Pelajaran dari teror di Manchester Arena
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Delegasi pemerintah Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Wiranto berada di Moskow, Rusia, saat serangan teroris paling mematikan dalam 12 tahun terakhir terjadi di Inggris.
Ledakan terjadi di penghujung konser penyanyi Ariana Grande di Manchester Arena, Selasa 23 Mei 2017. Sedikitnya 22 orang tewas, mayoritas di antaranya remaja penggemar Ariana Grande.
Delegasi Indonesia melibatkan lembaga antarlembaga, termasuk Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius. Mereka mengadakan pertemuan dengan Dewan Keamanan Rusia, dengan agenda utama kerja sama melawan terorisme.
Kerja sama dalam menangani kejahatan lintas batas modern seperti narkoba, dunia maya, dan pencucian uang juga dibahas. “Teror di Manchester benar-benar mengejutkan dan menyadarkan kami. Kami tidak bisa diremehkan,” kata Suhardi Alius kepada Rappler melalui pesan singkat, Rabu dini hari, 24 Mei 2017.
Menurut Alius, pemerintah mencermati dinamika terorisme global dan regional. Termasuk perkembangan terkini di Kota Marawi, Filipina Selatan. Selasa 23 Mei 2017, saat terjadi baku tembak antara Kepolisian Filipina dengan kelompok bersenjata bernama Kelompok Maute. Situasinya tegang.
Presiden Rodrigo Duterte, yang berada di Moskow untuk kunjungan bilateral, memberlakukan undang-undang darurat di kepulauan Mindanao dan mempercepat jadwal kepulangannya.
(BA: Garis waktu serangan teroris di seluruh dunia)
Pada Selasa malam waktu setempat, polisi Manchester mengumumkan nama Salman Abedi, 22 tahun. Berdasarkan data polisi, Salman, pelaku bom bunuh diri, baru-baru ini melakukan perjalanan ke Libya, negara asal orang tuanya. Polisi sedang menyelidiki hubungan Salmen Abedi dengan Al-Qaeda dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), keduanya merupakan organisasi teroris.
“Sekali lagi kita melihat usia pelaku semakin muda. Kelompok usia sasaran indoktrinasi “Bagi generasi muda yang mudah terpengaruh, labil, karena masih dalam proses pencarian jati diri,” kata Alius. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Data BNPT menunjukkan usia pelaku teroris semakin muda.
Serangan teroris pada konser Ariana Grande di Manchester Arena merupakan serangan yang dilakukan anak muda terhadap anak muda. Dari data serangan yang terjadi di Eropa, sebagian besar terjadi di tempat hiburan yang digemari anak muda.
Belakangan ini BNPT gencar mengajak warganet untuk ikut memerangi paham radikal yang beredar di media sosial dan berpotensi menimbulkan aksi terorisme. Pemerintah menilai penting untuk menangkal paham radikal yang tersebar luas di media sosial.
Suhardi Alius mengutip data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada tahun 2016. Terdapat 132,7 juta pengguna, atau sekitar 51,5 persen dari populasi Indonesia yang diperkirakan berjumlah 256,2 juta.
Dari jumlah tersebut, jumlah pengguna terbanyak adalah generasi muda (usia 17-34 tahun) sebanyak 56,7 juta atau 42,8 persen. Pengguna berusia 35-44 tahun sebanyak 29,2 persen. Paling sedikit adalah pengguna berusia 55 tahun ke atas yakni 10 persen. Pengguna internet sebagian besar menggunakan perangkat seluler (ponsel), yaitu sebanyak 63,1 juta atau sekitar 47,6 persen.
Besarnya persentase pengguna internet oleh generasi muda ternyata membawa dampak positif. Generasi muda yang melek digital diharapkan lebih banyak melahirkan inovasi dan kreatif. Masalahnya, ada ancaman karena banyak juga konten negatif di internet, kata Alius.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan sebanyak 814.594 website dengan konten negatif mengandung konten radikal diblokir pada periode 2010 – 2015. Bahkan pada tahun 2016, Menkominfo memblokir 773 situs. Artinya, jumlah yang diblokir pada tahun lalu hampir sama dengan jumlah lima tahun sebelumnya, kata Alius.
Kedua pelaku bom Gereja Ekumenis Samarinda masih berusia remaja yakni 16 dan 17 tahun. Peran mereka sangat penting, sebagai pembuat bom. Data narapidana terorisme yang menjadi sasaran program deradikalisasi BNPT per Februari 2017 menunjukkan lebih dari 52 persen narapidana terorisme yang berada di lembaga pemasyarakatan adalah generasi muda (usia 17 – 34 tahun).
(BA: Lima Alasan Menjadi Teroris)
Fakta bahwa pelaku teroris semakin banyak berusia muda mendorong BNPT membuat program khusus yang melibatkan warganet. “Kami mengumpulkan sekitar 600 warganet yang terdiri dari blogger, desainer komunikasi visual, dan pakar teknologi informasi,” kata Alius.
Pada bulan April, BNPT mengadakan pelatihan duta perdamaian di Bandung, Jawa Barat. “Tidak ada tempat untuk bersembunyi dari terorisme. Jadi pilihannya adalah bertarungbaik melalui dunia maya maupun dunia nyata,” kata Alius.
Pelatihan di Bandung menghasilkan lima website yang bertujuan untuk menyebarkan konten damai dan anti radikalisme. Kelimanya adalah www.aku.duta Peace.id, www.bhinneka.duta Peace.id, www.saung.duta Peace.id, www.hanjuang.duta Peace.id.
Kelima situs tersebut akan bersinergi dengan website perdamaian yang telah dikembangkan sebelumnya oleh BNPT, termasuk Peace Media Center. Pada tahun 2016, pelatihan dilaksanakan di empat kota. Pada tahun 2017, BNPT berencana melaksanakannya di tujuh kota.
Survei yang dilakukan The Wahid Institute menemukan adanya tren intoleransi sosial dan agama yang semakin meningkat. Jika tidak dikendalikan, hal ini dapat mengarah pada tindakan radikalisme kekerasan atas nama agama.
Proyeksi statistik survei memperkirakan 600 ribu orang telah melakukan tindakan radikalisme atas nama agama. Sekitar 11 juta orang berpotensi melakukan radikalisme atas nama agama jika diberi kesempatan. Sekali lagi, ini melibatkan generasi muda. – Rappler.com.