Menteri Perdagangan Tom Lembong mengirim surat ke Prancis memprotes pajak minyak sawit
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Pemerintah Indonesia melayangkan surat protes kepada pemerintah Prancis atas rencana penerapan pajak tambahan atas impor minyak sawit dan turunannya.
Indonesia memandang rencana Perancis sebagai bentuk perlakuan diskriminatif, bertentangan dengan semangat kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam surat tertanggal 2 Februari 2016 yang ditujukan kepada Menteri Ekologi, Pembangunan Berkelanjutan dan Energi Perancis, Segolene Royal, Menteri Perdagangan Indonesia Thomas Lembong menyatakan bahwa Indonesia keberatan dengan rencana Senat Perancis yang mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk minyak sawit dan minyak sawit. turunannya yang akan diimplementasikan pada awal tahun 2017.
“Bagi perekonomian Indonesia, peran sektor kelapa sawit sangat penting. “Dampak perlakuan diskriminatif di pasar ekspor akan sangat buruk bagi stabilitas ekonomi, sosial dan politik yang telah kita capai sejak awal tahun 2000an,” tulis Tom dalam suratnya.
Surat itu disampaikan Tom pada Kamis, 4 Februari melalui Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Corrine Breuze yang datang ke kantor Kementerian Perdagangan.
Dalam surat tersebut, Tom juga menggarisbawahi bahwa usulan undang-undang baru yang mengatur pajak impor minyak sawit melanggar prinsip-prinsip perlakuan nasional dan non-diskriminasi, dan menyebabkan gangguan serius terhadap sektor minyak sawit Indonesia, serta produksi dan konsumsi pangan di Perancis dan Perancis. anggota Uni Eropa lainnya.
Pada pertengahan Desember 2015 lalu, Indonesia sebenarnya mendapat kabar gembira dengan tercapainya Deklarasi Amsterdam yang menyepakati pasar Eropa untuk 100 persen minyak sawit berkelanjutan pada tahun 2020. Perjanjian ini dibuat dalam kerangka Proyek Eropa untuk Minyak Sawit Berkelanjutan.
Surat Tom meminta Segolene Royal mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa peraturan pajak impor tambahan tidak disahkan oleh senat Prancis. Tom juga menyarankan agar Segolene bekerja sama dengan Indonesia untuk mengatasi kepentingan Perancis terkait minyak sawit.
Pada tanggal 21 Januari 2016, Senat Prancis mengesahkan amandemen undang-undang untuk menerapkan pajak impor tambahan sebesar 300 euro per ton mulai awal tahun 2017, dan secara bertahap meningkat setiap tahun menjadi 900 euro per ton pada tahun 2020.
Pemerintah Indonesia menilai pemberlakuan pajak ini akan membuat produk minyak sawit dan turunannya yang diproduksi di Indonesia menjadi tidak kompetitif. Hambatan tarif impor ini juga melanggar General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) tahun 1994 yang menyatakan bahwa “produk impor tidak boleh dikenakan produk dalam negeri baik langsung maupun tidak langsung”.
Tom mengatakan dampaknya terhadap sektor kelapa sawit Indonesia akan cukup parah. Sektor kelapa sawit secara langsung dan tidak langsung mempekerjakan 16 juta orang. Kontribusi minyak sawit terhadap produk domestik bruto Indonesia sebesar 1,6 persen dan mendatangkan devisa senilai US$19 miliar dolar setiap tahunnya.
Sebanyak 50 persen produk yang dijual di pasaran mengandung minyak sawit, mulai dari mentega, minyak goreng hingga olahan coklat.
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi 40 juta ton per tahun. Malaysia berada di peringkat kedua dengan 30 juta ton per tahun.
Pada bulan Oktober 2015, Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Datuk Muhamad Nadjib sepakat untuk membentuk dewan kelapa sawit.
Wakil Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Havaz Oegroseno mengatakan Indonesia akan mendapat manfaat dari kerja sama dengan Malaysia untuk memastikan rencana penerapan bea masuk dapat dibatalkan oleh pemerintah Prancis.
Ironisnya, dana dari tambahan pajak impor akan digunakan Prancis untuk mensubsidi petani Prancis. “Sementara itu, petani Indonesia akan terkena dampaknya karena mereka dilarang masuk karena tarif yang tinggi,” kata Havaz.
Jika aturan ini benar-benar berlaku, pasti akan menjadi hambatan perdagangan baru bagi produk ekspor unggulan Indonesia ke Eropa dan Amerika. Langkah Perancis mungkin akan diikuti oleh pemerintah negara-negara Eropa lainnya.
Eropa merupakan pasar yang cukup besar bagi produk minyak sawit dan turunannya. setiap tahun Eropa mengimpor 7,3 juta ton CPOatau 12 persen pasar dunia.
Dalam rangkaian pelaksanaan COP 21, delegasi Indonesia dipimpin oleh BPDP secara aktif mempromosikan minyak sawit berkelanjutan di Eropa.
Surat Tom kepada Segolene menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Konsumsi minyak sawit belum terbukti meningkatkan risiko penyakit jantung seperti yang disebabkan oleh asam lemak jenuh lainnya,” kata Tom.
Pemerintah Prancis, khususnya Menteri Segolene, dikenal kritis terhadap minyak sawit. Rencana penghambatan impor minyak sawit dengan tarif impor dilakukan sebagai upaya memerangi deforestasi dan meluasnya penggunaan pestisida-pupuk di perkebunan kelapa sawit, serta kekhawatiran akan dampak kesehatan yang terkait dengan konsumsi lemak jenuh.
Kampanye negatif minyak sawit karena persaingan?
Sebelum melakukan protes melalui jalur diplomasi antar pejabat resmi pemerintah, Indonesia memprotes pemberlakuan pajak impor minyak sawit melalui pernyataan CEO Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) Bayu Krisnamurthi.
Menurut Bayu, alasan Prancis menerapkan pajak impor tambahan sebesar 300 euro per ton CPO salah.
“Kami menolak dan sangat keberatan karena tambahan pajak tersebut akan merugikan ekspor minyak sawit Indonesia yang 42 persennya diproduksi oleh petani kecil. “Ini tentang penghidupan lebih dari 2 juta petani,” kata Bayu kepada Rappler pada 2 Februari.
Dalam perjalanan promosi minyak sawit Indonesia ke beberapa negara di Eropa, Bayu mengajak para pemangku kepentingan, termasuk kalangan industri, untuk memberikan masukan mengenai proses produksi berkelanjutan.
Bayu juga mengatakan, industri kelapa sawit Indonesia juga mencari alternatif selain melakukan penebangan dan pembakaran hutan untuk membuka lahan perkebunan. Ini adalah salah satu dari lima prioritas pengembangan kelapa sawit.
Kampanye negatif dilancarkan karena produktivitas minyak sawit jauh lebih tinggi dibandingkan sumber minyak nabati lainnya, terutama minyak kedelai dan minyak bunga matahari.
“Menurut Bayu, Indonesia adalah negara paling progresif dalam produksi minyak sawit berkelanjutan,” kata Bayu.
Dalam waktu tiga tahun, Indonesia menghasilkan setengah dari total produksi minyak sawit dunia yang memenuhi sertifikasi produk berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pada tahun 2015, terdapat 12 juta ton minyak sawit yang memenuhi persyaratan produksi ramah lingkungan.
Bayu masih optimistis pemerintah Prancis akan bertindak benar dan adil dalam menyikapi protes Indonesia. “Saya berharap mereka menolak rencana tersebut,” kata Bayu.–Rappler.com
BACA JUGA: