Untuk menyelesaikan perselisihan Pilkada Serentak, Mahkamah Konstitusi harus mengupayakan keadilan yang substantif
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Mahkamah Konstitusi harus fokus dalam mengambil keputusan secara adil dan tidak terjebak pada batasan selisih suara dalam mengajukan perkara perselisihan pilkada
JAKARTA, Indonesia (UPDATED) — Perayaan demokrasi pemilihan kepala daerah serentak (pilkada) pada 9 Desember 2015 menyisakan 147 kasus perselisihan hasil pemilu di berbagai daerah.
Sebanyak 147 perkara tersebut kini telah ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai amanahnya UU (UU) No. 8 Tahun 2015 tentang pelaksanaan pilkada serentak.
Pada Senin 18 Januari, empat puluh daerah menerima keputusan tersebut pemecatan atau keputusan yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan kelengkapan administrasi perkara.
Dari 40 perkara yang dibacakan putusannya, sebanyak 35 perkara tidak dapat diproses lebih lanjut karena telah melewati batas waktu yang ditentukan, yakni 3 x 24 jam setelah penetapan hasil pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (GEC).
Sedangkan lima hal lainnya untuk Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Pesisir Barat dan Kabupaten Toba Samosir, permohonannya ditarik kembali oleh tergugat.
Dalam proses tersebut, Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta MK fokus mengambil keputusan yang seadil-adilnya dan tidak terjebak pada batasan minimal selisih suara.
“Mahkamah konstitusi harus menegakkan keadilan yang substansial, meskipun ada batasan perbedaan suara,” Titi Anggraini, direktur eksekutif Eludem, mengatakan kepada Rappler pada hari Senin.
Batasan yang dimaksud Titi diatur dalam UU No. 8 Tahun 2015.
Pasangan calon baru dapat mengajukan permohonan pembatalan hasil penghitungan suara ke Mahkamah Konstitusi, apabila jumlah suara yang mereka anggap bermasalah dalam sengketa tersebut dapat mengubah hasil akhir pilkada dengan selisih antara 0,5 hingga 2 persen dengan hasil yang ditentukan oleh partai (KPU).
Berikut rincian batasan pilkada provinsi dan kabupaten/kota:
Pemilihan provinsi:
- Bagi provinsi yang jumlah penduduknya mencapai 2 juta jiwa, sengketa hasil pemungutan suara diajukan apabila terdapat selisih paling banyak 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Provinsi.
- Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta sampai dengan 6 juta jiwa mengajukan perselisihan suara apabila terdapat selisih paling banyak 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Provinsi.
- Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6 juta sampai dengan 12 juta jiwa mengajukan perselisihan suara apabila terdapat selisih tidak lebih dari 1 persen dari penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Provinsi.
- Bagi provinsi yang jumlah penduduknya lebih dari 12 juta jiwa, sengketa hasil pemungutan suara diajukan apabila terdapat selisih paling banyak 0,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Provinsi.
Pemilihan umum kabupaten/kota:
- Kabupaten/Kota yang jumlah penduduknya mencapai 250.000 jiwa, mengajukan perselisihan suara apabila terdapat selisih paling banyak 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Kabupaten/Kota.
- Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sebanyak-banyaknya 250.000 jiwa sampai dengan 500.000 jiwa, sengketa perolehan suara diajukan apabila terdapat selisih paling banyak 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Kabupaten/Kota.
- Kabupaten/Kota yang jumlah penduduknya mencapai 500.000 jiwa sampai dengan 1 juta jiwa, sengketa perolehan suara diajukan apabila terdapat selisih paling banyak 1 persen dari penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Kabupaten/Kota.
- Kabupaten/Kota yang jumlah penduduknya lebih dari 1 juta jiwa, sengketa perolehan suara diajukan apabila terdapat selisih paling banyak 0,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Kabupaten/Kota.
— Rappler.com
BACA JUGA: