• November 28, 2024

Penggusuran museum anak-anak kita

YOGYAKARTA, Indonesia – Sekretaris Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga, Satiya Sawung bergegas menemui Rudi Corens. “Pak Rudi, kita harus pergi,” kata Rudi menirukan ucapan Satiya, Senin 10 Juli 2017.

Rudi Corens adalah pendiri museum pendidikan dan mainan Kolong Tangga. Museum ini terletak di lantai 2 gedung Taman Budaya Yogyakarta, tepat di bawah tangga menuju gedung konser.

Pada Senin, 3 Juli 2017, Satiya yang berada di museum menerima surat dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Taman Budaya Dinas Kebudayaan DIY. Surat tersebut ditandatangani Kepala Unit Diah Tutuko Suryandaru.

Isi surat tersebut menyebutkan kegiatan restorasi bangunan akan dilakukan mulai 3 Juli hingga 30 Oktober 2017. Dalam surat tersebut, pihak pengelola gedung meminta maaf jika pekerjaan perbaikan tersebut mengganggu kenyamanan selama pekerjaan perbaikan.

Satiya lalu menemui Diah. Diah dalam pertemuan itu mengatakan, dua tahun lalu museum tersebut seharusnya tidak lagi berada di bawah tangga Taman Budaya. “Kamu harus mulai berkemas,” kata Rudi menirukan perkataan Diah kepada Satiya.

Meski Rudi sadar museumnya harus dipindahkan. Padahal, pihak pengelola museum sudah berusaha mencari lokasi baru selama lima tahun. Meningkatnya jumlah koleksi museum membuat ruang pameran di bawah tangga semakin sedikit.

Dengan total koleksi mainan mencapai 18 ribu, pihak manajemen menerapkan sistem tukar menukar mainan. Beberapa koleksi dipajang di showroom, sedangkan koleksi lainnya disimpan di gudang RC Studio di Jalan Tirtodipuran Yogyakarta.

Upaya mendapatkan gedung baru untuk museum dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari mencari pendanaan ke donatur hingga mengirimkan proposal bantuan ke pemerintah DIY. Pada 3 Januari 2017 misalnya, pengelola museum melimpahkan permasalahannya ke Dinas Kebudayaan.

Namun tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk membantu. Pasalnya, hanya museum yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum yang dapat menerima bantuan negara. “Harus punya tanah dan bangunan sendiri,” kata Rudi mengacu pada kendala mendapatkan bantuan pemerintah.

“Museum tidak mungkin bisa memenuhi syarat tersebut,” kata Rudi. Uang tunai hilang, bantuan donor tidak dibayarkan. Sejak 6 tahun lalu, Rudi bahkan menghabiskan sisa tabungannya untuk operasional museum. Ia mengaku tak menyesal dan justru senang melihat museum anak mendapat apresiasi dari banyak kalangan. Apalagi di usia 84 tahun, “Saya tidak butuh uang sebanyak itu,” kata pria asal Belgia itu.

Satu hal yang mengecewakannya. Permintaan Taman Budaya agar museum segera dipindahkan terlalu mendadak. Tidak ada kesempatan bagi manajemen museum untuk mempersiapkannya.

Sore itu, Rappler Indonesia mencoba menemui Diah di kantornya. Tapi dia tidak ada di kamar. Seorang pegawai UPTD Taman Budaya mengatakan Diah sedang berduka. “Ayahnya meninggal kemarin,” katanya.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY Umar Priyono juga tidak bisa diwawancara karena sakit. “Masih dirawat di rumah sakit,” kata Wakil Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Singgih Raharjo.

Singgih mengatakan, pemerintah menaruh perhatian terhadap museum, baik milik pemerintah maupun swasta. Namun pemerintah tidak bisa memberikan bantuan kepada museum yang tidak memenuhi persyaratan undang-undang. Seandainya museum hanya mempunyai aset tanah, pemerintah bersedia membangun gedung untuk itu. “Aturannya kami terapkan,” ujarnya.

Permasalahan ini, lanjutnya, muncul karena adanya kendala komunikasi. “Saya tidak tahu hambatannya di mana, kami sedang mencari solusinya,” ujarnya.

Museum tidak mati

Rudi langsung menolak saat lensa kamera hendak memotretnya. “Koleksi dan anak-anak adalah pusatnya,” ujarnya sambil mengangkat telapak tangan menutupi wajah.

Di sebuah ruangan di gedung dua lantai kompleks RC Studio, disimpan berbagai mainan. Ada yang disusun dalam rak, tergeletak di lantai dan bersandar di dinding. Sebuah sepeda kayu terletak tidak jauh dari pintu masuk. Beberapa tahun lalu, Rudi membelinya dari dealer di Magelang, Jawa Tengah. Rupanya, kata dia, ia juga menemukan sepeda kayu serupa di sebuah negara di Afrika.

Tidak hanya sepeda kayu, permainan asal Indonesia lainnya juga memiliki banyak kemiripan dengan mainan dari benua lain. Diam adalah salah satunya. Berabad-abad yang lalu, alat serupa digunakan oleh orang Romawi.

Mainan tradisional asal Indonesia juga mempunyai banyak keunikan. Rudi kini memperlihatkan mainan berbentuk seng grong. Mainan ini berfungsi seperti gitar dengan senar terpasang. Sekilas mirip Sasando yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. “Saya beli mainannya di Wonosobo,” ujarnya.

Beberapa dari puluhan ribu mainan tersebut sebelumnya dipajang di Taman Budaya “Kolong Tangga” Yogyakarta. Sejak 4 Juli 2017, pengelola museum memindahkan mereka ke dalam satu ruangan. Dengan mobil penumpang, benda dipindahkan sedikit demi sedikit. Transportasi kesana kemari, ruang mobil secukupnya.

Rak dan lemari penyimpanan sementara tertinggal karena tidak muat di dalam mobil van. Pihak museum mengaku tidak mempunyai cukup dana untuk menyewa kendaraan yang lebih besar. Mereka ragu untuk memindahkan ribuan koleksinya.

Bagi Rudi, pindah dari Taman Budaya hanya tinggal menunggu waktu saja. Namun hati-hati dengan upaya penyelamatan koleksi museum. Mainan bukan sekedar mainan. Benda-benda tersebut mengandung nilai budaya, pendidikan dan merangsang pariwisata. Sayangnya, pemerintah tidak memperhatikan nilai tersebut.

Yang penting sekarang, katanya, museum tidak mati. Manajer sedang mencari tempat baru.

Rudi memulai Museum Kolong Tangga 9 tahun lalu. Setelah 30 tahun mengunjungi banyak negara di Asia, seniman teater, dosen dan pecinta mainan ini jatuh cinta pada Yogyakarta. Alasannya adalah kelucuan dan kepolosan anak. Berbekal koleksi mainannya dan sumbangan Rp 600 juta dari temannya asal Perancis, ia mendirikan museum mainan pada tahun 2008.

Lambat laun jumlah koleksinya bertambah. Museum ini juga mengadakan lokakarya untuk anak-anak, membuka perpustakaan dan menerbitkan majalah Marbles. Setiap bulannya setidaknya ada tiga sekolah yang mengundang siswanya untuk mengunjungi museum.

Untuk menampung museum tersebut didirikan sebuah yayasan yaitu Peaceful World Foundation. Nama Rudi tidak ada padahal dia adalah pendirinya. Mainan yang dia kumpulkan di sana juga bukan miliknya lagi. Semuanya disumbangkan untuk anak-anak dan museum. “Saya bukan pusatnya,” katanya. Akibatnya, dia menolak difoto. —Rappler.com