontroversial.
CIREBON, Indonesia – Pada hari Selasa, 25 April, kongres ulama perempuan pertama di Indonesia atau ulama diadakan di Institut Agama Islam Negeri Cirebon Jawa Barat. Pesertanya antara lain ulama perempuan, aktivis perempuan dan peneliti dari berbagai negara seperti Kenya, Afghanistan, Arab Saudi dan Nigeria.
Abdurrahman Mas’ud, aSeorang pejabat Kementerian Agama RI membuka kongres dengan mengatakan bahwa ulama perempuan di Indonesia mempunyai peran penting, khususnya dalam ranah intelektual Indonesia.
Beberapa topik kontroversial menjadi perbincangan para ulama perempuan, salah satunya adalah poligami yang sah bagi umat Islam di Indonesia. Tema ini dibawakan oleh dosen Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta Siti Ruhaini Dzuhayatin. Menurut Dzuhayatin, poligami tidak berasal dari ajaran Islam.
Tradisi poligami, kata dia, sudah ada sebelum Islam.
“Poligami bukan ajaran Islam. Poligami sudah ada jauh sebelum Islam. Yang dilakukan Islam adalah memanusiakan poligami. Al-Quran sebenarnya bertujuan untuk monogami,” ujarnya, Selasa 25 April.
Poligami, menurut Dzuhayatin, bukan hanya persoalan agama, tapi juga persoalan sosial. Dia menyebutkan tekanan masyarakat yang dialami perempuan lajang untuk memilih poligami. “Lagi-lagi ini soal tekanan sosial, oleh karena itu banyak dimensi yang harus kita upayakan untuk mengurangi praktik poligami,” ujarnya.
jilbab
Pada diskusi lain, topiknya adalah hijab atau kerudung. Jilbab telah memicu kontroversi di banyak tempat, dan sebagian orang melihatnya sebagai bentuk penindasan. Di Prancis misalnya, dilarang mengenakan hijab di tempat umum.
Hatoon Al-Fasi, peneliti senior di Universitas Qatar, menjelaskan bahwa ada beberapa cara untuk menafsirkan apa itu jilbab berarti. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dia berkata: jilbab berarti ‘tertutup dari atas ke bawah’.
“Oleh karena itu menjadi tantangan bagi kita untuk memahami teks dalam bahasa Arab. Dalam hal ini ada penafsiran dari para penerjemah Alquran, karena ada yang berpendapat tidak perlu ditutupi dari atas ke bawah,” ujarnya.
Islam, lanjut Al-Fasi, memberikan ruang bagi pemeluknya untuk memilih. Menurutnya, berhijab merupakan sebuah pilihan dan harus bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
“Saat ini kita (perempuan) disuruh memakai apa, menurut saya harusnya lebih ditekankan pada nilai-nilai Islam, bukan cara berpakaian,” kata Al-Fasi.
Kesetaraan gender
Al-Fasi dan beberapa pembicara lainnya juga turut serta dalam diskusi mengenai kesetaraan gender. Al-Fasi mengatakan saat ini banyak peraturan yang membatasi kebebasan bergerak perempuan. Misalnya hanya boleh berpacaran jika didampingi oleh kerabat laki-laki atau hanya boleh menikah atas persetujuan wali laki-laki.
Al-Fasi menganggap peraturan tersebut bias gender dan mengatakan bahwa peraturan tersebut memperkuat stigma bahwa perempuan adalah lemah.
“Banyak sekali surat kabar yang menggunakan alasan bahwa perempuan lebih rendah dan oleh karena itu perlu dilindungi. Saat keluar, mereka harus ditemani oleh seorang laki-laki. Jadi harus ada wali yang memberi izin,” kata Al-Fasi.
Wali dalam hal ini antara lain ayah, kakak laki-laki atau anak laki-laki. Al-Fasi mencontohkan aturan yang mengharuskan seorang janda meminta izin kepada anaknya sebelum bepergian.
“Menurut saya, ini peraturan yang rumit dan membingungkan, tidak ada kaitannya dengan Islam,” ujarnya. “Ini adalah peraturan yang menghentikan perempuan mengambil keputusan tentang diri mereka sendiri.”
Al-Fasi mengatakan bahwa perempuan, seperti halnya laki-laki, harus diberi hak untuk mengambil keputusan sendiri. “Kita adalah penjaga diri kita sendiri dan tidak ada yang lebih tinggi dari kita, kecuali Tuhan,” ujarnya.
Pendapatnya diamini oleh Zainah Anwar, seorang ulama dan feminis perempuan asal Malaysia. Anwar mengatakan ada beberapa negara Muslim, seperti Maroko, yang perempuan tidak diwajibkan memiliki wali.
Namun, lanjutnya, persoalannya bukan harus ada atau tidaknya wali dalam sebuah pernikahan, melainkan apakah negara memercayai perempuan sebagai walinya atau tidak.
“Jika negara tidak mengadopsi fiqih (Fikih Islam) yang lebih memberikan kesetaraan pada perempuan, bagaimana kita perempuan bisa mengorganisir diri untuk memperjuangkan hak-hak kita,” kata Anwar.
Kongres berakhir pada Kamis 27 April dan akan mengeluarkan beberapa keputusan fatwa atau keputusan agama berdasarkan diskusi yang diadakan. “Harapan kami adalah fatwa dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi, dan dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh lembaga lain untuk melihat permasalahan perempuan dalam konteks agama,” kata Nur Rofiah, salah satu penyelenggara kongres. —dengan laporan dari Ursula Florene/Rappler.com