Keluarga menyerukan keadilan untuk Siyono, evaluasi untuk Densus 88
- keren989
- 0
Jakarta, Indonesia – Keluarga Siyono, terduga teroris yang tewas setelah ditangkap Cabang Khusus (Densus 88), meminta otopsi independen terus dilakukan. Hingga saat ini, autopsi jenazah pria berusia 34 tahun tersebut masih menjadi kontroversi tersendiri.
Proses otopsi ini akan dilakukan di RS Muhammadiyah oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
“Ada dua kekuatan pendorong. Pertama, permintaan pihak keluarga, dan Kapolda sendiri yang mengabulkannya, kata Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution, Jumat, 1 April 2016, di Jakarta.
Sebelumnya, otopsi sendiri dijadwalkan dilakukan pada Rabu pekan lalu. Namun sejumlah warga Desa Pogung, Klaten, tempat tinggal keluarga Siyono, menolak rencana tersebut. Jika terus berlanjut, mereka akan melarang jenazah Siyono dikuburkan kembali di desa, bahkan akan mengusir keluarga pendukungnya.
Polisi sendiri juga tampak enggan melakukan otopsi terhadap jenazah Siyono. Bahkan, sejumlah pelanggaran HAM diyakini telah dialami Siyono sebelum meninggal dunia.
Luka di tubuh Siyono tidak wajar jika dikatakan karena membela diri, kata aktivis KontraS Putri Kanesia. Hasil pemeriksaan tim KontraS sepekan lalu juga menunjukkan ada kejanggalan dalam prosedur penangkapan Siyono.
Kesalahan prosedur hingga penyiksaan berlebihan
Pertama, saat tim Densus 88 menjemput Siyono pada 8 Maret, mereka tidak membawa salinan surat perintah penggeledahan. Menurut Putri, hal itu penting ditonjolkan karena ada prosedur yang tidak dijalankan.
Kedua, setelah ditangkap, pihak keluarga tidak mendapat informasi kemana Siyono dibawa untuk diinterogasi. Saat itu, Siyono hanya ditemani satu orang. Kabar duka baru mereka dapatkan saat jenazah Siyono dikembalikan dalam keadaan terbalut kain kafan. tidak memperoleh rekam medis atau pemeriksaan visum tentang penyebab kematiannya.
Ketiga, kondisi tubuh Siyono yang tidak normal. Pihak keluarga melihat wajahnya lebam serta patah tulang pipi dan hidung. Terdapat bekas pukulan di bagian belakang kepalanya yang masih mengeluarkan darah. Betis dan pahanya juga terluka parah.
Putri mempertanyakan tata cara menghadapi Siyono. Statusnya masih tersangka, belum jadi tersangka, tidak seharusnya diperlakukan seperti itu. “Jangan melakukan pelanggaran HAM, apalagi jika hanya diduga meninggal,” ujarnya.
Tindakan seperti ini justru mempersulit kinerja Densus. Pasalnya, orang-orang yang mereka tangkap meninggal dengan cepat sebelum mereka sempat memberikan informasi mengenai jaringan teroris yang mereka bidik. “Kapan hal itu akan terungkap?” dia menambahkan.
Momen evaluasi kinerja Densus
Siyono bukanlah terduga teroris pertama yang tewas di tangan Densus. Konas HAM mencatat, sudah ada 120 orang yang bernasib sama dengan Siyono.
Menurut Miko Ginting, Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan (PSHK), meninggalnya Siyono merupakan momen penting untuk mengevaluasi kinerja penanganan terorisme.
Tata cara tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2003, ujarnya. Kedua aturan tersebut mengatakan tidak ada tindakan yang harus diambil kecuali sesuai dengan hukum.
Status Siyono yang saat itu masih tersangka tidak masuk dalam nomenklatur hukum. “Kalau ada tersangkanya harus ada bukti permulaannya dulu,” ujarnya.
Arif Maulana dari LBH Jakarta mengatakan meski tujuan negara dalam menanggulangi terorisme baik, namun prosedur di luar hukum tidak bisa ditoleransi. “Artinya sama melawan kejahatan dengan kejahatan. “Perlu prinsip yang adil bagi Siyono,” ujarnya.
Dalam Peraturan Kapolri Nomor 28 Tahun 2009, terdapat aturan yang melarang polisi menggunakan kekerasan terhadap tersangka, bahkan tersangka. Selain itu, mereka juga wajib menyampaikan informasi mengenai penahanan atau penggeledahan tersangka kepada pihak keluarga.
Di sini semua institusi sepakat tidak mendukung terorisme. “Yang kami bela bukan orangnya, tapi proses hukumnya,” kata Arif.
Muhammadiyah memperjuangkan keadilan
Sementara itu, Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anjar Simanjuntak mengaku akan terus membantu keluarga Siyono mendapatkan keadilan. Istri almarhum, Suratmi, saat ini berada dalam perlindungan ormas tersebut. Kediaman mendiang Siyono dijaga secara bergilir oleh pemuda Muhammadiyah untuk menjamin keamanan Suratmi.
Menurut Dahnil, Suratmi dan keluarganya mendapat ancaman dari warga desa lain yang menentang otopsi jenazah Siyono. Dua gumpalan uang yang diyakini sebagai ‘suap’ pelaku pembunuhan Siyono agar keluarga berpaling juga ada di tangan mereka.
“Tapi kami tidak membukanya. Jadi tidak benar ada yang membagikan sejumlah Rp 200 juta. Kami tidak tahu,” katanya. Belakangan, polisi mengaku uang tersebut merupakan bentuk belasungkawa dari mereka.
Ia memastikan akan terus memeriksa jenazah Siyono. Enam ahli forensik dari Universitas Muhammadiyah dan rumah sakit di Jawa Tengah dan Yogyakarta akan melaksanakannya.
Kepada Dahnil, Suratmi mengungkapkan tekadnya untuk mendapatkan keadilan bagi suaminya.
“Saya mencari keadilan dan saya percayakan usaha saya kepada Muhammadiyah. Kalaupun nanti saya harus diusir (dari kota) karena urusan saya, bumi Allah maha luas, Mas. “Belum dilakukan otopsi,” dia mengulangi ucapan Suratmi. Muhammadiyah juga menyatakan siap menampung Suratmi dan keluarga jika terpaksa meninggalkan Desa Pogung.
Bagi Muhammadiyah, hal ini bukan hanya terjadi pada Siyono. Juga bagi 120 orang lainnya yang dieksekusi tanpa proses hukum. Meski demikian, pihak berwenang tidak boleh menutup mata terhadap hak asasi seseorang. Misteri kematian akan menjadi luka tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkan.-Rappler.com
BACA JUGA: