• November 26, 2024

Saat ondel-ondel ‘meneror’ ibu kota

JAKARTA, Indonesia—Tri Lestari, 29, bangkit dari kursinya dan baru saja hendak keluar dari restoran Padang favoritnya di kawasan Percetakan Negara, Jakarta Pusat pada Jumat malam. Namun baru beberapa langkah, Tri terhenti. Di depan pintu, bayangan hitam berkepala besar menghalanginya.

Melihat sosok itu, Tri memalingkan wajahnya. Jeritan terdengar. Ivan, pria yang saat itu sedang bersama kasir, menjulurkan kepalanya. Ia langsung paham kenapa Tri histeris. Di depan pintu restoran, sesosok ondel-ondel mengulurkan baskom dan meminta kembalian.

Ivan segera melangkah keluar dan berusaha menghentikannya. “Maaf, saya tidak punya uang kembalian. Tidak ada perubahan. “Awas, aku keluar,” katanya.

Namun ondel-ondel itu tidak bergeming. “TIDAK kenapa? paman? Saya ingin meminta sesuatu yang lain rumah,” kata suara di balik baju ondel-ondel merah itu.

Ivan melirik ke restoran. Selain dia dan istrinya, hanya ada satu atau dua pengunjung di restoran tersebut. Mereka tampak tidak peduli dan membuang muka. Saat Ivan berusaha menyingkirkan ondel-ondel tersebut, Tri terus histeris. “Berikan saja padaku. Lepaskan aku,” kata Tri.

Karena tidak ada tanda-tanda ondel-ondel akan menjauh, Ivan akhirnya menyerah. Dia memasukkan tangannya ke dalam sakunya. Sepuluh ribu dolar naik. Barulah ondel-ondel itu pergi.

“Ya seperti itu. Dari awal (Tri) memang mengepul (paranoid) saat melihat ondel-ondel. Bagaimana seperti itu. Ini seperti teror. “Mungkin itu trauma masa kecil,” kata Ivan saat berbicara dengan Rappler di luar restoran.

Menurut Ivan, untuk kedua kalinya dalam sepekan Tri dihadang ondel-ondel secara histeris. Beberapa hari lalu, saat menunggu lampu merah di kawasan Jakarta Pusat, rombongan ondel-ondel menghampiri sepeda motor yang dikendarainya dan tak mau berangkat hingga diberi uang kembalian.

“Wanita juga berteriak, mereka tidak peduli. Sampai saya diberi uang lalu saya pergi. Sekarang ya sering kali demikian. “Sepertinya di mana-mana di Jakarta ada ondel-ondel,” kata pria yang tinggal di kawasan Rawasari itu.

‘Teror’ dalam berbagai bentuk pun diakui Rismawati. Pegawai salah satu bank swasta di kawasan Cikini ini mengaku sudah berkali-kali berurusan dengan ondel-ondel ‘rese’. Sepulang kerja, kata Risma, ia dan rekan-rekannya kerap diserang sekawanan ondel-ondel saat makan malam di dekat kantornya.

“Kalau makan di pinggir jalan, siang sampai malam pasti ada orang ondel-ondel yang ngamen (atau) mengemis.” Kadang berkelompok, kadang sendirian. Ganggu saja aku. Sekali makan bisa masuk berkali-kali (di ruang makan). “Bising banget lagi,” ucapnya.

Kelas dibatalkan

Menurut budayawan Betawi Yahya Andi Saputra, saat ini ondel-ondel memang sudah direduksi hanya sekedar cara mengemis dan mengemis. Padahal, ondel-ondel merupakan ikon Jakarta dan memiliki nilai budaya yang tinggi. “TIDAK bisa sewenang-wenang dimainkan Ondel-ondel itulah yang digunakan oleh oknum tertentu untuk mencari uang alias uang. “Ondel-ondel memang mempunyai peluang besar untuk dijadikan media mencari uang,” ujarnya beberapa waktu lalu saat dihubungi Rappler.

Ondel-ondel merupakan boneka berkepala besar yang terbuat dari rangka bambu setinggi 2-2,5 meter. Biasanya ondel-ondel dibuat berpasangan yaitu pria dan wanita. Dahulu pertunjukan ondel-ondel dipentaskan dengan diiringi musik tanjidor dan gambang kromong untuk mengusir kejahatan. Hanya ditampilkan pada acara-acara khusus seperti pernikahan, khitanan atau pesta umum.

Kadang, lanjut Yahya, ondel-ondel sering dibolehkan bernyanyi. Namun, harus ada standar yang dipenuhi. “Sebenarnya sejak zaman penjajahan Belanda. Ini adalah salah satu cara tradisional di hari Senin untuk menjaga hismah (roh) dan jati diri. “Tapi ada aturannya, harus berpasangan, berseragam, menghargai waktu, tertib, menjaga sopan santun dan keselamatan,” ujarnya.

Berbeda dengan zaman sekarang yang memiliki wajah mulus dan berkilau bagi wanita, pada zaman dahulu ondel-ondel diciptakan dengan wajah marah dan menakutkan. Menurut catatan sejarah, ondel-ondel direpresentasikan sebagai sosok leluhur yang tugasnya menjaga penduduk desa dan keturunannya. Ondel-ondel sudah ada bahkan sebelum terbentuknya kampung Betawi pertama di Batavia pada tahun 1923.

Meski sosoknya terus berubah seiring perkembangan zaman, namun menurut Yahya, energi dan jati diri ondel-ondel tidak berubah. Hanya saja, melihat kondisi saat ini, Yahya khawatir produk budaya tersebut turun kelas dan hanya menjadi komoditas ekonomi. “Itu disebarkan oleh oknum yang mencari keuntungan. Oleh karena itu, harus ada solusi yang tidak win-win. “Sudah ada peraturan ketertiban daerah, digunakan secara konsisten, situasi sudah teratasi,” ujarnya.

Tidak punya pilihan

Ditemui di kediamannya di kawasan Gang Anggrek, kawasan Senen, Jakarta Pusat, Kamis 24 Mei 2018 lalu, pengelola Sanggar Mamit Cs, Taufik Hidayat mengatakan, ondel-ondel mulai merambah jalanan sejak awal tahun 2010. Menurut dia, sanggar-sanggar di kawasan Kemayoran itulah yang pertama kali menggunakan ondel-ondel untuk pekerjaan bus. “Yang lain mengikuti teladannya, termasuk yang ada di sini (geng Anggrek),” ujarnya.

Sanggar Mamit cs merupakan sanggar tertua di Gang Anggrek. Sanggar ini didirikan pada tahun 1984 oleh mendiang Abdul Hamid. Taufik merupakan keponakan Abdul dan sejak kecil ia menemani mendiang pamannya menampilkan ondel-ondel, penahan pintu, dan kesenian Betawi lainnya. Selain pentas, Sanggar Mamit yang kini dipimpin Hanafi, putra Abdul, juga rutin menerima pesanan pembuatan ondel-ondel.

STUDIO.  Taufik Hidayat, pengelola Studio Mamit Cs di Jalan Anggrek, Senen, Jakarta Pusat.  Foto oleh Christian Simbolon/Rappler

Namun, diakui Taufik, baik pesanan pembuatan ondel-ondel maupun undangan tampil terus berkurang seiring berjalannya waktu. Kini, dalam sebulan dia dan anggotanya hanya tampil satu dua kali di acara pernikahan atau khitanan. Kondisi ini memaksanya mengerahkan ‘pasukannya’ ke jalan untuk menekan. “Sebagai TIDAKdari menganggur aha. TIDAK ada pemasukan,” ujarnya.

Mamit Cs memiliki dua kelompok seniman ondel-ondel yang sehari-harinya ramai di berbagai pelosok ibu kota, namun Taufik menegaskan, kelompok ondel-ondel yang dipimpinnya masih memenuhi standar. Satu rombongan terdiri dari 1 unit ondel-ondel dan 13 orang pengawal, lengkap dengan seragam dan pemain perkusi. “Jangan gunakan musik dari USB (universal serial bus). “Sekarang banyak yang menggunakan musik yang disetel,” jelasnya.

Di Gang Anggrek ada sekitar 10 sanggar menurut Taufik. Namun hanya Mamit Cs yang terdaftar sebagai lembaga kebudayaan Betawi di Pemprov DKI. Yang lain tidak memiliki izin untuk bekerja. “Sulit juga mendapatkan izin. Ini tidak mudah. Minimal harus ada kontak dengan LKB pusat atau Pemprov DKI. “Jika kami sudah ada cukup lama, kami pasti sudah mengetahuinya,” katanya.

Nurjanah, istri mendiang Abdul Hamid pun ikut berkomentar. Menurutnya, semakin banyaknya warga Bende Anggrek yang membuka sanggar dan terjun dalam bisnis ondel-ondel membuat persaingan antar seniman ondel-ondel semakin ketat. Kini para pemain ondel-ondel Mamit C bahkan harus dikirim ke pinggiran Jakarta agar bisa pulang membawa uang.

“Seperti sekarang sampai Tanggerang, Ciledug, Cipayung. Dulu paling jauh ke Setiabudi. Sekarang kadang di jalan saya suka melarikan diri (saling berpapasan). Bahkan terkadang amprokannya dengan sekelompok orang di rumah. Terkadang kalau bersama teman orang lain, kamu suka nakal, suka berebut tempat seperti itu Anda atau orang luar. Ada juga badai,” ujarnya.

Dari tahun ke tahun, Nurjanah mengatakan, pendapatan Mamit CS terus menurun akibat menjamurnya pengamen ondel-ondel. Dulu, selain deposit, setiap anggota sanggar bisa mengantongi Rp150 ribu setelah berhenti. “Sekarang Rp 70 ribu. Ibarat seorang pedagang, semakin banyak pula pesaing dagang yang penghasilannya ada namun semakin berkurang. Kami juga terjebak. “Depositnya apa adanya,” ucapnya.

Memesan

Sebelumnya, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Tinia Budiarti mengakui banyak oknum yang menggunakan ondel-ondel sebagai cara mengemis dan melanggar. Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. “Banyak juga perantau yang tujuannya mencari nafkah di Jakarta. Mereka berpura-pura melestarikan budaya. “Kami terus memantau,” ujarnya.

MENGANGKUT.  Seorang Bajaj terlihat mengangkut ondel-ondel dan pemainnya di Gang Anggrek, Senen, Jakarta Pusat.  Foto oleh Christian Simbolon/Rappler

Sesuai aturan, ondel-ondel tidak boleh melaju di jalan protokol dan hanya boleh beredar di jalan desa. Namun saat ini, ondel-ondel sudah banyak yang tampil di jalan-jalan utama ibu kota. “Tetapi tidak banyak. Nanti kami akan mencoba menertibkannya. Namun hal itu sangat memerlukan koordinasi dari berbagai pihak untuk menertibkan, imbuhnya.

Menurut Tinia, pihaknya sudah rekaman di studio-studio di ibu kota dan rutin menggelar konser. Rencananya, Pemprov juga akan memberikan jadwal khusus bagi sanggar resmi yang akan tampil di ruang publik. “Sejauh ini partisipasinya positif,” katanya tanpa merinci kompromi seperti apa yang telah disiapkan pemerintah provinsi.

Taufik mengamini hal tersebut. Menurut dia, pemerintah provinsi beberapa bulan lalu mengundang pemilik sanggar untuk berdialog. Taufik berharap kebijakan Pemprov tidak merugikan pemilik sanggar, apalagi yang memiliki izin resmi. “Saya ingin mendengarnya menempati di pusat perbelanjaan atau pusat sibuk untuk tampil. Sekali, katanya, Rp 2 juta. Jika itu cukup, itu sudah cukup. Tidak perlu bertanya lebih lanjut. Ya, itu adalah budaya. “Itu harus dilestarikan,” katanya.

—Rappler.com

taruhan bola online