Duka seorang perempuan pengungsi Rohingya yang menjadi pengantin anak
- keren989
- 0
Satu dari tiga perempuan dan anak perempuan pengungsi Rohingya mengalami kekerasan dalam rumah tangga
JAKARTA, Indonesia – “Dalam beberapa tahun terakhir, saya berulang kali mengutuk perlakuan tragis dan memalukan ini. Saya masih menunggu teman saya, peraih Nobel Aung San Suu Kyi untuk melakukan hal yang sama.” Pernyataan tersebut ditulis peraih Nobel Malala Yousafzai di akun Twitter @Malala, Senin 4 September 2017.
“Hentikan Kekerasan. Saat ini kita melihat gambar anak-anak kecil yang dibunuh oleh tentara Myanmar. “Anak-anak ini tidak menyerang siapa pun, namun rumah mereka dibakar habis,” kata Malala, aktivis pendidikan asal Pakistan.
Pernyataan saya tentang #Rohingya krisis di Myanmar: pic.twitter.com/1Pj5U3VdDK
– Malala (@Malala) 3 September 2017
Malala mewakili perasaan jutaan orang di seluruh dunia yang saat ini berduka dan sedih atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Rakhine State, wilayah miskin dan gersang di bagian barat Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh.
Kekerasan bersenjata kembali mencapai puncaknya dalam dua minggu terakhir. Badan-badan kemanusiaan telah mencatat setidaknya 400 kematian. Sekitar 30.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri melintasi perbatasan untuk menghindari penganiayaan oleh militer.
(BA: LIHAT FAKTANYA, Siapakah Muslim Rohingya dan Mengapa Mereka Dipinggirkan?)
Anak-anak yang menjadi korban kekerasan di Rakhine termasuk anak perempuan. Sebuah survei yang dilakukan PBB menghasilkan angka yang mengejutkan. Lebih dari separuh gadis Muslim Rohingya terpaksa mengungsi ke negara lain untuk menikah dini. Mereka juga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Sebuah artikel yang diterbitkan oleh Thomson Reuters Foundation pada Mei 2017 menyajikan data dari badan pengungsi PBB, UNHCR. Sejak tahun 2012, kekerasan dan konflik komunal di Negara Bagian Rakhine telah memaksa lebih dari 168.000 etnis Muslim Rohingya, sebuah populasi minoritas di Myanmar, mengungsi ke negara lain. Ini termasuk perempuan dan anak-anak.
UNHCR melakukan survei terhadap 85 perempuan Rohingya yang melarikan diri dan terdampar di tempat penampungan di India, Malaysia dan india. Temuannya antara lain sekitar 60% anak perempuan dipaksa menikah dini sebelum usia 16-17 tahun. Rata-rata mereka melahirkan anak pertama pada usia 18 tahun.
“Satu dari tiga perempuan dan anak perempuan juga mengatakan bahwa mereka telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga,” laporan UNHCR tahun 2016 tentang Gerakan Campuran di Asia Tenggara.
“Kami berkonsultasi dengan mereka mengenai pilihan mereka, dan jika mereka setuju, kami merujuk mereka ke mitra atau tempat penampungan yang dapat merawat perempuan rentan ini,” kata juru bicara UNHCR Asia Vivian Tan.
Meningkatnya jumlah perempuan dan anak perempuan yang melarikan diri dari penganiayaan militer Myanmar dan terpaksa tinggal di tempat penampungan sementara meningkatkan potensi perdagangan manusia, eksploitasi seksual, dan pernikahan anak.
Data UNHCR menunjukkan sekitar 8.000 perempuan dan anak perempuan Rohingya berusia 14-34 tahun telah melarikan diri ke Indonesia dan Malaysia, negara tempat survei dilakukan tahun lalu.
Temuan lainnya adalah gadis-gadis Rohingya yang tinggal di India mempunyai posisi yang lebih baik karena mereka dapat memilih calon suami mereka. Sementara itu, 76% dari mereka yang mengungsi ke Malaysia mengaku harus menerima pernikahan yang diatur oleh keluarga atau calo mereka. Fenomena meningkatnya perdagangan manusia.
Para aktivis mengatakan mereka melihat adanya peningkatan jumlah pengantin anak di kalangan pengungsi Rohingya karena memburuknya kekerasan di negara bagian Rakhine. Pelaku perdagangan manusia menjual gadis-gadis Rohingya kepada laki-laki yang mencari calon istri.
Karena status mereka sebagai pengungsi berarti mereka tidak diperbolehkan bekerja di sektor formal, hanya 7% perempuan yang disurvei memiliki penghasilan untuk menunjang kehidupan mereka. Faktanya, dua pertiga responden mengaku menginginkan penghasilan sendiri.
UNHCR memperkirakan terdapat 420.000 pengungsi Rohingya di berbagai lokasi, termasuk di sejumlah negara. Sementara itu, jumlah orang yang diusir dari rumah dan desanya di Rakhine dan masih terdampar di wilayah tersebut berjumlah sekitar 120.000 orang.
Pada tahun 2015, muncul laporan meresahkan mengenai pengungsi Rohingya di Aceh Utara. Seperti diberitakan Koran Kompas, sebanyak enam pengungsi Rohingya di Shelter Bkang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, disandera dan dibunuh oleh sejumlah orang tak dikenal di kawasan Jalan Line Pipa, dekat shelter.
Dari enam orang yang ditahan, empat di antaranya mengaku menjadi korban pemerkosaan. – Rappler.com