Mengapa pemotongan klitoris wanita sangat umum terjadi di Indonesia
- keren989
- 0
Persepsi bahwa perempuan harus disunat seperti laki-laki, serta keyakinan agama, tekanan sosial dan dorongan dari para profesional kesehatan menjadi penyebab meluasnya praktik mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) di Indonesia, demikian ungkap penelitian baru.
Penelitian yang dilakukan oleh Hivos Southeast Asia, sebuah organisasi yang berfokus pada pembangunan global, dan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas di Universitas Indonesia, menemukan bahwa di antara para ibu yang melakukan prosedur FGM pada anak perempuannya, 97,1% percaya bahwa sunat adalah sebuah tindakan yang tidak baik. keharusan bagi pria dan wanita. Jumlah responden yang hampir sama juga mengatakan bahwa mereka yakin praktik tersebut memiliki dasar agama yang kuat, dan mereka melakukannya karena dianggap sebagai tradisi budaya yang dilakukan oleh sebagian besar orang yang mereka kenal.
Penelitian yang dipublikasikan minggu lalu menemukan bahwa hingga 61% anak perempuan telah mengalami mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) sebelum usia satu tahun. Hal ini juga mengidentifikasi persepsi umum bahwa anak perempuan yang tidak disunat akan dikucilkan karena mereka dianggap kotor dan akan tumbuh menjadi orang yang bebas pilih-pilih dan tidak diinginkan.
Laporan ini didasarkan pada wawancara mendalam, tinjauan literatur, diskusi kelompok terfokus dan survei yang dilakukan di Medan, Sumatera Utara; Sumenep, Jawa Timur; Ketapang, Kalimantan Barat; Bima, Nusa Tenggara Barat; Polewali Mandar, Sulawesi Barat; Gorontalo; dan Ambon, Maluku. Penelitian yang dilakukan pada Januari 2015 hingga April 2015 ini melibatkan 700 responden, setengahnya adalah ibu-ibu yang melakukan prosedur FGM pada putrinya. Separuh sisanya tidak memilih prosedur tersebut.
Pengetahuan yang tidak memadai
WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menentukan mutilasi alat kelamin perempuan (dikenal sebagai “sunat perempuan” di Indonesia) sebagai praktik yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan pendarahan hebat, gangguan buang air kecil, infeksi dan banyak komplikasi lainnya, namun tidak memiliki manfaat kesehatan sama sekali. Praktik tersebut dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia bagi anak perempuan dan perempuan.
Namun penelitian tersebut mencatat bahwa hingga 90% ibu di Indonesia percaya bahwa FGM akan membuat anak perempuan mereka lebih sehat. Sebanyak 84,6% juga percaya bahwa mutilasi alat kelamin perempuan dapat membuat vagina anak perempuan mereka lebih bersih, 55,4% percaya bahwa hal itu akan meningkatkan kesuburan anak perempuan mereka, dan 54,6% percaya bahwa hal itu akan mengendalikan gairah seks anak perempuan mereka.
Selain asumsi yang salah mengenai dampak FGM terhadap kesehatan, para responden melakukan FGM karena keyakinan agama dan tekanan sosial. Sebanyak 88% responden percaya bahwa tidak menyunat anak perempuan mereka akan menjadikan mereka berdosa, dan sebanyak 36% percaya bahwa FGM akan memudahkan anak perempuan mereka mendapatkan suami.
Berdasarkan latar belakang pendidikan, ibu yang melakukan sunat pada anak perempuannya terbanyak adalah lulusan SMA sebesar 32,3%, disusul oleh lulusan SD sebesar 26,6%, dan lulusan SMP sebesar 23,7%. Setidaknya 9,4% ibu yang melakukan FGM memiliki gelar sarjana.
Prosedur berbahaya
Setengah dari ibu yang putrinya disunat percaya bahwa prosedur tersebut melibatkan melukai ujung klitoris. Sekitar 36,6% menganggap FGM sebagai pemotongan sebagian kecil klitoris, 9,1% meyakini tindakan ini melibatkan pembersihan klitoris dengan antiseptik, dan 1,1% menganggap FGM sebagai penindikan atau penggoresan pada vagina.
WHO mengkategorikan FGM menjadi 4 jenisdua di antaranya umum dilakukan di Indonesia.
Salah satu praktik yang umum dilakukan di Indonesia adalah klitoridektomi, yaitu pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris atau lipatan kulit di sekitar klitoris (kulup). Di Indonesia dapat ditemukan di Bima, Nusa Tenggara Barat, yang prosedurnya berupa pemotongan ujung klitoris yang mereka sebut “kami juga.” Di wilayah lain di negara ini, seperti Ambon, prosedur yang sama melibatkan pemindahan sebagian sebesar “bibit padi” (sebutir beras).
Bentuk FGM yang paling umum terjadi di Indonesia, ditemukan di 6 dari 7 wilayah yang disurvei, dan dikategorikan oleh WHO sebagai tipe 4. Caranya dengan melukai vagina hingga mengeluarkan sedikit darah, menggores klitoris hingga terlihat darah di permukaannya, atau menjepit klitoris dengan pisau kecil untuk mengeluarkan bagian putihnya.haram” berbagi – sebuah praktik yang disebut “siku kodo“.
Selain kedua hal tersebut, sunat perempuan di Indonesia hanyalah praktik “simbolis” yang tidak melibatkan pemotongan vagina – praktik seperti menyeka klitoris dengan kapas dan mengoleskan kapas dengan antiseptik untuk melambangkan darah, praktik yang umum dilakukan di Kalimantan Barat dan Jawa Timur. . Di Gorontalo, prosedurnya melibatkan sentuhan klitoris dengan pisau kecil; di beberapa daerah bahkan tidak ada sentuhan pada alat kelamin.
Lebih dari separuh prosedur FGM dilakukan oleh bidan (bayi dukun) dan seperempatnya selesai dukun sunat (dukun sunat), sementara 17 persen bidan dan 0,9 persen dokter melakukan prosedur ini, menurut penelitian.
Bahayanya terletak pada kenyataan bahwa alat yang digunakan untuk melakukan prosedur tidak selalu higienis.
Pisau, silet
Dr Johanna Debora Imelda, anggota tim peneliti Pusat Kajian Gender dan Seksualitas UI, menyebutkan beberapa alat yang digunakan dalam prosedur tersebut, mulai dari pisau kecil, silet hingga gunting alis.
“Pisau kecil yang digunakan biasanya dianggap keramat, sehingga bertahun-tahun tidak dicuci, dan seringkali berakhir berkarat,” ujarnya saat peluncuran laporan.
Dalam laporan tersebut, seorang gadis asal Bima menceritakan pengalamannya: “Saya berumur 6 tahun dan saya merasa sangat takut hingga menangis. Aku tidak punya keberanian untuk melihatnya. Dua hari berdarah, jadi saya berobat dengan obat tradisional. Lalu saya disuruh mandi di laut. Setelah disunat, rasanya nyeri saat buang air kecil.”
Dia mengenang pengalaman teman-temannya: “Salah satu teman saya terlalu takut sehingga dia banyak bergerak selama proses tersebut. Dia mengeluarkan banyak darah seperti wanita yang sedang melahirkan. Ada lagi yang takut untuk melakukannya setelah mendengar pengalaman orang lain, sehingga orang tuanya membujuknya dengan membelikannya hadiah agar dia menyetujui prosedur tersebut,” jelas gadis tersebut.
Sosial dan budaya
Johanna mengatakan praktik FGM sudah tertanam kuat dalam budaya Indonesia, meski sunat perempuan tidak disebutkan dalam Alquran. Studi ini menemukan bahwa masyarakat menganggap praktik ini sakral dan merupakan tanggung jawab orang tua untuk menyunat anak perempuan mereka.
Dukungan dan tekanan dari keluarga, tetangga, tokoh agama, dan praktisi kesehatan turut berperan dalam keputusan seorang ibu untuk menyunat anak perempuannya.
Seringkali nilai-nilai perempuan menentukan apakah dia disunat atau tidak. Akan ada sanksi sosial bagi siapapun yang melanggar praktik tersebut. Laporan tersebut menjelaskan bagaimana berbagai masyarakat mempraktikkannya.
Di Poliwali Mandar dan Sumenep misalnya, perempuan yang tidak disunat diberi tanda promantis dan mungkin memiliki gairah seks yang tinggi. Mereka juga percaya bahwa perempuan yang tidak disunat berisiko menjadi pekerja seks. Di Ambon, perempuan yang tidak disunat tidak diperbolehkan masuk masjid, salat, atau membaca Alquran. Di Bima, tidak ada laki-laki yang mau menikah dengan perempuan yang tidak disunat.
Riri Khariroh, komisaris Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komisi Nasional Perempuan), saat meluncurkan laporan tersebut, mengatakan bahwa penghapusan praktik FGM di Indonesia memerlukan definisi ulang istilah tersebut untuk melepaskan kaitannya dengan agama.
“Kita perlu mengubah istilahnya”sunat perempuan‘ (sunat perempuan) karena ‘sunat’ mempunyai kaitan dan keterkaitan yang kuat dengan religiusitas sehingga sulit dihilangkan. Kita harus mulai menggunakan istilah ‘cedera alat kelamin wanita‘ (mutilasi alat kelamin perempuan) sebagai gantinya,” katanya. – Rappler.com
BACA SELENGKAPNYA:
Artikel ini pertama kali diterbitkan pada Magdalena. Situs ini mendorong perempuan penyandang disabilitas untuk melakukan hal tersebut klaim kembali hak seksual mereka.
Ayunda Nurvitasari memperoleh gelar Sarjana Studi Bahasa Inggris dari Universitas Indonesia dan saat ini sedang menempuh studi Magister Studi Budaya di universitas yang sama. Ia senang menulis fiksi, menonton serial TV, dan membaca sastra Indonesia. Bangunkan dia Twitter atau Facebook.