Adik Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Kueslah jatuh cinta pada budaya Rusia dan kemudian menerjemahkan beberapa karya sastra Rusia ke dalam bahasa Indonesia. Kueslah juga memimpin YPKP untuk korban ketidakadilan peristiwa 1965.
JAKARTA, Indonesia – Salah satu penulis Indonesia, Koeslah Soebagyo Toer, meninggal dunia pada Rabu 16 Maret. Ia meninggal dunia di RS Graha Depok pada pukul 08.30 WIB.
Rencananya jenazah akan dimakamkan di rumah duka di Jalan Kemiri Muka Depok.
“Kami keluarga besar Yayasan Penelitian Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (YPKP HAM) meminta maaf jika ada kesalahan dan dosa yang beliau lakukan selama hidup di muka bumi,” kata perwakilan keluarga dalam pesan singkat yang diterima Rappler, Rabu, Maret. memiliki. 16.
Pria yang meninggal di usia 81 tahun ini diketahui memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kakak laki-lakinya, Pramoedya Ananta Toer. Ia bahkan menulis dua buku tentang Pramoedya berjudul “Pramoedya Ananta Toer van Sangat Dekat: Catatan Pribadi Koeslah Soebagyo Toer” dan “Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer”.
Lahir di Blora, Jawa Tengah pada 27 Januari 1935, Kueslah menempuh pendidikan program studi Bahasa Inggris di Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, meski tidak lulus. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Moskow, Rusia pada Fakultas Sejarah dan Filologi Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1960-1965.
Sejak merasakan pengalaman hidup di Rusia, Kuslah sepertinya sudah jatuh cinta dengan negara berjuluk Tirai Besi itu. Dari tahun 1965 hingga 1967 Kueslah menjadi dosen bahasa Rusia di Akademi Bahasa Asing (ABA).
Soal kecintaannya pada budaya Rusia, ia pernah mengakuinya secara langsung. Menurutnya, masyarakat Rusia sangat filosofis dan tidak pragmatis.
“Orang Rusia banyak berpikir. Berbeda dengan masyarakat Eropa lainnya yang pragmatismenya menonjol. “Rusia lebih filosofis dan mendalam,” kata Koelah.
Memiliki kemampuan fasih berbahasa Rusia, Kueslah mampu menerjemahkan beberapa karya sastra negara tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa yang sudah diterjemahkan adalah Dead Souls (karya Nikolai Gogol), Anna Karenina (karya Leo Tolstoy) dan Confession: A Collection of Short Stories (karya Anton Chekhov).
Untuk menerjemahkan sastra Rusia, Kueslah mengaku butuh waktu satu hari untuk satu kalimat. Jadi dibutuhkan rata-rata tiga tahun untuk menerjemahkan keseluruhan cerita.
Atas dedikasinya terhadap karya sastra Rusia, pemerintah Negeri Beruang Merah memberinya Medali Pushkin. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Direktur Pusat Sains dan Kebudayaan Rusia Kedutaan Besar Rusia, Glinkin Vitaly di kediaman Kueslah pada 20 Oktober 2015.
“Ini merupakan kerja sama nyata pemerintah Rusia di Indonesia dan merupakan kekayaan budaya dunia,” kata Vitaly.
Pada tahun 1968-1978 Kueslah menjadi tahanan politik pada masa Orde Baru. Ia diduga terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September.
Kueslah dalam kesaksiannya mengaku ditangkap sebanyak tiga kali oleh tentara. Pertama, pada 6 Oktober 1965, ditangkap Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) di kawasan Rawamangun. Dia diinterogasi selama beberapa jam, tapi dia dibebaskan.
Kedua, ia ditangkap pada 13 Oktober 1965 bersama Pramoedya oleh prajurit Kodam Jaya. Kueslah dibawa ke pemeriksaan khusus oleh Kodam Jaya. Namun karena Pramoedya mengaku baru pulang dari luar negeri, beberapa hari kemudian Kueslah kembali bebas.
Meski sudah dibebaskan, Kueslah harus melapor setiap dua hari selama itu. Berbagai benda seperti mesin tik, naskah terjemahan, hingga sepeda motor juga dirampas paksa pihak tentara.
Penangkapan ketiga terjadi pada tanggal 3 Desember 1968 oleh tim operasi pemukul Kodam Jaya. Dia dibawa ke Markas Operasi Kalong di Jalan Gunung Sahari V. Saat ditahan, ia mendengar bahwa tahanan lain disiksa dengan cara yang tidak manusiawi, termasuk dipukuli dan disetrum.
Ia baru dibebaskan pada tahun 1978 meski harus berjanji tidak akan menyebarkan Marxisme dan Leninisme serta tidak mengkhianati pemerintah atau negara Indonesia.
Melalui Yayasan Penelitian Korban Pelanggaran HAM (YPKP HAM) yang dipimpinnya, Kueslah mencari keadilan bagi korban ketidakadilan peristiwa G30S. – Rappler.com
BACA JUGA: