Sistem ini memungkinkan adanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Alih-alih melindungi mereka, polisi malah dianggap menghambat kebebasan berekspresi kelompok minoritas.
JAKARTA, Indonesia—Beberapa kelompok minoritas di Indonesia menilai diskriminasi yang mereka alami terjadi secara sistematis dan melibatkan negara. Mereka mendesak pemerintah segera mengakhiri rantai diskriminasi yang melibatkan PNS.
“Negara di semua tingkatanlah yang melakukan diskriminasi,” kata Dhyta Caturani, panitia festival Draai Links, saat konferensi pers Hari Anti Diskriminasi di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Selasa 1 Maret.
Negara, menurut Dhyta, tidak hanya melakukan diskriminasi, tapi juga berperan penting dalam mengakhiri diskriminasi terhadap kelompok minoritas. “Setiap orang bisa bebas dari diskriminasi ya dari negara, karena negara punya kewenangan,” kata Dhyta.
Menurut Dhyta, masyarakat hanya menjadi korban dari sistem yang diskriminatif.
Tokoh Syiah Emilia Renita sependapat dengan Dhyta. Menurutnya, kekerasan dan diskriminasi yang menimpa komunitasnya “menjadi sebuah sistem merek.”
Emilia mencontohkan Wali Kota Bogor Bima Arya yang mengeluarkan surat edaran yang melarang perayaan Asyura bagi kelompok Syiah. Setelah surat edaran itu diterbitkan, muncullah kelompok anti-Syiah. “Pemerintah bisa membubarkan aliansi anti-Syiah, tapi tidak bisa membubarkan,” kata Emilia.
Masalah yang melibatkan komunitas Syiah tidak pernah terselesaikan. Bukannya melindungi, lembaga nasional lain malah menyudutkan komunitas Syiah, seperti Majelis Ulama Indonesia yang justru mengeluarkan fatwa yang merugikan Syiah di Tanah Air.
Pada tahun 2004, MUI mengeluarkan surat edaran yang tampaknya menyetujui bahwa kaum Syi’ah adalah bid’ah. Anggapan tersebut dibantah Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi.
Ia mengatakan, MUI tidak pernah melarang ajaran Syiah di Tanah Air, namun meminta umat Islam mewaspadai kelompok Syiah ekstrem.
Polisi tidak menjamin kebebasan berekspresi
Selain sistem yang diskriminatif, kelompok minoritas juga mengeluhkan perlakuan penguasa yang bukannya melindungi mereka, malah menghambat kebebasan berekspresi masyarakat ini.
Kepala Aliran Pelangi Juli Rustinawati misalnya, mengungkapkan saat aksi unjuk rasa perlindungan komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) pada Selasa sore, 23 Februari di Yogyakarta, polisi justru melarang komunitasnya berunjuk rasa.
Kapolresta DIY Kompol Prihartono Eling Lelakon mengatakan, pihaknya tidak memberikan izin kepada massa yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD) untuk menuju tempat aksi di Tugu Yogyakarta.
Alasannya? Menurut Prihartono, hal itu untuk mencegah terjadinya gesekan antara kelompok masyarakat yang mendukung dan menentang isu LGBT.
Yuli mengaku kecewa dengan tindakan polisi tersebut. “Sebenarnya kami sudah ditangkap,” ujarnya.
Emilia Syiah juga mengalami hal serupa. “Kami juga ditangkap,” katanya. Misalnya kasus Syiah di Sampang. Komunitas Syiah Sampang mendapat intimidasi demi intimidasi sejak tahun 2011. Puncaknya pada 26 Agustus 2012, mereka terpaksa mengungsi ke gedung olahraga di Sampang.
Pada tahun 2013, pemerintah memutuskan untuk merelokasi mereka dari Madura ke sebuah kompleks apartemen di Desa Jemundo, Kecamatan Taman, Sidoarjo.
Hingga saat ini, komunitas Syiah masih belum mendapatkan kejelasan di lokasi pengungsian.
Dhyta dari Turn Left Festival menambahkan, pemerintah harus menjamin kebebasan berekspresi bagi kelompok minoritas, sama seperti mayoritas, sesuai dengan apa yang tertulis dalam konstitusi.
Rekomendasi apa yang diberikan kelompok ini kepada pemerintah?
Dalam konferensi pers tersebut, mereka menuntut setidaknya empat hal dari pemerintah:
- Bertindak tegas terhadap pelaku diskriminasi, baik perorangan, kelompok orang atau organisasi, perusahaan, atau pejabat pemerintah atau pejabat pemerintah itu sendiri dengan menerapkan undang-undang yang tidak sewenang-wenang.
- Jaminan kesetaraan bagi setiap warga negara dengan menjamin terpenuhinya hak asasi manusia dan hak warga negaranya dalam berbagai aspek kehidupan.
- Menghapus berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan di daerah dan pusat yang masih mendiskriminasi kelompok tertentu atas dasar bias gender atau bias agama atau kepercayaan.
- Yuli dari Arus Pelangi menambah tuntutan masyarakat. “Reformasi di tubuh kepolisian,” katanya. —Rappler.com
BACA JUGA: