Kisah umat beriman yang masih mengalami diskriminasi
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Penganut agama masih dipaksa mengikuti ajaran salah satu dari lima agama dan kepercayaan yang diakui pemerintah.
JAKARTA, Indonesia – Umat beriman terus mengalami permasalahan di Indonesia. Seringkali mereka menemui jalan buntu ketika mengurus segala sesuatu yang memerlukan dokumen administrasi.
Sebab, pemeluknya tidak menganut salah satu dari lima agama dan kepercayaan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1956, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Padahal, kepercayaan yang bersumber dari ajaran nenek moyang nusantara sudah ada jauh sebelum enam agama tersebut hadir di Indonesia.
Fakta tersebut disampaikan Sri Sulastri Hardi, Koordinator Sapta Perempuan
Dharma. Sri mengatakan, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap keberadaan penganut agama membuat mereka kerap mendapat perlakuan diskriminatif, terutama dari kelompok intoleran.
“Ada sekelompok orang yang tidak pernah mengetahui apa itu apresiasi. Siapa pengamatnya? Mereka sering menyamakan kami dengan orang-orang tua yang memakai blangkon dan udeng. Namun, bukan itu masalahnya. Kami (umat beragama) adalah orang yang suka menyembuhkan penyakit. “Penyakit ini bisa menjadi penyakit jiwa atau rohani yang disembuhkan sehingga menjadi mulia,” kata Sri pada Acara Solidaritas Keagamaan Anggara Kasih di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada Senin malam, 24 April.
Perlakuan tidak adil terhadap orang-orang beriman dimulai sejak mereka masih anak-anak. Misalnya, ketika mereka bersekolah, mereka diharapkan mengikuti pelajaran agama tertentu. Faktanya, mereka dibesarkan sebagai orang percaya oleh keluarga mereka.
Meski demikian, secercah harapan kini mulai muncul dengan dirilisnya game tersebut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 27 Tahun 2016 yang isinya menjamin anak apresiasi dapat mengikuti pendidikan apresiasi. Namun dalam praktiknya, masih banyak sekolah yang belum mengetahui dan melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.
Maka Sri dan Organisasi Majelis Kepercayaan Tertinggi Kepada Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah.
“Yang kami lakukan, kami bersama pengurus MLKI mengunjungi sekolah-sekolah dan menjelaskan bahwa anak-anak yang semangat bisa mengikuti pendidikan spiritual,” kata Sri.
Sementara itu, Ulfi Ulfiah dari Lembaga Pengkajian dan Advokasi PBNU mengatakan, pihaknya sedang berupaya melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2016 tentang Administrasi Kependudukan karena banyaknya permasalahan akibat dihilangkannya kolom agama pada KTP orang yang beriman. Permasalahan yang dihadapi antara lain sulitnya mencari pekerjaan dan sulitnya pemakaman jenazah di tempat pemakaman umum (TPU).
Dalam diskusi tersebut, Ulfi juga menyinggung pentingnya peran perempuan sebagai aktor pelestarian nilai-nilai agama atau keyakinan sebagai jalan menuju Tuhan.
“Mereka dikatakan aktor karena perempuan adalah individu yang paling dekat dengan tradisi keagamaan. Berbagai tradisi keagamaan, salah satunya adalah perayaan keagamaan. “Peran tangan perempuan di dalamnya tidak bisa dihilangkan,” ujarnya.
Sedangkan dalam lingkungan keluarga, perempuan merupakan agen pengasuhan yang berperan besar dalam menanamkan pengetahuan tentang nilai-nilai ketuhanan kepada anak-anaknya. Penularan ilmu harus menggunakan metode yang tepat agar makna ilmu agama dan ketuhanan dapat dipahami oleh anak.
Kegiatan Anggara Kasih merupakan salah satu program Direktorat Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bekerja sama dengan TMII. Kegiatan ini dilaksanakan sebulan sekali pada hari Senin malam.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan ruang bagi umat beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk saling bertukar informasi guna meningkatkan persatuan di antara mereka. – Rappler.com