Program listrik 35 ribu MW mengancam target penurunan emisi
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, memastikan Indonesia akan memenuhi komitmennya dalam melaksanakan Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Pada Jumat, 2 Juni 2017, Siti menanggapi keputusan Presiden AS Donald J. Trump yang menyatakan AS menarik diri dari Perjanjian Paris.
Dunia yang kecewa dan kaget dengan sikap Trump memilih melangkah maju. AS kini satu kelompok dengan Suriah dan Nikaragua yang menolak berkomitmen mengurangi emisi karbon di bawah 2 derajat Celsius pada tahun 2020.
Indonesia bergabung dengan 195 negara lain yang menandatangani perjanjian bersejarah yang diputuskan pada Konferensi Perubahan Iklim COP 21 di Paris, Desember 2016.
(BA: Lima Poin Perjanjian Paris yang Perlu Anda Ketahui)
Keputusan Trump justru dilihat sebagai momentum untuk menghidupkan kembali isu ancaman perubahan iklim. Dampak perubahan iklim bersifat global, masif dan memberikan pengaruh signifikan terhadap seluruh elemen kehidupan di bumi.
Para ilmuwan iklim dari berbagai negara berkumpul Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), sepakat bahwa perubahan iklim global disebabkan oleh peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi.
Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang menyebabkan iklim di berbagai belahan bumi menjadi ekstrim: intensitas curah hujan yang sangat tinggi, bencana kekeringan, frekuensi badai yang semakin sering dan hebat, dan sebagainya.
Bagi Indonesia yang berada di zona khatulistiwa, dampak perubahan iklim sangat terasa. Apalagi bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil. Meningkatnya curah hujan di musim hujan menyebabkan banjir bandang, serta kemarau panjang di musim kemarau mengganggu industri pertanian dan memudahkan terjadinya kebakaran hutan.
(BA: Menurut Jokowi, kerugian akibat kebakaran hutan mencapai Rp 22,0 triliun)
kebijakan pemerintah Indonesia
Komitmen pemerintah Indonesia dalam melaksanakan poin-poin yang tertuang dalam Perjanjian Paris dilakukan melalui penerapan kebijakan dan langkah-langkah strategis yang berdampak langsung pada penurunan emisi karbon.
Kebijakan dan langkah strategis pemerintah Indonesia dituangkan dalam Undang-Undang nomor 16 tahun 2016 tentang ratifikasi Perjanjian Paris dan dokumennya. Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (INDC) dengan target mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada tahun 2030.
Komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi karbon juga harus selaras dengan agenda pembangunan nasional. Oleh karena itu, kebijakan yang dilaksanakan dan langkah-langkah strategis yang diambil harus terintegrasi dengan komponen penting pembangunan nasional.
Kutip informasi dari buku”Perubahan iklim, Perjanjian Paris dan kontribusi yang ditentukan secara nasionalyang dirilis oleh Direktorat Jenderal Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada bulan Juni 2016, merupakan komponen yang terintegrasi dalam penyusunan dokumen INDC yang harus diselaraskan dengan pembangunan nasional adalah: (1) pengentasan kemiskinan, (2) pembangunan maritim, (3) keberlanjutan pangan, air dan energi, dan (4) pembangunan. ketahanan iklim kepulauan.
Menyimpang dari konsep tersebut, langkah konkrit pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon pada umumnya dilakukan melalui proses diversifikasi penggunaan energi: pengurangan penggunaan bahan bakar fosil melalui pengembangan sumber energi baru dan terbarukan, mendorong pemenuhan energi nasional. kebutuhan. , pengelolaan hutan lestari dan melakukan upaya pencegahan deforestasi juga konversi lahan gambut menjadi perkebunan, serta penerapan pengelolaan limbah yang baik.
Ancaman program listrik 35 ribu MW
Kebijakan dan langkah yang diambil pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon mendapat berbagai reaksi dan kritik, terutama dalam hal diversifikasi sumber energi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi energi nasional.
Pemerintah Indonesia menargetkan penggunaan energi baru dan terbarukan sebesar 23%. Namun proyeksi bauran energi primer yang dilakukan oleh Pusat Teknologi Sumber Daya Energi dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri Kimia (BPPT) memperkirakan pemanfaatan energi baru terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional pada tahun 2025 sekitar 13%. .
Batubara masih menjadi sumber energi yang paling banyak digunakan, sekitar 38%. Prediksi tersebut menjadi kenyataan jika melihat rencana pemerintah yang masih banyak menggunakan PLTU sebagai penyedia energi. secara nasional untuk mewujudkan program listrik 35 ribu Megawatt.
Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif WALHI, seperti dikutip dari laman www.mongabay.co.id, mengatakan rencana ini justru akan membuat emisi karbon semakin tinggi. Pembangunan listrik 35 ribu MW yang ditargetkan selesai pada 2019 diperkirakan menghasilkan emisi karbon sebesar 90,37 juta ton.
Perhitungan kasar WALHI menunjukkan setiap 1.000 MW PLTU akan menghasilkan emisi karbon senilai 5,4 juta ton per tahun. Dengan kapasitas 22.000 MW akan menghasilkan 119 juta ton emisi karbon. Pada tahun 2030, diperkirakan 1,309 juta ton emisi karbon akan terakumulasi.
Tambahan yang bagus. Senada dengan hal tersebut, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institut Reformasi Layanan Esensial (IESR)mengatakan itu tanpa penghapusan batubara secara serius sulit bagi Indonesia untuk mencapai Perjanjian Paris pada tahun 2030.
Muncul ide lain sebagai solusi permasalahan tersebut, yaitu pengembangan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) untuk melistriki Indonesia, menggantikan peran PLTU. Sumber energi baru dan terbarukan yang berpotensi untuk dimanfaatkan di Indonesia antara lain tenaga surya, angin, panas bumi, mikro hidroarus bawah air, dan lain-lain.
Sayangnya, beberapa pihak seperti lembaga akuntan publik PricewaterhouseCoopers (PwC) masih menilai pengembangan dan pemanfaatan sumber EBT membutuhkan biaya yang sangat tinggi, dan dinilai belum cukup untuk memenuhi target listrik sebesar 35 ribu MW.
Pakar energi yang kini menjadi anggota DPR, Kurtubi, menilai penggunaan teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir perlu dipertimbangkan. Laman metrotvnews.com memuat pernyataan Kurtubi pada acara Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 17 Januari 2017. Energi nuklir dikenal sebagai energi bersih. Persoalannya, siapkah masyarakat Indonesia menerima sumber energi tersebut? – Rappler.com