Mengurangi kemiskinan dari bawah
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Harus ada alternatif strategi dan langkah operasional untuk mempercepat pengentasan kemiskinan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan semakin menurun. Pada tahun 2010-2015, setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada penurunan kemiskinan sebesar 0,116%. Namun sejak 2013-2016, pertumbuhan ekonomi 1% hanya mampu menurunkan kemiskinan sekitar 0,059%.
Keadaan ini menekankan bahwa pengentasan kemiskinan – serta penanggulangan kesenjangan ekonomi – tidak bisa hanya bergantung pada pertumbuhan ekonomi makro saja. Salah satu penyebabnya adalah karena pertumbuhan yang terjadi lebih banyak berasal dari kegiatan di luar kelompok miskin itu sendiri, yaitu pertumbuhan yang datangnya “dari atas”. Kelompok miskin mendapat dampak – yang untungnya masih positif hingga saat ini – dari pertumbuhan yang lebih kecil.
Harus ada alternatif strategi dan langkah operasional untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, dan pada saat yang sama juga meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi agar lebih berdaya dalam mengatasi permasalahan sosial. Strategi dan langkah operasionalnya harus mampu mendorong pertumbuhan masyarakat miskin itu sendiri dengan meningkatkan produktivitas kegiatan ekonominya dan mengembangkan nilai tambah dari kegiatan ekonomi tersebut.
Prasyarat
Mengurangi kemiskinan dari dalam masyarakat miskin – atau mengurangi kemiskinan “dari bawah” – bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dalam semalam. Suntikan modal pada kegiatan ekonomi kelompok miskin akan sia-sia jika prasyaratnya tidak dipenuhi. Dan perbaikan kondisi ini harus menjadi bagian dari strategi pengentasan kemiskinan yang baru, yang berarti harus ada investasi yang cukup dalam hal ini.
Pertanian dan pedesaan dapat menjadi fokus perhatian utama, karena lebih dari 60% kemiskinan terjadi di pedesaan dan berkaitan dengan pertanian.
Pertama, perlu menumbuhkan keinginan kelompok miskin untuk keluar dari kemiskinan dengan upaya mereka sendiri. Semangat kemajuan dan kemandirian menjadi prasyarat mutlak untuk mengentaskan kemiskinan dari bawah. Jika keinginan dan semangat tersebut tidak ada maka yang terjadi adalah terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang hanya menginginkan dan meminta (bahkan memaksa) bantuan kepada pihak lain terutama pemerintah. Ditambah dengan jumlahnya yang cukup banyak, sikap minta tolong seperti ini bisa dengan mudah menjadi “bermuatan politik”.
Kedua, energi positif sosial yang terkait dengan keinginan untuk maju bersama dan mandiri yang pernah tumbuh subur di masyarakat harus dikembalikan. Semangat saling percaya, gotong royong, dan gotong royong dengan berbagai wujudnya seperti kerusuhan, arisan, jimpitan dan sebagainya harus dihidupkan kembali dan dikembangkan. Langkah-langkah yang sistematis, bertahap dan berwawasan waktu cukup mendesak untuk segera dimulai karena kebangkitan energi sosial tidak dapat dilakukan secara instan.
Ketiga, sejumlah besar kelompok miskin dan usaha skala kecil harus berorganisasi untuk melakukan pemberdayaan bersama. Koperasi, keuangan mikro, BUMDes atau lembaga lokal seperti Nagari dan Subak adalah contoh organisasi masyarakat yang konstruktif dan produktif. Dengan berorganisasi, keinginan untuk maju secara mandiri dan energi sosial yang terbentuk dapat diarahkan untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama.
Keempat, di era digital milenial, kelompok miskin perlu meningkatkan pemberdayaannya dengan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai. Toleransi terhadap kualitas yang tidak memenuhi permintaan konsumen semakin sulit diantisipasi. Proses produksi dan hasil kegiatan kelompok miskin semakin dituntut memiliki kualitas, konsistensi dan harga yang pantas.
Kelima, proses produktif kelompok miskin harus didukung agar menjadi bagian dari rantai pasok besar yang sudah ada atau akan berkembang di masa depan. Rantai pasok merupakan serangkaian kegiatan yang menghubungkan produsen dan konsumen serta berbagai subsistem di antaranya.
Teknologi dan sistem – khususnya teknologi informasi dan komunikasi – telah terbuka dan memudahkan siapa saja untuk memasuki rantai pasok. Namun hal ini tetap perlu dilakukan dan diperjuangkan.
Fokuskan perhatian
Jika prasyarat di atas bisa dikembangkan dan diperkuat, maka proses pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sebenarnya hanya akan setengah berhasil. Dan di negara berkembang yang tidak linier saat ini, hal ini dapat berjalan seiring dengan program utama.
Pertanian dan pedesaan dapat menjadi fokus perhatian utama, karena lebih dari 60% kemiskinan terjadi di pedesaan dan berkaitan dengan pertanian. Selain itu, dalam sejarah 40 tahun terakhir – terutama pada pertengahan tahun 1970an hingga tahun 1990an – telah terbukti bahwa perkembangan produktivitas petani miskin, petani kecil, dan buruh tani telah membuahkan dua hasil, yaitu menurunnya produktivitas petani miskin, petani kecil, dan buruh tani. kemiskinan dan pengurangan kesenjangan.
Meluasnya penyebaran penduduk miskin, terutama di wilayah pedesaan, membuat penanganan terhadap mereka tidak bisa – dan tidak boleh – diserahkan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah. Organisasi masyarakat (CSO) dan lembaga swadaya masyarakat dapat terlibat aktif atas inisiatif sendiri, namun akan lebih baik jika bekerjasama dengan pemerintah.
Apalagi permasalahan kemiskinan dan ketimpangan bukan hanya menjadi permasalahan masyarakat miskin dan kurang mampu saja, namun menjadi permasalahan kita semua. Kita semua tanpa terkecuali juga harus berusaha mengatasinya. —Rappler.com
* Pengarang adalah Dosen Agribisnis IPB/Pembina Yayasan Bina Swadaya/Ketua Umum Asosiasi Ekonomi Pertanian Indonesia/Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag)/Mantan Wakil Menteri Pertanian.