• November 25, 2024

Perlawanan yang tak tertahankan terhadap tembok jalan Yogyakarta

Yogyakarta Disebut ‘Kota Toleransi’, Tapi Mengapa Banyak Tindakan Intoleransi Terhadap Kelompok Minoritas dan Seniman?

YOGYAKARTA, Indonesia – Saat warga Yogyakarta tertidur, Patub Porx, Juwadi dan teman-temannya masih terjaga.

Tengah malam, mereka membawa beberapa kaleng cat hitam, kuas, koran bekas, dan perlengkapan lainnya dengan sepeda motor melewati jalanan remang-remang menuju Jembatan Kewek tak jauh dari Malioboro.

Sesampainya di sana, mereka langsung turun dan menutup dinding barat dan timur Jembatan Kewek dengan cat hitam yang dibawanya. Setelah cat hitamnya kering, mereka menulis pesan “Kota toleransi?“.

Tak hanya di tembok Jembatan Kewek, beberapa tempat seperti di Jalan Parangtritis, tembok utara Hotel Meliapurosani, naskahnya Kota toleransi? dengan latar belakang cat hitam juga tertulis di sana.

“Ini kritik kami terhadap apa yang terjadi di Yogyakarta, kota yang berslogan Kota Toleransi, namun kenyataannya? Lihat saja apa yang terjadi,” kata Juwadi kepada Rappler di Survive Garage, Selasa, 12 April.

Juwadi adalah seorang seniman. Ia merupakan salah satu saksi mata penyerangan yang dilakukan kelompok fanatik pada acara Lady Fast di Survive Garage pada 2 April lalu. Pasca kejadian tersebut, Juwadi bersama beberapa seniman dan aktivis mendirikan Forum Solidaritas Damai Jogja untuk merespon tindakan intoleransi yang terjadi di Yogyakarta.

“Malam itu saya sedang menggendong anak saya yang berumur dua tahun dan kemudian ditantang berkelahi oleh kelompok intoleran ini. “Inilah yang terjadi,” kata Juwadi.

Dia menjelaskan, apa yang mereka lakukan merupakan respons atas kegelisahan atas tindakan intoleransi yang banyak terjadi di Yogyakarta. Warna hitam pada dinding yang menghalangi mereka merupakan bentuk belasungkawa atas apa yang terjadi di Yogyakarta.

“Hitam adalah simbol duka kami. Kami sedih dengan adanya penyebaran paksa berbagai peristiwa yang menggunakan kekerasan dan mengatasnamakan agama. Kami seniman biasanya menciptakan karya, dan karya itulah yang kami gunakan untuk mengkritik. “Tembok itu media kami menyampaikan pesan kepada masyarakat,” ujarnya.

Awalnya, ide untuk menutup beberapa tembok di tempat strategis dengan cat hitam dan menuliskan pertanyaan toleransi di Yogyakarta datang dari Juwadi. Ide tersebut langsung diusung oleh Patub Porx –bukan nama sebenarnya– dan beberapa teman lainnya.

“Kami tidak banyak malam itu, paling banyak sepuluh orang. Setelah berita itu tersebar, banyak teman yang ingin bergabung. “Mereka datang secara spontan membawa perlengkapannya masing-masing, sehingga yang ikut serta mencapai tiga puluh orang,” kata Patub, salah satu seniman Street Art.

Kebanyakan dari mereka yang ikut melakukan perlawanan melalui tembok di sudut jalan Yogyakarta karena mempunyai kegelisahan yang sama. Mereka khawatir Yogyakarta yang selama ini menjadi sarang seniman berkarya perlahan-lahan dirusak oleh kelompok intoleran.

Patub menduga selama ini banyak kasus intoleransi di Yogyakarta yang terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, misalnya kasus rumah ibadah Ahmadiyah, Syiah, waria, serta pembubaran diskusi dan acara menonton film yang dianggap menyebarkan komunisme. Namun baru kali ini kelompok intoleran menyerang artis.

“Sebelumnya ada penolakan terhadap pameran di Tembi, namun tidak menimbulkan keributan. Baru kemarin di event besar Lady Fast. Kami artis, kami khawatir jadi sasarannya. “Kebebasan berekspresi dalam bidang seni terancam punah,” kata Patub.

Jika dibiarkan, Patub khawatir kejadian serupa akan menimpa komunitas seniman lain di Yogyakarta.

“Kami ingin memberikan pesan, kritik, bahwa Yogyakarta sudah berubah. Kota toleransi telah menjadi tidak toleran. “Dinding dan tulisan hitam adalah sikap kami, menolak segala bentuk kekerasan dan intoleransi di Yogyakarta,” ujarnya. —Rappler.com

Data Hongkong