Meski dibungkam, gaung tragedi 1965 masih terus bergema
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Topik pembahasan seputar tragedi 1965 disensor di Festival Penulis dan Pembaca Ubud, namun tidak menyurutkan semangat anak muda untuk membicarakannya.
JAKARTA, Indonesia – Doni Marmer terinspirasi saat mengendarai sepeda motornya suatu sore di Bali. Ia baru saja mendengar kabar adanya sensor pada diskusi tragedi 1965 di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang baru saja berakhir pada akhir Oktober lalu.
Pada sesi lomba puisi (bantingan puisi) di UWRF, Doni memberi judul karyanya Knock-Knock (Bukan) Lelucon, di mana ia berinteraksi dengan penonton melalui puisi yang diadaptasi dari selera humor Barat. Sebuah trik yang berhasil mengundang respon penonton. Alhasil, ia berhasil meraih juara pertama lomba adu verbal pada malam khusyuk itu.
“Itu adalah puisi spontan yang saya tulis saat pemberitaan tentang sensor di berbagai sidang yang membahas hal-hal terkait isu pelanggaran HAM tahun 1965 sebelum dan sesudahnya,” kata Doni kepada Rappler, baru-baru ini.
“Akhirnya puisi yang saya tulis saya jadikan puisi interaktif. Orang-orang merespons lelucon ketukan yang saya buat dan perlahan-lahan memasukkan unsur sarkasme tentang isu-isu yang dibungkam,” ujarnya.
Puisi itu dibuka dengan “Tok-tok” yang ditanggapi oleh penonton, “Siapa disana? (Siapa disana?)”. Doni kemudian mengangkat beberapa persoalan yang menurutnya masih sering dibungkam di Indonesia, mulai dari intoleransi beragama, kemiskinan, minuman beralkohol, perdagangan manusia, eksploitasi Bali sebagai magnet pariwisata, hingga tragedi 1965.
“Sebenarnya banyak hal yang dibungkam negara mengenai sejarah kelam yang terjadi di Indonesia. Dan sedikit akses untuk dapat membuka tabir tersebut.”
Isu-isu tersebut berusaha menggetarkan hati tidak hanya pemerintah namun juga masyarakat Indonesia. Tapi, “Banting!” Setiap kali mereka mengetuk, pintu selalu dibanting hingga tertutup, sehingga tidak ada ruang bagi mereka untuk mengeluarkan suara sedikit pun.
Termasuk pembahasan soal 1965. Sebuah isu sensitif padahal 50 tahun telah berlalu sejak pembantaian yang menewaskan ratusan ribu warga Indonesia – bahkan ada yang bilang jutaan.
“Sebenarnya banyak hal yang dibungkam negara mengenai sejarah kelam yang terjadi di Indonesia. “Dan akses untuk membuka tabir masih sedikit karena masih tabu membicarakan kengerian yang terjadi,” kata Doni yang bekerja sebagai resource development officer di Yayasan IDEP Selaras Alam, Bali.
Namun jiwa mudanya memberontak. Tak kunjung menemukan kebenaran, ia berani menyinggung isu 1965 di tempat yang melarang pembahasan tragedi berdarah itu.
“Tetapi sebagai anak muda yang peduli terhadap bangsa ini, saya harus melangkah ke dalam kebingungan untuk mengetahui lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Dan tentunya hal buruk ini harus dibicarakan sekarang agar tidak terjadi lagi,” kata Doni.
“Sayangnya, ketika Anda mengetuk pintu mana pun, Anda selalu mendapatkan jawaban yang pada akhirnya mengarah pada (ketidakpastian), dan saya yakin bukan hanya saya yang merasakan hal tersebut.”
Doni bukan satu-satunya anak muda yang berani mengutarakan rasa penasarannya. Pangeran Siahaan adalah contoh lainnya. Pria berusia 28 tahun ini pun membacakan puisinya yang berjudul Cabernet Sauvignon Vintage Indonesia 1965 dalam acara yang sama. Ia meraih juara kedua dalam lomba puisi.
Sang pangeran mengatakan, penguasa negeri ini tak mau “menyentuh” koleksi anggur merahnya dari tahun 1965. Majikannya lebih tertarik membahas koleksi kebanggaannya tahun 1928, atau yang terbaru, 1998. Mengapa?
Karena pada tahun 1965, “itu anggur merah berdarah“. —Rappler.com
BACA JUGA: