Sertifikasi Pakaian Halal, Perlukah?
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Baru-baru ini, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin mengusulkan agar semua produk pakaian harus bersertifikat halal. Keinginan tersebut merujuk pada UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Namun, para pebisnis mempunyai suara berbeda mengenai hal ini. Apa yang mereka katakan?
Tidak cocok untuk kondisi perekonomian
Roy Nicholas Mande, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), mengatakan perekonomian Indonesia belum pulih dari keterpurukan tahun lalu.
Padahal Februari-Maret lalu baru turun lagi, kata Roy, Rabu, 30 Maret di Jakarta.
Sertifikat halal, khususnya bagi industri menengah dan besar, tidak diperoleh secara cuma-cuma. Artinya pengusaha harus mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkannya. Kalau melihat kondisi perekonomian saat ini, mereka jelas enggan.
Beban tambahan ini juga akan menghambat pertumbuhan usaha kecil yang sedang berkembang. Menurut Roy, sebaiknya menunggu hingga perekonomian kembali normal sebelum MUI dan pemerintah mempertimbangkan sertifikasi halal produk pakaian.
“Saat ini menurut saya itu tidak mendesak,” kata Roy.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Suryadi Sasmita mencermati perkembangan perekonomian global. Salah satunya perekonomian Indonesia memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) dan perdagangan bebas.
Arus barang dari negara lain akan semakin membanjiri pasar dalam negeri. “Jumlahnya bisa triliunan, tentu sulit untuk memantau asal-usulnya, serta bahan-bahannya satu per satu,” kata Suryadi.
Selain itu, sistem penjualannya juga sudah merambah ke online on line. Persyaratan sertifikasi tentu sangat sulit. Suryadi berpesan kepada pemerintah untuk memastikan pajak atas barang-barang tersebut menjadi fokus pemerintah, bukan halal atau tidaknya.
“Kalau pajak masuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Tidak ada tuntutan, bahkan bisa menjadi monopoli
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesoris Indonesia Poppy Dharsono mengatakan, kegiatan usaha sandang berjalan lancar meski tanpa sertifikat halal. Menurut dia, sebagian besar negara tujuan ekspor tidak mempermasalahkan halal atau tidak.
“Mereka sebenarnya lebih mementingkan materi. “Seperti jika dikatakan 35 persen katun atau poliester, itulah yang mereka cari,” kata Poppy.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Persatuan Sepatu Indonesia Sigit Murwito melihat ada masalah baru. Sertifikasi ini bukan lagi persoalan halal atau tidaknya suatu barang dalam konteks agama.
Padahal, untuk tujuan komersil, mencari pasar, kata Sigit.
Pemegang sertifikasi halal ini dapat memanfaatkannya untuk menyerang pesaing bisnisnya. Salah satu contoh nyata terjadi awal bulan lalu yang dilakukan seorang pemilik merek hijab.
Dari kejadian itu, ia melihat bahwa tujuan sertifikasi bukan lagi untuk melindungi umat Islam. Dampak-dampak tersebut harus dipertimbangkan.
Poppy menambahkan, saat ini sertifikasi hanya boleh untuk produk pangan. Dari pengalamannya di dunia sandang dan tekstil selama 39 tahun, ia memastikan produk rumah tangga terbuat dari bahan halal.
“Produk lokal buatan produsen muslim sudah pasti halal. “Aku belum pernah menemukannya,” kata Poppy.
MUI tidak mau disalahkan dan menyerahkan sertifikasi pada kepentingan dunia usaha
Menanggapi hal tersebut, Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI Osmena Gunawan menyayangkan pemikiran masyarakat dan pengusaha yang cenderung negatif. Padahal, MUI mengutarakan hal tersebut karena mengikuti undang-undang.
“Sebenarnya sudah lama sekali, kenapa sekarang banyak sekali?” kata Osmena.
Mengenai dampak ekonomi, Osmena punya pandangan berbeda. Menurutnya, sertifikasi halal sebenarnya bisa menjadi keuntungan bagi produk Indonesia.
Osmena mengatakan trik ini digunakan oleh produsen barang Korea Selatan, Jepang, dan Vietnam. Produk mereka bersertifikat MUI.
Katanya, lebih mudah menembus pasar karena bahannya aman, kata Osmena menirukan ucapan sang produsen.
Ia menyayangkan pengusaha Indonesia tidak melihat peluang tersebut. Bahkan, dia tidak peduli jika sertifikasi ini digunakan untuk keperluan bisnis di kemudian hari.
Tidak diperlukan untuk semua produk
Osmena juga membantah MUI dan pemerintah akan mewajibkan sertifikasi pakaian di kemudian hari. Menurutnya, pengujian halal dari hulu hingga hilir hanya diperuntukkan bagi mereka yang membubuhkan label halal pada produknya.
Kalau tidak, tidak perlu, katanya.
Anggota Komisi VIII DPR Arzetti Bilbina juga mengatakan pemerintah harus menyederhanakan proses sertifikasi halal agar sesuai dengan undang-undang.
“Seperti memberikan insentif dan kemudahan bagi UKM yang ingin memasang label halal,” kata Arzetti.—Rappler.com
BACA JUGA: