• November 25, 2024
Terkait kasus Ahok, dua ahli hukum berbeda pendapat

Terkait kasus Ahok, dua ahli hukum berbeda pendapat

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Todung Mulya Lubis menilai unsur pidana dalam pasal 156 yang didakwakan JPU kepada Ahok tidak terpenuhi

JAKARTA, Indonesia – Praktisi hukum Todung Mulya Lubis meyakini Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama tidak melakukan penodaan agama. Vonis terhadap Todung didasarkan pada tuntutan JPU yang tidak memuat pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama.

Namun Jaksa tetap menyatakan Ahok memenuhi unsur pidana pasal 156 KUHP, kata Todung secara tertulis, Senin, 8 Mei 2017. Menurut Todung, unsur pidana yang disebutkan jaksa tidak benar-benar terpenuhi.

Sebab, lanjut Todung, unsur terpenting yang harus dipenuhi dalam tindak pidana pasal tersebut adalah perbuatan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau lebih kelompok masyarakat Indonesia berdasarkan ras, negara asal, agama, tempat, asal usul, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum negara.

Dalam masa keterangannya, sejumlah saksi ahli berpendapat komentar Ahok terhadap Surat Al-Maidah 51 ditujukan kepada ‘elit politik’. Hal ini juga tertuang dalam bukunya tahun 2008 berjudul ‘Mengubah Indonesia’.

Oleh karena itu, tuntutan Jaksa bahwa komentar Ahok tentang Surat Al Maidah sengaja dimaksudkan untuk menyinggung umat Islam tidak terbukti. Oleh karena itu, kami melihat unsur tindak pidana pasal 156 KUHP tidak terpenuhi dalam kasus ini, kata Todung.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Todung berharap hakim dapat mengambil keputusan sebaik-baiknya. Keputusan yang tepat dan terhormat berdasarkan pertimbangan yang jelas dapat menjadi preseden baik bagi kasus serupa di kemudian hari.

“Bahwa proses peradilan yang baik akan memenuhi rasa keadilan dan tidak menyimpang dari falsafah/tujuan pidana yang sebenarnya sebagaimana dimaksud oleh lembaga legislatif,” ujarnya.

kekecewaan GNPF

Sementara itu, Pakar Hukum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Kapitra Ampera mengungkapkan kekecewaannya atas tuntutan jaksa. Menurutnya, bukti-bukti yang ada justru mengarah pada penodaan agama Islam.

“Tidak ada satupun pernyataan dalam persidangan yang menyatakan adanya penodaan agama terhadap suatu kelompok, namun seluruh pernyataan dan bukti tersebut membuktikan bahwa Ahok melakukan penodaan agama terhadap Islam,” ujarnya melalui pesan singkat kepada Rappler.

Jika putusan hakim justru merujuk pada penodaan kelompok, ia menyebutnya sebagai bentuk anarki penegakan hukum. “Umat Islam tentu tidak bisa menerima hal ini, karena itu adalah bentuk tirani yang sebenarnya,” ujarnya.

Hari ini, massa gabungan ormas Islam juga akan mengawal sidang putusan tersebut. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan, pihaknya menerima surat pemberitahuan dengan massa sebanyak 5 ribu orang.

Terima keputusan hakim

Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengingatkan massa untuk menerima apapun keputusan hakim. “Kami hanya mempercayai panel hakim mana pun dan kami harus menghormati keputusan hakim mana pun. Negara kita masih merupakan negara hukum. Tidak perlu intimidasi macam-macam, katanya di TPU Pondok Ranggon, Senin pekan lalu.

Ia mengaku bingung dengan cara berpikir orang-orang yang mencoba mengintimidasi dirinya melalui aksi protes. Menurutnya, hal tersebut tidak perlu dilakukan agar majelis hakim dapat mengambil keputusan secara jelas tanpa ada tekanan dari pihak manapun.

Majelis hakim hari ini akan membacakan putusannya atas kasus dugaan penodaan agama yang melibatkan terdakwa Ahok. Sidang akan digelar di Auditorium Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut Ahok dengan hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. —Rappler.com

taruhan bola online