Indonesia dan Myanmar memiliki sejarah yang sama
- keren989
- 0
Jakarta, Indonesia – Pada Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Sri Lanka Sir John Kotewala mengundang Perdana Menteri Myanmar (sebelumnya Burma) U Nu. Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo dan Perdana Menteri Pakistan Mohammed Ali untuk pertemuan informal. Pertemuan tersebut didukung oleh kepala masing-masing negara.
Saat itu, Presiden RI Soekarno meminta Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyampaikan gagasan diadakannya konferensi Asia-Afrika di konferensi Kolombo. Soekarno menggarisbawahi, gagasan tersebut telah dipikirkan dan diungkapkan selama 30 tahun untuk membangun solidaritas Asia dan Afrika dan telah dibuktikan dengan gerakan nasional melawan kolonialisme penjajah.
Sebagai persiapan, pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan yang dihadiri perwakilan negara-negara di Asia, Afrika, dan Pasifik. Pertemuan tersebut dilaksanakan di Wisma Tugu Puncak, Jawa Barat, pada tanggal 9-22 Maret 1954. Mereka membahas gagasan-gagasan yang dibawa PM Ali Sastroamidjojo pada Konferensi Kolombo sebagai dasar pertimbangan Indonesia untuk kerja sama di kawasan Asia dan perluasan kawasan Afrika.
Konferensi Kolombo diadakan dari tanggal 28 April hingga 2 Mei 1954. Gagasan Indonesia ini mendapat banyak dukungan dari negara-negara yang hadir, meski masih ada yang ragu, gagasan perluasan kerja sama Asia-Afrika kemudian dituangkan dalam komunike akhir konferensi Kolombo.
Pada bulan Agustus 1954, PM Jawaharlal Nehru mengirimkan surat ke Indonesia. Ia meminta penyelenggaraan konferensi Asia-Afrika ditunda karena ketidakpastian kondisi dunia. Perdana Menteri India meragukan apakah konferensi tersebut akan sukses. PM Ali menanggapi surat tersebut dengan mengunjungi India pada 25 September 1954 untuk meyakinkan PM Nehru. Oleh karena itu, Nehru mendukung KAA yang diselenggarakan di Indonesia.
Dukungan yang sama juga diberikan oleh Perdana Menteri Myanmar U Nu pada 28 September 1954
Pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, atas undangan Perdana Menteri Indonesia, sejumlah Perdana Menteri yang hadir pada Konferensi Kolombo (Myanmar, Sri Lanka, India, Indonesia dan Pakistan) mengadakan pertemuan di Bogor untuk membahas persiapan KAA. . Pertemuan di Bogor berhasil merumuskan rancangan agenda, tujuan dan negara mana saja yang sebaiknya diundang ke KAA.
Kelima negara ini juga menjadi sponsor KAA yang diselenggarakan pada 18-24 April 1955. Presiden Soekarno memilih Bandung sebagai lokasi KAA.
Kelima negara sponsor juga membentuk sekretariat bersama. Roeslan Abdulgani, Menteri Luar Negeri, diangkat dari Indonesia.
Rangkaian peristiwa di atas dapat ditemukan dalam berbagai artikel terkait sejarah lahirnya Konferensi Asia Afrika. Myanmar, yang saat itu disebut Burma, nama suku mayoritas di sana, merupakan mitra terdekat pendukung Indonesia sejak awal. Dekat juga dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme, saat itu adalah kolonialisme Jepang.
Pada 24 April 2015, Presiden Myanmar U Thein Sein hadir HUT KAA ke-60 di Bandung.
Perjanjian antara Indonesia dan Myanmar
Berbagi kesamaan sejarah berlanjut kemudian dalam kondisi pasca-kolonial. Militer kedua negara mewarisi sejarah kolonialisme Jepang yang terobsesi dengan hukum, aturan main, disiplin, persatuan, dan integrasi wilayah. Hal tersebut menjadi landasan bagi organisasi intelijen di kedua negara untuk menjamin kelangsungan rezim, melemahkan posisi masyarakat sipil, mengontrol sumber daya ekonomi negara, melegitimasi fungsi politik militer melalui pengecualian konstitusi.
Sebuah artikel diterbitkan di situs web Hindu menggambarkan Perjalanan Indonesia dan Myanmar.
Kedua negara juga terdiri dari kelompok multietnis yang selalu dirundung potensi konflik suku, ras, dan separatisme.
Seperti halnya di Indonesia, nasionalisme juga tumbuh di Myanmar. Pada era Perang Dunia II, di Indonesia ada Tentara Pembela Tanah Air (PETA), di Myanmar ada Tentara Kemerdekaan Burma (BIA). Keduanya dikaitkan dengan kolonialisme anti-Jepang, meski direkrut dan dilatih oleh Jepang.
Persatuan dalam keberagaman selalu menjadi visi yang ditawarkan kedua negara segera setelah berakhirnya kolonialisme. Saat itu, Soeharto dan Aung San adalah pemimpin politik karismatik yang berupaya menghidupkan masyarakat heterogen dengan semboyan persatuan nasional.
Aung San adalah ayah dari Aung San Suu Kyi, yang sekarang menjadi Penasihat Negara Myanmar, dan pemimpin partai politik yang berkuasa di sana.
Tentara Indonesia lahir pada tahun 1945 untuk mendukung perjuangan revolusioner, yang sebagian besar dibentuk oleh anggota PETA, yang direkrut oleh Jepang pada tahun 1943 dari unsur-unsur nasionalis. Tentara memainkan peran penting dalam perang revolusi, yang juga tidak mempercayai kemampuan politisi sipil.
Baik di Myanmar maupun di Indonesia, militer memainkan peran penting dalam mencapai kemerdekaan, merembes ke seluruh kehidupan nasional, dan mengkonsolidasikan posisinya dengan mengendalikan administrasi pemerintahan, sektor bisnis, dan mendirikan partai politik yang didominasi militer.
Di pihak Myanmar, pasukan mereka dibentuk oleh berbagai elemen. Di era penjajahan Inggris, tentara Myanmar didominasi oleh rekrutan dari etnis minoritas, khususnya Karen. Pada Perang Dunia II, ketika kaum nasionalis Myanmar bergabung dengan tentara terlatih Jepang (BIA), yang awalnya berperang bersama tentara Samurai, banyak etnis minoritas yang bergabung dan berjuang demi kepentingan sekutu.
Ketika konflik komunal yang penuh kekerasan meletus antara etnis Burma dan suku Karen, para pemimpin militer Myanmar digulingkan. Jenderal Ne Win mengambil alih komando. Komposisi etnis memberikan jalan bagi etnis Burma untuk mendominasi, sedangkan etnis minoritas yang menentang situasi ini menjadi sasaran utama operasi militer Myanmar.
Mirip dengan Indonesia, negara ini terdiri dari berbagai suku, mengalami perang saudara pada tahun 1950-an dan tentaranya didominasi oleh orang Jawa.
Di Myanmar, kekacauan politik akibat konflik antar suku menyusul perjuangan kemerdekaan pada bulan April 948. Pada tahun 1958, PM U Nu mengundurkan diri, dan militer mengambil alih pemerintahan. Pemilu diadakan pada tahun 1960, dan partai politik yang didukung militer kalah. Militer melakukan kudeta dua tahun kemudian dan mengakhiri demokrasi parlementer, Jenderal Ne Win berkuasa.
Di Indonesia terdapat demokrasi parlementer yang disusul dengan penerapan demokrasi terpimpin oleh Sukarno, dan dilanjutkan dengan pemerintahan yang didukung oleh rezim militer yang dipimpin oleh Soeharto.
Dwifungsi
Pada tahun 1950-an, Panglima Angkatan Darat Kolonel Abdul Haris Nasution mengemukakan gagasan “Jalan Tengah” kekuatan tentara yang menggabungkan peran konvensional bela negara dengan partisipasi dalam pemerintahan. Setelah Sukarno lengser, gagasan ini dirumuskan dalam bentuk dwifungsi ABRI dan dilaksanakan di seluruh tingkat pemerintahan. Di Indonesia ada Golkar, sebagai wajah sipil rezim militer Suharto. Di Myanmar ada Persatuan Solidaritas Pembangunan Bersatu yang didirikan pada tahun 1993 oleh militer, yang kemudian bertransformasi menjadi Partai Persatuan Solidaritas Pembangunan (USDP) yang berpartisipasi pada pemilu 2010. .
Pada tahun 2008, warga negara Myanmar dipaksa untuk berpartisipasi dalam referendum yang hasilnya adalah legitimasi kekuasaan militer, parlemen, dan pemerintah.
Perbedaan kedua negara
Di Indonesia, keterlibatan militer dalam bisnis terjadi secara bertahap, seiring dengan konsolidasi politik. Di Myanmar, hal ini langsung terjadi. Hampir seluruh aset swasta diambil alih oleh perusahaan-perusahaan yang dijalankan oleh militer. Pengusaha tua, yang sebagian besar adalah etnis Tionghoa dan India, melarikan diri ke luar negeri, begitu pula orang-orang Myanmar yang cerdas.
Sebelum kudeta tahun 1962, Myanmar merupakan salah satu negara dengan standar hidup tertinggi di kawasan Asia Tenggara, dengan jumlah penduduk terpelajar. Setelah militer berkuasa, hanya elit mereka yang mempunyai akses terhadap pendidikan formal.
Perbedaan penting lainnya adalah rezim militer di Indonesia kemudian membuka diri terhadap ekonomi pasar bebas dunia melalui peran teknokrat dan kerja sama internasional. Sementara rezim di Myanmar masih menaruh curiga terhadap dunia luar.
Kebebasan pers di Indonesia juga lebih baik dibandingkan di Myanmar.
Kedekatan kedua negara melalui aktor dan pemimpin sejarah elit menjadi latar belakang mengapa Indonesia mendapat tempat khusus bagi rezim di Myanmar. Akses yang lebih baik, termasuk membantu Muslim Rohingya.
Myanmar baru-baru ini belajar banyak dari Indonesia untuk memasuki era demokrasi politik.
Namun Indonesia juga harus belajar dari apa yang terjadi di Myanmar, agar tidak terulang di negara Pancasila.
Karena kekuasaan dimanapun, kapanpun, mempunyai karakter yang sama. Pokoknya ingin tetap – Rappler.com