Pro dan kontra wacana amnesti bagi koruptor
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) berupaya menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) no. 99 Tahun 2012 yang sebelumnya memperkuat pemberian amnesti kepada terpidana kasus korupsi.
Namun hal ini mendapat penolakan dari masyarakat. Misalnya, seorang warga bernama Dewi Anggraeni Puspitasari menolak mentah-mentah wacana tersebut.
Di dalam petisi tersebut di situs Change.org, katanya,
“Pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-71, Gayus Tambunan mendapat hadiah berupa grasi atau mengurangi hukuman pidana 6 bulan, sedangkan Nazaruddin bisa mendapat remisi 5 bulan. Belum lagi mereka yang terbukti bersalah dalam kasus korupsi (koruptor) bisa mendapatkan pengampunan lebih dari satu kali dalam satu tahun. Bayangkan kalau syarat pemberian amnesti kepada koruptor semakin dilonggarkan?”
Mengapa pemerintah berupaya menyederhanakan persyaratan remisi?
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly pernah mengatakan bahwa Lapas di Indonesia kelebihan kapasitas.
“Kelebihan kapasitas kita cukup mengkhawatirkan,” kata Yasonna. pada tanggal 8 Februari 2016.
Rekan keadilan adalah dirinya sebagai saksi dan pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus, bahkan mengembalikan aset hasil korupsi jika berada di tangannya.
Status rekan keadilan diberikan oleh penuntut umum atau penyidik kepada terdakwa dan tersangka yang membantu proses penyidikan dan penuntutan agar pelaku yang menjadi “korban” atau bukan pelaku utama bersedia memberikan keterangan yang dapat meringankan hukumannya, serta orang lain. pelaku dapat mengungkapkannya. dalam kasus korupsi yang menjerat mereka.
Mengapa revisi PP no. 99 pada tahun 2012?
“Pertama“Ada upaya untuk menyembunyikan informasi dari pemerintah,” tulis Dewi.
Upaya PP no. 99 Tahun 2012 yang digulirkan pada akhir tahun 2015, namun mendapat penolakan dari masyarakat, sehingga wacana revisi aturan yang akan memudahkan terpidana kasus korupsi mendapatkan amnesti pun sirna.
Namun, sekitar Juli 2016, revisi konsep tersebut muncul kembali dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Masyarakat Dibantu. Dalam RPP ini, aturan pemberian amnesti kepada terpidana korupsi hanya sebagian kecil dari keseluruhan isi.
Karena tidak disebut “Revisi PP 99/2012”, padahal PP No. 99 Tahun 2012 akan dicabut jika RPP diterima, penolakan masyarakat tidak sekuat wacana saat muncul Revisi PP 99/2012. Namun, syaratnya adalah rekan keadilan masih dihapus di RPP.
“KeduaSyarat remisi bagi terpidana korupsi sangat longgar, kata Dewi.
RPP Narapidana (Pasal 32 Ayat 1 dan 2) memberikan tiga syarat bagi terpidana korupsi yang ingin mendapat grasi:
- Melayani 1/3 kalimat
- Membayar denda dan tambahan restitusi pidana
- Perilaku yang baik
Pemberian keringanan menjadi lebih mudah karena persyaratan untuk berstatus dihapus telah dihapus rekan keadilan.
Ketigakata sang dewi, “Tentang kapasitas penjara (lembaga pemasyarakatan) bukan disebabkan oleh narapidana yang korup.”
Bandingkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan penuturan Menteri Yasonna, total narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan dan rutan per Juli 2016 di Indonesia berjumlah 197.670 orang. Sedangkan narapidana kasus korupsi berjumlah 3.894 orang atau sekitar 1,96 persen dari total jumlah narapidana dan lembaga pemasyarakatan.
“Yang jelas pelonggaran persyaratan keringanan ini akan menguntungkan para koruptor, padahal koruptor sudah merugikan kita, warga negara Indonesia,” kata Dewi.
ICW: Cabut hak amnesti jika terdakwa bukan ‘whistleblower’ dan ‘collaborator of justice’
Di dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk memantau kasus korupsi pada Januari 2016 hingga Juni 2016, peneliti merekomendasikan, “Pengadilan juga harus mempertimbangkan pencabutan hak pengampunan jika terdakwa bukan orang pelapor Dan rekan keadilan.”
“Soal pemberian amnesti memang menjadi hak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Tetapi perlu dikaji kembali arah kebijakan politik dan hukum pemerintah dalam menangani kasus korupsi,” kata peneliti ICW Aradilla Caesar kepada Rappler.
Menurut Aradilla, saat PP No. 99 Tahun 2012 dirancang, tentu ada alasannya.
Nah, alasan ini setidaknya menegaskan bahwa posisi pemerintah adalah memberikan dukungan penuh terhadap upaya pemberantasan korupsi dengan mengurangi atau membatasi kesempatan bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan pengampunan, mendapatkan pengurangan hukuman, ”ujarnya.
“Bagaimana pembinaan bisa efektif jika pemerintah sendiri juga berupaya mengurangi denda?”
Menanggapi alasan yang dikemukakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap pengujian PP no. 99 Tahun 2012, Aradilla menjelaskan: “Jika ingin merumuskan kebijakan untuk mengurangi lebih kapasitasnya, seharusnya sasarannya adalah narapidana narkoba, karena jumlahnya sangat besar.
“Narapidana narkoba merupakan penghuni lembaga pemasyarakatan dengan jumlah terbanyak. “Bukan narapidana korupsi yang jumlahnya sangat sedikit dan tidak berdampak signifikan dalam mengurangi permasalahan kapasitas lapas.”
Ia pun bertanya apakah amnesti merupakan hak semua narapidana?
“Kedua, apakah hak amnesti merupakan hak yang harus dimiliki semua narapidana? Dalam UU Pemasyarakatan hal tersebut merupakan hak bagi narapidana, namun dalam PP No. 99, hak ini diatur dalam rangka pembatasan, dengan syarat yang lebih ketat.
“Semua bisa mendapatkannya, narapidana korupsi juga bisa mendapat pengurangan (hukuman), remisi, tapi dengan syarat tertentu. Itu juga seperti ituPeninjauan kembali beberapa kali dan Mahkamah Agung menyatakan PP 99 yang memperketat pemberian amnesti tidak melanggar hak narapidana sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan. Oleh karena itu, alasan-alasan tersebut tidak berdasar dan sangat mudah untuk dibantah, kata Aradilla.
Dihukum untuk mencegah korupsi dan tidak mengulanginya
Aradilla mengatakan, tugas nyata pemerintah dalam konteks pemasyarakatan adalah pembinaan, bukan fokus pada pengurangan jumlah hukuman.
Penentuan besaran hukuman merupakan kewenangan pengadilan atau lembaga peradilan, sedangkan pemerintah, menurut Aradilla, tidak berhak mengurangi hukuman agar tidak mengganggu kewenangan pengadilan.
“Fokus pemerintah adalah memberikan bimbingan di dalam (penjara). Jadi kalau misalnya alasan pemberian grasi itu bagian dari pembinaan, bagaimana mungkin pelaku pidana bisa dibina dengan diberikan pengurangan hukuman? Tentu dia akan semakin berpikir, ‘hukuman saya ringan, karena setiap tahun saya mendapat remisi’, ujarnya.
Arad mencontohkan, “Kalau ada yang divonis 10 tahun, mereka harus menjalani 10 tahun itu sebaik mungkin. Jadi ketika usianya menginjak 10 tahun, dia keluar, menjadi orang yang ‘dihalangi’ melakukan kejahatan. untuk berkomitmen dan tidak akan melakukannya lagi.”
“Dengan pengurangan hukuman tentunya juga menghilangkan efek jera yang diberikan pengadilan. Misalnya, jika hukuman pengadilan dijatuhkan dua tahun atau kurang, dan diberikan pengampunan lagi, apakah terpidana akan mempunyai efek jera? Tentu saja tidak.
Apapun pelatihan yang dilakukan petugas pemasyarakatan di lapas, tidak akan berhasil membina narapidana karena masa hukumannya masih dikurangi. “Ketika dikurangi, tentu secara logika mereka akan berpikir, ‘Saya tidak perlu takut melakukan kejahatan ini lagi, karena kalau saya kembali lagi, setiap tahun saya akan mendapat grasi, pengurangan hukuman,’” ujar Arad.
“Bagaimana pembinaan bisa efektif jika pemerintah sendiri juga berupaya mengurangi denda?” dia berkata. —Rappler.com