Pemeriksaan visum terhadap jenazah Siyono ditunda karena adanya protes dari warga Desa Pogung
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Istri Siyono menyerahkan dua bungkus uang yang diterimanya dari pelapor kematian suaminya
YOGYAKARTA, Indonesia – Rencana bedah mayat terhadap jenazah terduga teroris Siyono ditunda di tengah perlawanan warga Desa Pogung, Klaten, Jawa Tengah.
Namun Ketua PP Hukum dan HAM PP Busyro Muqodas mengatakan, penundaan tersebut bukan karena adanya perlawanan dari warga, melainkan karena persiapan tim medis yang belum selesai.
“Memang ada perlawanan, jadi saya bertanya-tanya, ada apa dengan warga, kenapa warga juga menolak. Tapi bukan karena itu, kami tunda karena tim medis belum siap, kata Busyro saat ditemui Rappler di kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu, 30 Maret.
Siyono ditangkap di Klaten, Jawa Tengah pada 8 Maret oleh tiga orang yang diduga anggota Densus 88 dan dipulangkan ke rumah sebagai mayat empat hari kemudian.
Selasa 29 Maret, Suratmi Mufidah, istri Siyono, meminta perlindungan kepada Ormas Muhammadiyah karena khawatir dengan keselamatannya.
Naik bus merasa curiga dengan penolakan yang muncul karena Kapolri Jenderal. Badrodin Haiti sendiri memberikan izin untuk dilakukan otopsi ulang.
“Sepertinya ini bukan warga, karena diputuskan rapat antara RT, RW, dan Kecamatan. Artinya petugas, bukan warga negara. “Mereka yang menghalangi proses otopsi bisa saja tersangkut persoalan hukum,” kata Busyro.
Ia kembali menyindir tindakan Densus 88 yang merenggut nyawa Siyono. Menurutnya, jika polisi menganggap Siyono sebagai gembong teroris, sebaiknya ia tidak dibunuh.
Busyro mengingatkan, cara-cara Orde Baru membungkam suara-suara kritis kembali muncul dan dilakukan oleh aparatur sipil negara di era Reformasi ini.
“Polanya sama, bahkan lebih buruk. Setelah suaminya dibunuh, istrinya diberi uang tutup mulut. Itu uang untuk tujuan membungkam. “Polri tidak bisa seperti ini, harus berubah,” ujarnya.
Busyro menilai yang dilakukan polisi saat ini adalah kriminalisasi Islam karena simbol-simbol Islam dikaitkan dengan kelompok yang dicap polisi sebagai teroris.
“Islam tidak hanya dikriminalisasi dari segi agama, ajaran dan sistem nilai, umatnya juga dikriminalisasi. “Ada 119 kasus korban jiwa yang terjadi, jangan sampai terulang kembali,” ujarnya.
Uang disumbangkan
Pada Selasa, 29 Maret, Suratmi juga bercerita bahwa dirinya diberi uang oleh seseorang bernama Ayu, orang yang menjemputnya dari Klaten hingga Jakarta saat ia mengabarkan suaminya telah meninggal.
“Bu Ayu yang kasih, saya curiga Bu Ayu itu polwan, tapi saya tidak tahu pasti. “Uang tersebut diberikan di Leaf Hotel Jakarta tempat saya menginap,” kata Suratmi kepada wartawan di kantor PP Muhammadiyah, Selasa, 29 Maret.
Setelah menerima dua bungkus uang tersebut, Suratmi merasa takut dan cemas karena tidak mengetahui asal usul dan tujuan pemberian uang tersebut.
“Saya tidak tahu uangnya dari mana, dan dari siapa tidak ada penjelasan dari Bu Ayu,” ujarnya.
Dua bungkus uang itu kemudian diserahkannya kepada PP Muhammadiyah yang diwakili Busyro Muqodas. Ia berharap uang itu bisa dijadikan barang bukti jika dibawa ke pengadilan.
“Ini untuk keperluan proses hukum, baik untuk pembuktian, silakan dilakukan. “Tapi saya tidak berani membukanya, dari awal masih utuh,” ujarnya. – Rappler.com
BACA JUGA: